Budaya Kecantikan di Indonesia: Bagaimana Media dan Pemasaran Membentuk Standar dan Ekspektasi Kecantikan
Sebuah tinjauan historis dan kontemporer terhadap pengaruh kolonialisme, globalisasi, dan norma-norma sosial terhadap definisi dan pengejaran kecantikan di Indonesia.
Cita-cita kecantikan berbeda di setiap budaya dan berubah seiring berjalannya waktu. Di Indonesia, cita-cita kecantikan secara historis dipengaruhi oleh kolonialisme dan globalisasi, yang telah mempromosikan gagasan bahwa daya tarik fisik adalah aset penting yang harus dikejar dan dipertahankan oleh setiap orang, terutama anak perempuan dan perempuan. Standar kecantikan kontemporer yang diproyeksikan dalam iklan dan media lainnya dibentuk oleh norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya. Media dan citra pemasaran mendefinisikan cita-cita kecantikan dan membingkainya sebagai sesuatu yang diinginkan, bahkan ketika para kritikus mencatat bahwa cita-cita itu tidak dapat dicapai secara definisi, terutama di era manipulasi digital.
Menurut para ilmuwan sosial, karena budaya membentuk standar kecantikan, standar kecantikan mencerminkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat terkait gender, seksualitas, ras, dan kelas. Kecantikan telah berfungsi di Indonesia sebagai bentuk modal sosial, di mana orang-orang yang secara konvensional terlihat menarik-mereka yang penampilan fisiknya lebih dekat dengan kecantikan ideal yang diasosiasikan dengan jenis kelamin dan ras mereka-mendapatkan hak-hak sosial dan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang penampilannya berbeda dengan yang ideal.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh para sosiolog dan ekonom menunjukkan bahwa orang yang berpenampilan menarik secara konvensional cenderung lebih mudah diterima bekerja, maju dalam karier, dan mencapai pendapatan yang lebih tinggi.
Di Indonesia, standar kecantikan abad ke-21 untuk wanita terus menekankan pada kulit yang cerah, kulit yang bersih, hidung mancung, rambut lurus, dan tubuh yang langsing, meskipun semakin banyak penolakan terhadap cita-cita ini.Â
Cita-cita ini dapat ditelusuri kembali ke era kolonial, ketika orang Belanda berkulit terang ditempatkan di puncak hierarki sosial dan orang Indonesia yang berkulit gelap berada di bawah. Akibatnya, kulit terang menjadi simbol kecantikan dan status. Kecenderungan ini terus berlanjut bahkan di negara dengan penduduk asli yang beragam dan telah dikaitkan dengan globalisasi dan dominasi budaya Amerika. Meskipun keragaman ras dan etnis telah mulai mempengaruhi cita-cita kecantikan, kulit terang dan ciri-ciri Eropa terus dicirikan sebagai standar.
Anak laki-laki dan pria secara tradisional memiliki cita-cita kecantikan yang lebih fleksibel, dan ketidakmampuan mereka untuk memenuhi cita-cita umumnya tidak terlalu berdampak negatif pada status sosial atau kesejahteraan mereka. Namun, di abad ke-21, pria semakin berpegang pada standar daya tarik fisik yang sempit yang digerakkan oleh media. Menurut sebuah artikel CNN tahun 2018, pria melaporkan bahwa mereka memperhatikan berat badan mereka, mengalami ketidakpuasan tubuh, dan menggunakan kosmetik atau produk perawatan pribadi dengan tingkat yang sangat tinggi.Â
Para kritikus sering menekankan hubungan antara standar kecantikan yang berlaku dan industri fesyen dan kosmetik, yang mendapatkan keuntungan dari basis konsumen yang besar yang terdiri dari semua jenis kelamin yang bercita-cita memiliki kecantikan ideal yang tidak mungkin tercapai.
Periklanan Tradisional
Media iklan cetak dan televisi tradisional menggunakan teknik penargetan untuk memasarkan produk kecantikan kepada konsumen, terutama wanita, di Indonesia dan di seluruh dunia. Selain mempromosikan keinginan untuk memiliki tipe tubuh langsing, para pemasar fesyen dan kosmetik mengidealkan rambut yang berkilau dan berwarna cerah; kulit yang halus, tidak berbulu, dan kencang; kuku yang terawat; bulu mata yang lentik; dan warna kulit yang tidak terlalu gelap atau terlalu terang. Berusaha menciptakan pelanggan setia, perusahaan fesyen dan kosmetik juga memasarkan produk mereka kepada kelompok demografis yang semakin muda dan mudah dipengaruhi seperti praremaja dan remaja.
