Di garis depan kebanggaan Asia yang baru muncul ini adalah mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Dr. Mahathir bin Mohamad, yang biasa dikenal dengan sebutan "Dr. Menjabat sebagai kepala eksekutif negara demokratis ini dari tahun 1981 hingga 2003 dan sekali lagi dari tahun 2018 hingga 2020, Dr. M terkenal dengan perencanaan strategis dan keterampilan taktisnya, meskipun gayanya yang blak-blakan sering kali tidak memiliki diplomasi. Dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa dunia Eurosentris telah mencapai titik akhir, Dr. M menegaskan bahwa orang Asia telah menemukan jalan mereka sendiri menuju kesuksesan.
Pengamatan tentang Kebangkitan Kebanggaan Asia
John Malott, pengamat Asia yang berpengalaman dan mantan duta besar Amerika Serikat untuk Malaysia (1995-1998), mengakui adanya tren kebanggaan Asia yang semakin meningkat, tidak hanya di Malaysia. Fenomena ini, yang ditandai dengan rasa kemandirian dan kesuksesan, menantang gagasan untuk mengandalkan Barat sebagai otoritas pemandu. Seiring dengan kemakmuran Asia, sentimen "ayah tahu yang terbaik" secara bertahap digantikan oleh keyakinan bahwa orang Asia dapat menentukan arah mereka sendiri.
Transformasi Malaysia dari negara yang diakuisisi oleh kolonial menjadi negara yang berkembang pesat merupakan perjalanan yang luar biasa. Ketahanan ekonomi dan keharmonisan sosial negara ini telah membangkitkan rasa kebanggaan nasional yang mendalam yang beresonansi dengan konteks Asia Timur yang lebih luas.Â
Kisah-kisah Pribadi tentang Kemajuan: Perjalanan Malaysia Menuju Status Pendapatan Tinggi.
Menghadapi Kemajuan dalam Keseharian: Perjalanan ke Kepong Bahru
Salah satu cara untuk menghargai kebanggaan, kemajuan, dan kemakmuran suatu bangsa adalah dengan menyaksikannya melalui pertemuan pribadi. Itulah pengalaman saya ketika saya menaiki "Bas Mini" berwarna merah muda dari pusat kota Kuala Lumpur untuk mengunjungi teman baik saya, Tan Gee Chin, di pinggiran utara Kepong Bahru. Nona Tan, yang lahir sebelum Malaysia merdeka, merupakan perwujudan dari transformasi dan kesuksesan negara ini. Seperti kebanyakan warga Malaysia keturunan Tionghoa lainnya, ia mengadopsi nama Inggris dan dikenal sebagai Jenny. Fasih dalam berbagai bahasa, termasuk Mandarin, Kanton, Malaysia, Jepang, dan Inggris, kisah Jenny adalah bukti multikulturalisme Malaysia.
Dari Awal yang Sederhana Hingga Menjadi Makmur: Mengatasi Tantangan
Asal-usul Jenny yang sederhana dapat ditelusuri kembali ke Ipoh, sebuah kota tambang timah, tempat dia dibesarkan di gubuk kayu lapis darurat dengan atap yang bocor. Meskipun mengalami kesulitan, ia tidak pernah mengeluh, karena ia memahami bahwa banyak orang lain yang memiliki kondisi kehidupan yang sama. Pendidikan menjadi tantangan bagi keluarga Tans, karena mereka hanya mampu membiayai sekolah untuk satu anak, yang diperuntukkan bagi saudara laki-laki Jenny. Pada usia 14 tahun, Jenny memulai perjalanan untuk mencari pekerjaan, yang akhirnya membawanya ke Amerika Serikat dan kemudian ke Jepang, tempat kami pertama kali bertemu. Kakaknya, Tan Jee Pong, kemudian menjadi mitra di sebuah toko AC, melayani beberapa orang yang mampu membeli kemewahan di iklim tropis Malaysia.
Malaysia yang makmur: Mimpi yang Terwujud
Di Malaysia yang makmur saat ini, AC telah menjadi hal yang biasa, dan keluarga Tan telah melampaui aspirasi mereka. Jenny kembali ke Malaysia setelah menerima kabar dari ibunya bahwa pekerjaan sudah tersedia. Dengan penghasilannya, dia berinvestasi di sebuah gedung apartemen, sementara dia dan saudara laki-lakinya bersama-sama membeli sebuah townhouse dengan plesteran putih dan atap genteng merah di Kepong Bahru. Lingkungan ini memiliki deretan rumah yang sama, dan ketika memasuki rumah mereka, saya merasakan suasana yang sejuk dan nyaman. Jenny menempati satu kamar tidur, ibunya menempati kamar tidur yang lain, dan saudara laki-lakinya, istrinya, dan anak-anak mereka menempati kamar tidur ketiga. Ruang tamu beresonansi dengan tawa riang keponakan Jenny yang berusia empat tahun, yang dengan penuh semangat mengulangi kalimat bahasa Inggris yang dia pelajari dari televisi. Rumah ini memiliki dapur yang lengkap, patung-patung berhias, dan altar untuk menghormati Buddha, dan yang terpenting, atap yang tidak bocor, bahkan selama musim hujan. Kontras yang sangat besar antara kondisi kehidupan mereka saat ini dan gubuk di Ipoh membuat keluarga Tan sulit untuk mengingat masa-masa awal mereka yang lebih sederhana. Jenny bercerita, "Kami jarang memikirkan masa-masa itu; kami fokus pada masa sekarang, di mana semuanya membaik."