Melihat  Kakanya dan tetehnya yang merantau ke Jakarta jadi kuli kehidupannya hanya mengontrak rumah petak yang sempit dan sumpek, Mamat tak tega melihat 2 adiknnya nomor 12 dan nomor 13 yang yatim setelah Abahnya wafat.
Mamat menyekolahkan keduanya hingga lulus SPG dan keduanya menjadi guru PNS bahkan menikah pun dibiayai Mamat. Untung saja istri Mamat sangat soleha menurut saja apa keputusan suami, meski kadang dalam hatinya kesal uaang suaminya sebagian habis untuk Ibu dan adik-adiknya. Â Namun tak berani menentang, karena ia kawatir diceraikan Mamat, seperti istri pertama Mamat yang selalu protes jika Mamat membeli beras untuk ibunya.
Kini Mamat di hari senjanya usia 77 tahun bahkan hanya ia satu-satunya yang masih hidup diantara 13 bersaudara (anak kedua orang tuanya), Â ia tinggal di rumah besar serupa Villa di tengah kebun yang luasnya 2 hektar berdua istrinya. Semua anaknya telah berkeluarga, ada menantunya yang tinggal dekat darinya, yang rajin memasak untuknya dan istrinya di pagi hari.
Sejak usia 65 tahun, Mamat tak bisa pergi kemana-mana bahkan untuk berjalan di dalam rumah pin tak mampu. Kakinya mengalami luluh layu atau kata dokter stroke yang menyebabkan kelumpuhan. Jangankan jalan, berdiri saja tak bisa. Jalannya mengesok menggunakan tangan.
sumber : alodokter.com
Sepekan sekali,  jika anaknya ada yang  pulang ke rumah pak Mamat, ia berkisah masa lalunya, dan ia kadang bertanya :
" apa salah dirinya, apa doasanya, hingga ia tak bisa berdiri dan berjalan seperti sekarang?".
Anaknya hanya bisa menghibur dan menguatkan pak Mamat dengan mengatakan:
" bahwa abah yang lebih paham karena ilmu abah jauh dari kami semua, kata abah bahwa kita harus tetap bersyukur dengan takdir Allah, Â yang baik maupun yang buruk."
"Karena kita orang Mukmin ada rukun iman keenam  beriman pada qodlo dan qodar atau takdir dari Allah SWT yang mengatur alam semesta sesuai kehendaknya".