Sebuah analisis penting yang dilakukan oleh cendekiawan dan aktivis Jean Kilbourne dan dipublikasikan di Media & Values pada tahun 1990 mengungkapkan tren dalam iklan fesyen dan kosmetik perempuan yang menurut banyak cendekiawan feminis masih bertahan hingga abad ke-21. Pertama, cita-cita yang didorong kepada wanita sangat artifisial dan praktis tidak mungkin tercapai. Kedua, wanita digambarkan terutama dalam salah satu dari dua peran stereotip: ibu rumah tangga atau objek hasrat seksual pria. Ketiga, jika perempuan digambarkan di luar dua peran sempit tersebut, mereka digambarkan sebagai manusia super, percaya diri, dan memegang kendali penuh atas kehidupan profesional dan pribadi mereka. Para kritikus berpendapat bahwa rentetan pesan-pesan semacam itu tanpa henti memiliki efek negatif yang tak terelakkan dan mendalam terhadap bagaimana anak perempuan dan perempuan memandang diri mereka sendiri. Masalah-masalah tersebut semakin meningkat di era media digital, dengan American Medical Association (AMA) yang menentang gambar-gambar yang diubah dan dimanipulasi secara digital dalam iklan industri kecantikan sejak tahun 2011.
Meskipun industri kecantikan telah bergerak ke arah diversifikasi standar dan cita-cita konvensionalnya, hasilnya tidak selalu menghasilkan reaksi positif. Merek perawatan pribadi Dove telah terlibat dalam berbagai kontroversi di abad ke-21, termasuk Kampanye Kecantikan Sejati yang dimulai pada tahun 2004 dan menampilkan wanita sehari-hari, bukan aktris dan model.Â
Banyak pemirsa yang menafsirkan pesan kampanye tersebut sebagai pesan yang dangkal, dengan alasan bahwa kampanye tersebut menggambarkan wanita yang tidak percaya diri dan sibuk dengan penampilan mereka. Dove juga mengalami reaksi keras secara online karena memajukan cita-cita kecantikan rasial yang bermasalah, seperti kritik terhadap iklan tahun 2017 yang menyiratkan bahwa kulit wanita kulit hitam menjadi putih setelah menggunakan produk Dove. Perusahaan lain telah melakukan upaya untuk melakukan diversifikasi, dengan CoverGirl meluncurkan kampanye pada bulan Oktober 2017 yang secara umum mendapat tanggapan positif dengan merangkul model dari berbagai usia, ras, dan tipe tubuh. Merek kosmetik yang dijual langsung ke konsumen seperti Glossier juga mengadopsi penggambaran wanita yang lebih realistis dalam iklan mereka untuk memanfaatkan gagasan modernisasi tentang kecantikan.
Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sertifikasi halal telah menjadi faktor penting bagi produk kecantikan. Produk halal adalah produk yang diizinkan menurut hukum Islam, yang melarang bahan-bahan seperti daging babi dan alkohol, serta proses dan sistem persiapan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Sejak tahun 2019, sebuah undang-undang telah diberlakukan yang mengharuskan semua produk kecantikan yang dijual di Indonesia untuk sepenuhnya bersertifikat halal pada bulan Oktober 2026.Â
Hal ini menjadi tantangan bagi merek kecantikan global dan lokal yang perlu menyesuaikan rantai pasokan dan formulasi mereka untuk memenuhi standar halal. Menurut Mintel Global New Products Database, peluncuran produk kecantikan dan perawatan pribadi di Indonesia dengan klaim halal menunjukkan peningkatan sebesar 20 persen dari Mei 2019-April 2020 menjadi Mei 2020-April 2021. Beberapa analis melihat hal ini sebagai perkembangan positif yang mencerminkan meningkatnya permintaan akan produk kecantikan yang etis dan berkelanjutan di kalangan konsumen Indonesia.
Media Digital dan Media Sosial
Dorongan untuk mengakhiri citra iklan industri kecantikan yang diubah dan dimanipulasi telah mulai mendapatkan perhatian dari para pengiklan di Indonesia dan di seluruh dunia. Peritel dan produsen termasuk ModCloth, Target, Aerie, CVS, Bongo, dan Dove telah berkomitmen untuk menggunakan ruang iklan kecantikan yang "bebas dari Photoshop". Namun, para pengamat telah menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dapat memperoleh manfaat citra publik yang signifikan dengan mengadopsi cita-cita yang lebih sehat, realistis, dan progresif. Sebagai contoh, beberapa analis menunjukkan bahwa strategi pemasaran Dove mungkin mencerminkan keinginan untuk menjauhkan diri dari kampanye dan iklannya yang tidak diterima dengan baik. Selain proyek kepercayaan diri yang sedang berlangsung, Dove meluncurkan kampanye #BeautyBias dan #MyBeautyMySay pada tahun 2018.
Terbukti dari kampanye tagar Dove, media sosial telah muncul sebagai kekuatan utama dalam pemasaran industri kecantikan di Indonesia, dengan para blogger, vlogger, dan influencer berbasis platform yang berusaha menjembatani kesenjangan antara standar kecantikan yang digambarkan di media lama dan realitas konsumen yang beragam. Kedekatan dan keaslian yang dimungkinkan oleh platform-platform ini terus mendorong perubahan; sebagai contoh, perusahaan makeup independen mengalami lonjakan penjualan sebesar 42,7 persen pada tahun 2016, dengan orang dalam menafsirkan pergeseran ini sebagai cerminan dari tren yang lebih luas dan perubahan sikap. Semakin banyak tokoh kecantikan online yang menantang norma-norma gender konvensional, dengan individu yang tidak memiliki dua jenis kelamin dan tidak sesuai dengan gender seperti Jeffree Star (1985-) dan Manny MUA (1991-) yang menduduki peran yang berpengaruh di antara vlog kecantikan dan makeup online. Wanita kulit berwarna juga telah merengkuh jangkauan media sosial, dengan para kreator YouTube seperti Jackie Aina (1987), Monica Veloz (1992), dan Nyma Tang (1991) mengisi kekosongan dan menarik jutaan pelanggan dengan tutorial tata rias untuk wanita berkulit gelap.
Secara keseluruhan, standar kecantikan tampaknya berkembang untuk mendukung keragaman ras, usia, dan tipe tubuh yang lebih besar. Sebuah studi tahun 2017 yang diterbitkan di JAMA Dermatology membandingkan 50 Orang Tercantik di Dunia versi tahunan People dari tahun 1990 dan 2017 dan menemukan penurunan representasi perempuan berkulit putih dan peningkatan representasi perempuan yang lebih tua dan berkulit gelap. Meskipun perluasan norma kecantikan secara umum dipandang sebagai kemajuan, beberapa ahli mempertanyakan sejauh mana perubahan ini merupakan tanda definisi kecantikan yang semakin inklusif. Sebagai contoh, beberapa kritikus memandang kemunculan cita-cita atletis sama bermasalahnya dengan cita-cita ketipisan, dengan menyatakan bahwa hal tersebut menggantikan satu standar yang tidak dapat dicapai dengan standar lainnya dan hanya menciptakan cara baru bagi perempuan untuk gagal.
Di Indonesia, di mana penggunaan media sosial sangat tinggi di antara 276 juta penduduknya, produk kecantikan sering kali dipasarkan melalui platform digital seperti Instagram, YouTube, TikTok, Shopee Live, dan lainnya. Dengan banyaknya orang Indonesia yang meninggalkan jejak digital mereka di platform media sosial, bisnis eCommerce dihadapkan pada peluang pemasaran media sosial yang sangat besar, baik dalam bentuk kegiatan pemasaran organik maupun berbayar melalui pemasaran viral, iklan berbayar, pemasaran influencer, dan masih banyak lagi.
Minat yang tinggi terhadap media sosial dan produk kecantikan ini juga telah mendorong popularitas produk kecantikan Korea di Indonesia, terutama sheet mask. Menurut penelitian Rakuten Insight pada tahun 2019 yang menemukan bahwa dari orang Indonesia yang menggunakan produk kecantikan Korea, 39% di antaranya menemukan informasi tersebut dari influencer kecantikan di media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H