Asosiasi negatif dengan ukuran tubuh yang besar tersebar luas dan mendalam. Orang gemuk diasumsikan tidak menarik, tidak disiplin, malas, dan tidak bertanggung jawab. Beberapa orang percaya bahwa orang gemuk memiliki dorongan atau kecerdasan yang lebih rendah, serta kebersihan yang buruk. Selain itu, orang gemuk mungkin menyerap pesan yang sama, mengakibatkan rendahnya harga diri, citra tubuh yang buruk, depresi, kecemasan, dan perkembangan gangguan makan. Penelitian menunjukkan bahwa stres dan depresi yang sering diakibatkan oleh prasangka anti-gemuk juga dapat menyebabkan hasil kesehatan yang lebih buruk bagi orang gemuk.
Penyajian media sering memperkuat stereotip negatif tentang orang gemuk. Pencipta menggunakan kegemukan sebagai sinyal dari sifat karakter seperti kemalasan, keserakahan, dan keputusasaan. Karakter gemuk sering menjadi penjahat atau sahabat karib, sementara cerita yang memiliki protagonis gemuk sering membuat berat badan mereka sebagai konflik utama cerita. Aktivis penerimaan tubuh gemuk telah menuntut agar aktor gemuk memainkan karakter gemuk daripada aktor kurus yang menggunakan "baju gemuk".
Aktivis penerimaan tubuh gemuk juga mencatat bahwa meskipun pria gemuk dan orang-orang yang berpenampilan laki-laki mengalami perundungan dan diskriminasi, wanita dan orang-orang yang berpenampilan perempuan tunduk pada pengawasan yang lebih intens pada berat badan yang lebih rendah. Misalnya, meskipun laki-laki dan perempuan rentan terhadap diskriminasi berat badan di tempat kerja, penelitian menunjukkan bahwa wanita gemuk kurang mungkin dipekerjakan atau mendapatkan promosi atau kenaikan gaji daripada pria gemuk. Pria gay sering mengalami stigma berat badan lebih dari pria heteroseksual, meskipun komunitas gay juga memiliki subkultur "beruang" yang kuat, yaitu pria besar yang dirayakan karena ukurannya, kadang-kadang disertai dengan konotasi maskulin positif.
Fat Studies, bidang studi akademik baru dengan agenda penerimaan tubuh gemuk, telah muncul di dunia akademisi abad ke-21. Beberapa perguruan tinggi menawarkan program interdisipliner yang mirip dengan topik identitas lainnya, seperti studi perempuan dan studi Afrika-Amerika. Pada tahun ajaran 2022--2023, sembilan perguruan tinggi AS menawarkan kursus fat studies, dan banyak lagi lembaga yang menambahkan konten penerimaan tubuh gemuk ke kursus-kursus yang ada di bidang sosiologi, kesehatan masyarakat, pendidikan, dan bidang lainnya. Kursus-kursus tersebut sering menekankan persimpangan antara penerimaan tubuh gemuk dengan gerakan untuk keadilan rasial dan pembebasan gender dan queer.
Di Indonesia, prasangka anti-gemuk juga menjadi masalah sosial yang serius. Meskipun angka obesitas pada orang dewasa meningkat dua kali lipat selama dua dekade terakhir, masih ada stigma negatif terhadap orang-orang dengan ukuran tubuh besar. Orang-orang gemuk sering menjadi sasaran ejekan atau hinaan dari lingkungan sekitar mereka karena dianggap tidak sehat atau tidak peduli dengan penampilan mereka. Selain itu, orang-orang gemuk juga menghadapi tantangan dalam mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang berkualitas. Beberapa dokter cenderung mengabaikan keluhan medis pasien gemuk dan hanya menyarankan mereka untuk menurunkan berat badannya. Hal ini dapat menyebabkan rasa malu atau takut untuk mencari bantuan medis bagi orang-orang gemuk.
