Mohon tunggu...
Dahlia
Dahlia Mohon Tunggu... Guru - Guru

Saya guru Bahasa Indonesia di sekolah negeri daerah Jakarta Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kucing dalam Dilema

26 Juli 2023   12:24 Diperbarui: 26 Juli 2023   12:30 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini aku masih menanti suamiku kembali tugas. Hanya seekor kucing kesanyangan suamiku yang dengan setia menemaniku selama suamiku pergi tugas. Mumu, begitu kami biasa memanggil kucing itu. Bulunya lebat berwarna coklat keemasan. Umurnya baru satu tahun. Dua bulan yang lalu Mumu baru saja menjadi yatim piatu, karena ibunya yaitu Meimei kucing piaraan suamiku yang sebelumnya baru saja mati karena sakit. Sedangkan ayahnya entah kemana mungkin telah mendapat kucing betina yang baru.

Hujan mengguyur desaku. Hujan malam ini sangat deras sehingga terdengar suara hujan seperti batu berjatuhan di atas genting. Seram sekali.

Aku dan suamiku telah berumah tangga selama lima tahun dan kami telah dikaruniai seorang putri yang cantik. Nabila. Begitulah sebutan kami kepada putri kami yang masih berusia tiga tahun. Kami bahagia saat mendapatkan putri yang begitu lucu dan sangat kami harapkan.

 "Mengapa hujan tiada berhenti sejak dua jam yang lalu?" Gerutuku di bibir jendela sambil meratapi hujan yang tiada kunjung berhenti bahkan semakin deras. Aku melamun menatap titik demi titik air hujan yang turun dari atap bumi dan mulai menggenang di depan beranda rumah.

"Meong... meong... meong," lamunanku terpecah ketika Mumu menjilat kakiku dan seperti hendak memberitahu sesuatu

kepadaku. Aku mengikuti Mumu yang berlari menuju kamar tidurku. Pasti telah terjadi sesuatu.

Sontak, aku langsung kaget melihat tubuh mungil putriku kejang-kejang. Ketika aku pegang dahinya ternyata suhu badannya sangat tinggi. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Kucoba menghubungi suamiku namun sulit sekali mendapatkan sinyal saat cuaca seperti ini. Akhirnya kuputuskan untuk menemui dokter jaga di puskemas.

"Mumu, kutitipkan Nabila kepadamu," kataku seolah-olah Mumu mengerti yang kuperintahkan.

"Meong... meong... meong," sahut Mumu seakan-akan mengerti yang kuperintahkan.

Jarak anatara rumahku dengan puskesmas kurang lebih dua kilo meter. Aku harus menggunakan jasa ojek untuk menuju puskesmas. Namun, malam ini tidak ada ojek yang mangkal karena hujan sangatlah lebat.

Kuputuskan untuk menemui pak Sudarwan satu-satunya orang yang memiliki mobil di desa kami, itu pun mobil yang biasa dipakai untuk mengirim kerbau ke kota. Untunglah pak Sudarwan meluluskan yang aku minta. Dengan sigap ia menyiapkan mobil miliknya dan kami bergegas menuju puskesmas.

Jalanan malam ini sangat licin akibat terguyur air hujan selain itu pandangan juga terbatas karena hujan yang sangat lebat hingga pak Sudarwan harus berhati-hati mengemudi agar tidak tergelincir ke jurang.

Satu jam kami baru sampai di puskesmas. Langsung saja, tanpa mengingat hujan yang deras aku menuju puskemas. Namun, nasib buruk rupanya yang menimpaku. Puskemas tutup. Tidak ada dokter jaga di puskesmas. Aku menghela nafas dan hatiku penuh dengan rasa yang sangat sedih. Aku kembali ke mobil dan masuk kedalamnya dengan wajah yang muram.

                "Mengapa, apa yang terjadi?" Kata pak Sudarwan sepertinya mengerti air mukaku yang sedang sedih.

            "Puskesmas tutup dan tidak ada dokter jaga," jelasku singkat dengan nada yang lirih.

            "Memang apa yang terjadi pada Nabila?" Tanya pak Sudarwan khawatir.

            "Cobalah kau jelaskan kejadian yang menimpa Nabila agar dapat aku memberikan solusi untukmu," lanjut pak Sudarwan.

            "Suhu badannya sangat tinggi dan ia kejang-kejang," jelasku singkat.

            " Mungkin dia step," kata pak Sudarwan.

            "Penyakit jenis apa itu?" Tanyaku penasaran.

            "Step adalah sejenis penyakit dan si penderita step ini suhu badannya panas yang sangat  tinggi dan badannya kejang-kejang," jelas pak Sudarwan.

