Aku sangat menyesal karena telah memasrahkan anakku kepada seekor kucing yang boleh dibilang tidak memiliki pikiran. Aku tidak tahu apa yang harus kujelaskan kepada suamiku bila nantinya ia bertanya mengenai perihal kematian Nabila putri kami. Tidak terima atas kejadian yang menimpa anakku, niat jahat untuk membalas dendam kepada kucing bedebah itu pun terbersit dalam pikiranku.
      Dengan pikiran yang penuh emosi, lansung saja ku angkat Mumu. Kubanting dia. Dan kucing itu masih bisa mengeong dan meronta. Tidak puas dengan semua itu, aku pergi ke dapur dan kuambil sebilah pisau yang biasa kugunakan untuk memotong daging. Namun, untuk kali ini pisau itu akan aku gunakan untuk memenggal Mumu.
      Kugorok lehernya dengan mata pisau itu. Darah segar terpercik ke wajahku dan seketika itu aku merasa puas karena dendamku terhadap kucing bedebah itu telah terbayar lunas.
      Setelah membunuh Mumu langsung aku berlari ke kamarku. Aku meratapi kepergian putri semata wayangku yang mungikin tiada bisa lagi aku dapatkan. Selama dua tahun aku menunggu kehadiran putriku, namun kini karena keteledoran seekor kucing anakku meninggal. Seribu kutukkan kutujukan kepada semua kucing. Dan sejak saat itu aku benci kepada kucing.
      Dengan perlahan kuusap darah yang masih terdapat pada tubuh anakku, namun tiada kudapati bakas cakaran atau gigitan kucing. Dan ketika aku mengusap telapak kakinya kulihat ada bekas gigitan ular.
      Kuangkat Nabila dari keranjang tidurnya, rupanya di bawah tubuh Nabila terdapat bangkai seekor ular sendok. Rupanya anakku telah digigit oleh ular itu dan mungkin Mumulah yang telah membunuh ular itu demi menjaga tuannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H