Untuk melawan prasangka anti-gemuk di Indonesia, beberapa langkah telah dilakukan oleh berbagai pihak. Misalnya, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) pada tahun 2017 untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola hidup sehat. Program ini mencakup beberapa aspek seperti aktivitas fisik rutin, konsumsi buah dan sayur segar, tidak merokok atau minum alkohol. Selain itu, beberapa organisasi non-pemerintah seperti Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI) dan Yayasan Obesitas Indonesia (YOI) juga aktif melakukan advokasi dan edukasi tentang masalah obesitas dan prasangka anti-gemuk kepada masyarakat luas.
Penerimaan Tubuh Gemuk dan Kesehatan
Meskipun ada beberapa pengakuan bahwa obesitas bukan hanya masalah kalori yang dimakan dan kalori yang terbakar, banyak penyedia layanan kesehatan masih menganggap bahwa berat badan pasien gemuk adalah masalah kesehatan utama mereka dan melihat kurangnya penurunan berat badan sebagai ketidakpatuhan pasien. Hal ini dapat menyebabkan masalah bagi pasien seperti enggan mencari perawatan medis, interaksi yang mempermalukan tubuh gemuk dengan staf medis, dan peningkatan depresi dan gangguan makan. Yang paling serius, fokus dokter pada penurunan berat badan dapat menyebabkan diagnosis yang terlewat dari kondisi kesehatan yang serius mulai dari kanker hingga perdarahan internal. Selain itu, sejak tahun 1950-an peneliti telah mengakui bahwa metode penurunan berat badan yang biasa tidak hanya memiliki tingkat kegagalan yang tinggi, tetapi siklus naik turunnya berat badan merusak metabolisme, membuat penurunan berat badan semakin sulit seiring waktu. Aktivis penerimaan tubuh gemuk bekerja untuk mendidik penyedia layanan kesehatan tentang menumbuhkan interaksi yang lebih positif dengan pasien gemuk.
Banyak spesialis kesehatan menggunakan indeks massa tubuh (IMT) untuk menyaring kelebihan berat badan dan obesitas. Massa tubuh dihitung dengan membagi berat seseorang dalam kilogram dengan kuadrat tinggi mereka dalam meter, dengan IMT 25 atau lebih menunjukkan kelebihan berat badan dan IMT 30 atau lebih menunjukkan obesitas. Namun, penggunaan IMT sebagai ukuran untuk kesehatan berat badan individu mulai tidak disukai, dengan para kritikus menyatakan bahwa itu adalah standar sembarangan yang tidak memperhitungkan variasi besar dalam tipe tubuh dan tingkat kesehatan secara keseluruhan. Misalnya, IMT tidak membedakan massa otot dari lemak, sering menyebabkan perkiraan lemak tubuh yang sangat tidak akurat. Namun, para peneliti terus menganggap IMT sebagai alat yang berguna untuk mengukur tingkat kelebihan berat badan dan obesitas pada populasi besar atau umum.
Sejak awal tahun 2000-an, ilmuwan semakin menemukan bahwa interaksi kompleks antara faktor-faktor mulai dari kimia otak dan darah hingga jumlah dan jenis bakteri usus berperan dalam kenaikan dan penurunan berat badan. Aktivis penerimaan tubuh gemuk dan beberapa profesional medis merekomendasikan pergeseran ke paradigma Sehat di Setiap Ukuran (HAES), yang berfokus pada interaksi yang hormat dengan pasien dan menekankan makan sadar dan aktivitas fisik teratur, terlepas dari berat badannya.
Di Indonesia, penerimaan tubuh gemuk dan kesehatannya juga menjadi perhatian penting. Meskipun angka obesitas pada orang dewasa meningkat dua kali lipat selama dua dekade terakhir, masih ada stigma negatif terhadap orang-orang dengan ukuran tubuh besar. Orang-orang gemuk sering menjadi sasaran ejekan atau hinaan dari lingkungan sekitar mereka karena dianggap tidak sehat atau tidak peduli dengan penampilan mereka. Selain itu, orang-orang gemuk juga menghadapi tantangan dalam mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang berkualitas. Beberapa dokter cenderung mengabaikan keluhan medis pasien gemuk dan hanya menyarankan mereka untuk menurunkan berat badannya. Hal ini dapat menyebabkan rasa malu atau takut untuk mencari bantuan medis bagi orang-orang gemuk.