Penelitian telah menemukan bahwa remaja berusia antara lima belas dan sembilan belas tahun lebih rentan terhadap penularan bunuh diri daripada kelompok usia lainnya. Ketika sejumlah kasus bunuh diri yang tidak biasa terjadi dalam jarak geografis yang berdekatan dalam waktu yang terbatas, hal ini menciptakan apa yang dikenal sebagai klaster bunuh diri.
Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja di Indonesia
Media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan banyak remaja di Indonesia. Meskipun media sosial dapat memberikan beberapa manfaat, seperti meningkatkan kemampuan komunikasi, menjalin pertemanan, mengejar minat, dan berbagi pemikiran dan ide, media sosial juga dapat menimbulkan risiko yang serius bagi kesehatan mental remaja. Media sosial membuat remaja terpapar pada cyberbullying, ajakan untuk bunuh diri, standar kecantikan, penampilan, dan kekayaan yang tidak realistis, serta penggambaran negatif tentang bunuh diri.Â
Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Indonesia menemukan bahwa penggunaan dan konten media sosial, bersama dengan regulasi emosi, stres yang dirasakan, dan kualitas tidur yang buruk, mempengaruhi gejala depresi di kalangan anak muda di Indonesia. Studi lain yang dilaporkan oleh Halodoc, platform kesehatan online di Indonesia, mengutip temuan National Institute of Mental Health bahwa penggunaan media sosial dapat meningkatkan risiko gangguan mental di kalangan remaja berusia 18-25 tahun.
Durasi penggunaan media sosial juga berpengaruh, karena sebuah penelitian yang diterbitkan pada tahun 2019 di JAMA Psychiatry mengungkapkan bahwa remaja yang menghabiskan lebih dari tiga jam sehari di media sosial berisiko mengalami peningkatan masalah kesehatan mental. Banyak keluarga dari remaja yang meninggal karena bunuh diri menyalahkan platform media sosial atas kehilangan mereka. Perusahaan teknologi menghadapi pengawasan yang semakin ketat seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap Kongres untuk memberlakukan undang-undang untuk melindungi remaja yang menggunakan internet.
Namun, tidak semua aspek media sosial berbahaya bagi kesehatan mental remaja. Beberapa bukti menunjukkan bahwa literasi media dan pembatasan penggunaan sehari-hari dapat mengurangi risiko. Beberapa ahli juga menemukan bahwa media sosial dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan mental remaja. Sebagai contoh, Trevor Project menemukan bahwa 96 persen remaja LGBTQ+ melaporkan bahwa media sosial memiliki pengaruh positif terhadap kesehatan mental mereka, dibandingkan dengan 88 persen yang melaporkan bahwa media sosial memiliki dampak negatif.Â
Media sosial memungkinkan remaja untuk menemukan komunitas yang berpikiran sama yang menghadapi masalah yang sama, mencari dukungan, dan menegaskan citra diri yang lebih positif untuk diri mereka sendiri. Penelitian lebih lanjut berusaha untuk menentukan strategi potensial untuk membingkai ulang media sosial sebagai alat untuk meningkatkan kesehatan mental serta membantu mencegah bunuh diri remaja.
Dampak Media terhadap Bunuh Diri Remaja di Indonesia
Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius yang mempengaruhi remaja di seluruh dunia. Menurut sebuah studi global, satu dari tujuh remaja mengalami gangguan mental yang dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Di Indonesia, prevalensi keinginan dan percobaan bunuh diri di kalangan remaja berusia 13-17 tahun adalah 9,8% dan 4,6% pada tahun 2015. Angka-angka ini mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian dan tindakan segera.
Salah satu faktor yang dapat memengaruhi bunuh diri remaja adalah media, yang dapat mencakup laporan berita, cerita fiksi, film, musik, dan media sosial. Media dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap kesehatan mental remaja, tergantung bagaimana bunuh diri digambarkan dan didiskusikan. Beberapa penggambaran bunuh diri di media dapat memicu perilaku "meniru" di kalangan remaja yang rentan yang mengidentifikasi diri mereka dengan karakter atau selebriti yang melakukan bunuh diri.Â
Sebagai contoh, sebuah penelitian melaporkan bahwa kasus bunuh diri meningkat hampir 30 persen pada bulan setelah perilisan 13 Reasons Why, sebuah serial Netflix yang menunjukkan adegan bunuh diri secara grafis. Netflix kemudian menghapus adegan bunuh diri dari musim pertama acara tersebut setelah berkonsultasi dengan para ahli kesehatan mental.