Tinggal di ibu kota tempat yang membuat berbondong-bondong mencari peruntungan dengan berbagai cara. Berdagang, berbisnis, menjadi pekerja, dan sekolah atau kuliah menjadi pilihan untuk dijalankan. Sebagai orang yang memilih kuliah sebagai pilihan di ibu kota. Menjadi barang tentu berjibaku dengan buku - buku berbahasa rumit dan melangit. Berbicara sederhana seperti biasa tak menarik.Â
Mengambil istilah keren dari buku dan memamerkannya di tongkrongan yang membuat orang-orang takjub. Menaikkan kasta menjadi orang terlihat intelek. Menjadi anak kuliahan sehari - hari memperhatikan dosen mengajarkan perkuliahan dengan serius. Tak lupa untuk menyerap istilah - istilah melangit dan ribet. Menyimak dengan penuh tidak mengerti. "Keren ngomongnya", ujar Yeyen seorang mahasiswi beradik dua. Dengan tidak mengerti Yeyen memuji dosennya. Ketika keluar kelas semua yang materi yang diterima sirna begitu saja tanpa merasa berdosa.Â
Yeyen dan teman - temannya nongkrong cantik di bilangan sekitar kampus. Ratih melihat lembar menu yang tertera. "Pesan long black satu ya", katanya. Dan baristanya mengiyakan pesanan Ratih. "Eh, sorry ga jadi, cappucino aja deh", lanjut Ratih. Kemudian Yeyen berujar, "kamu inkonsisten sama keputusan sendiri". "Entah ada hormon penentu keputusan yang mengkudeta hormon lain pada anatomi biologisku", sambung Ratih.Â
Mereka memesan satu menu untuk dirinya. "Aku mengalami ambivalensi, terdistraksi oleh cappucino dingin. Awalnya aku pesen es teh manis saja", Yeyen bercerita pada Ratih. Dalam ruangan berAC, kursi empuk, beraroma kopi, suasana fancy. Mereka saling bercerita dengan bahasa melangit - langit.Â
"...itu sangan irasional dan ilogika..."
"...Rasionalitasku mengemukakan..."
"Dengan paradigma yang digunakan..."
"Konklusimu didominasi simplifikasi..."
Semakin lama obrolan semakin mendakik - dakik. Duduknya lama jajannya satu minumnya sedikit demi sedikit biar nggak cepat habis. Soalnya kalo udah bais gelasnya diangkat sama waitersnya.Â
Siang hari matahari sedang ngamuk - ngamuknya semua orang dibakar oleh sinarnya. Perut lapar menghantui yeyen, berpikir sejenak untuk menentukan makan siang ini, "Ah, ke pecel ibu Mira aja. 15 ribu udah kenyang pake ayam dan nasi". Seketika ia pergi ke tempat yang dimaksud. "Siang ibu Mira saya mau pesen lunch", kata Yeyen.Â
"Di sini jualnya ayam goreng, ikan goreng, es teh mba", kata ibu Mira