SIM jaringan atau antar asuransi dan pemberi layanan kesehatan dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan dan penyalahgunaan obat-obatan. Sistem ini sering menemukan penyalahgunaan yang terjadi karena resep yang tidak benar. Sistem farmasi harus dicek dan diperhatikan secara saksama untuk mencegah penggunaan obat dan dosis yang tidak tepat. Secara retrospektif, pengecekan sistem dapat dilakukan untuk membandingkan instruksi dokter dengan obat dan dosis yang sesungguhnya diberikan.
Sistem Informasi Manajemen (SIM) sangat berguna dalam pengendalian obat-obatan; sistem yang canggih mampu untuk memeriksa kelayakan seorang untuk memperoleh resep tertentu, mengonfirmasi apakah resep ditanggung oleh program asuransi atau merupakan bagian dari formula obat-obatan yang dapat disetujui, menunjukkan otorisasi sebelumnya untuk obat-obatan khusus, validasi apakah jumlah atau dosis berada pada norma praktek medis yang dapat diterima, dan memperhatikan informasi konsumen untuk mencegah interaksi obat-obatan, interaksi obat dengan penyakit, atau penggunaan berlebihan obat-obatan tertentu (misalnya, memberikan tanda bahwa suatu resep terlalu cepat diberikan).
Dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, pemerintah telah mengatur tentang tindakan kecurangan dikarenakan dapat menimbulkan kerugian bagi dana jaminan sosial nasional. Diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dalam peraturan tersebut disampaikan bahwa Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional yang selanjutnya disebut Kecurangan JKN adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh peserta, petugas BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan kesehatan, serta penyedia obat dan alat kesehatan untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program jaminan kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan(Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Kecurangan yang dilakukan peserta yaitu dengan menjual kembali obat yang telah diberikan kepada orang lain, yang seharusnya obat tersbut digunakan oleh peserta sendiri. Sedangkan kecurangan yang dilakukan oleh pemberi layananan kesehatan yaitu dengan sengaja melakukan penggelembungan biaya atas tagihan obat. Penggelembungan tagihan obat dan alkes/inflated bills merupakan klaim atas biaya obat dan/atau alat kesehatan yang lebih besar dari biaya yang sebenarnya (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
BPOM RI juga melakukan pengawasan secara ketat terhadap tata kelola obat-obatan tersentu yang sering disalahgunakan dengan dikeluarkannya peraturan No 7 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Obat-Obat Tertentu yang Sering Disalahgunakan berupa sanksi seperti peringatan keras, penghentian sementara kegiatan, pembatalan persetujuan izin edar, rekomendasi pencabutan pengakuan dan/atau rekomendasi pencabutan izin.
Dalam Era JKN permasalahan paling banyak timbul di ketersediaan obat. Perusahaan obat tidak dapat memenuhi kebutuhan obat yang dipesan oleh Rumah Sakit maupun pemberi layanan kesehatan di tingkat primer. Dalam materi presentasi Ibu Engko disampaikan bahwa Hal ini disebabkan karena pada beberapa pemberi layanan kesehatan tidak membuat Rencana Kebutuhan Obat namun melakukan pemesanan ke perusahaan obat (Sosialine, 2015).
Karena hal tersebut maka pemerintah melakukan beberapa upaya denga melakukan sosialisasi agar pemberi layanan kesehatan membuat rencana kebutuhan obat. Ataukah perusahaan obat yang secara sengaja tidak memproduksi obat karena harganya yang terlalu murah sehingga lebih mengutamakan dengan memproduksi jenis obat yang meguntungkan perusahaan?
Dalam majalah info BPJS Kesehatan edisi XXIX Bulan November 2015 disampaikan bahwa Potensi fraud oleh penyedia obat dan alat kesehatan relatif sedikit yaitu tidak memenuhi kebutuhan obat dan/atau alat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan melakukan kerjasama dengan pihak lain, mengubah obat dan/atau alat kesehatan yang tercantum dalam e-catalog dengan harga tidak sesuai dengan e-catalog (BPJS Kesehatan, 2015).Â
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 36 Tahun 2015 disebutkan tindakan Kecurangan JKN yang dilakukan penyedia obat dan alat kesehatan dapat merupa tidak memenuhi kebutuhan obat dan/atau alat kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan kerjasama dengan pihak lain mengubah obat dan/atau alat kesehatan yang tercantum dalam e-catalog dengan harga tidak sesuai dengan e-catalog, dan atau kecurangan dalam bentuk lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Rumitnya persoalan kecurangan dan penyalahgunaan obat-obatan berakar pada luasnya variasi pelayanan kesehatan dan dinamika variasi regional. Ciri khas kegiatan yang berkaitan dengan kecurangan dapat bervariasi menurut tipe industri pelayanan kesehatan (laboratorium, dokter, chiropractor, ahli farmasi), organisasi (individu, klinik, institusi) dan geografi. Ini berarti bahwa karakteristik perilaku curang bagi seorang spesialis di kota-kota besar bisa berbeda dengan spesialis di kota-kota kecil. Selain itu, karakteristik ini dapat berubah sewaktu waktu.