            "Sebaiknya kita harus segera pulang," lanjut pak Sudarwan.

            Aku hanya menurutinya saja dan pasrah terhadap segala kemungkinan yang terjadi kepadaku. Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam sambil memikirkan suamiku bila mengetahui hal ini. Dan aku juga memikirkan bagaimana keadaan anakku sekarang. Semoga baik-baik saja.

            Perjalanan menuju rumahku ternyata lebih lama dibandingkan dengan perjalanan menuju puskesmas. Itu semua dikarenakan ranting-ranting pohon yang lumayan besar telah  tumbang sehingga memaksa kami untuk menyingkirkan ranting-ranting pohon itu. Dua jam setengah aku dan pak Sudarwan baru tiba di rumah.

            "Perlukah kau kutemani untuk masuk ke dalam rumah?" Kata pak Sudarwan.

            Pikirku tidaklah baik jika memasukan lelaki lain ke dalam rumah dalam keadaan tidak ada suami. Walau sebenarnya aku membutuhkan itu, namun demi kehormatanku sebagai wanita yang telah bersuami maka aku menolaknya.

            "Terimakasih, Bapak sudah cukup banyak membantu," kataku dengan nada ramah.

"Saya hanya tidak ingin merepotkan Bapak lebih dari ini," lanjutku.

            "Baiklah, tapi bila kau membutuhkan pertolonganku janganlah ragu untuk menemuiku," jawabnya seakan-akan mengerti apa yang aku hadapi sekarang ini.

            "Iya, terimakasih atas tawarannya," jawabku singkat. Pak sudarwan pun berlalu.

            Seturunnya aku dari mobil hujan telah berhenti. Langsung saja aku masuk ke dalam pekarangan rumahku. Kudapati pintu rumahku masih tertutup dan terkunci. Pikirku semoga tidak ada hal-hal yang buruk menimpa pada anakku. Dan semoga Mumu kucing kesayangan suamiku dapat menjaga Nabila dengan baik.

            Kubuka pintu ruang tamu dan kulihat Mumu yang berdiri dekat pintu ruang tamu. Mulut Mumu penuh dengan darah. Aku sangat takut terjadi suatu hal yang menimpa anakku.

            Langsung saja aku berlari menuju kamar dan aku berharap semoga tiada benar yang kupikirkan. Kudapati anakku sudah tidak kejang-kejang lagi, namun di tubuh anakku telah bersimbah darah dan anakku telah tiada. Pada saat itu pula aku menangis sebisa mungkin karena menurut dokter tiada bisa lagi aku mengandung.

Aku sangat menyesal karena telah memasrahkan anakku kepada seekor kucing yang boleh dibilang tidak memiliki pikiran. Aku tidak tahu apa yang harus kujelaskan kepada suamiku bila nantinya ia bertanya mengenai perihal kematian Nabila putri kami. Tidak terima atas kejadian yang menimpa anakku, niat jahat untuk membalas dendam kepada kucing bedebah itu pun terbersit dalam pikiranku.

            Dengan pikiran yang penuh emosi, lansung saja ku angkat Mumu. Kubanting dia. Dan kucing itu masih bisa mengeong dan meronta. Tidak puas dengan semua itu, aku pergi ke dapur dan kuambil sebilah pisau yang biasa kugunakan untuk memotong daging. Namun, untuk kali ini pisau itu akan aku gunakan untuk memenggal Mumu.

            Kugorok lehernya dengan mata pisau itu. Darah segar terpercik ke wajahku dan seketika itu aku merasa puas karena dendamku terhadap kucing bedebah itu telah terbayar lunas.

            Setelah membunuh Mumu langsung aku berlari ke kamarku. Aku meratapi kepergian putri semata wayangku yang mungikin tiada bisa lagi aku dapatkan. Selama dua tahun aku menunggu kehadiran putriku, namun kini karena keteledoran seekor kucing anakku meninggal. Seribu kutukkan kutujukan kepada semua kucing. Dan sejak saat itu aku benci kepada kucing.

            Dengan perlahan kuusap darah yang masih terdapat pada tubuh anakku, namun tiada kudapati bakas cakaran atau gigitan kucing. Dan ketika aku mengusap telapak kakinya kulihat ada bekas gigitan ular.

            Kuangkat Nabila dari keranjang tidurnya, rupanya di bawah tubuh Nabila terdapat bangkai seekor ular sendok. Rupanya anakku telah digigit oleh ular itu dan mungkin Mumulah yang telah membunuh ular itu demi menjaga tuannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun