Mohon tunggu...
Dahlan Khatami
Dahlan Khatami Mohon Tunggu... Lainnya - blablablabla

Hanya menulis yang terlintas

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hidup, Ilusi dan Akhirannya

13 Agustus 2022   17:40 Diperbarui: 13 Agustus 2022   18:15 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Manusia di alam tinggi bersaksi bahwa Sang Dia adalah tuhannya

Di alam tinggi pula semua begitu lengkap nan indah

Kemudian mereka ditugasi untuk menyembah diriNya

Kala itu mereka satu per satu ditiup menuju alam kandungan

Dirinya penuh mimpi melihat semua yang dialaminya begitu menyenangkan

Berada di alam kandungan ia menerima begitu saja semua yang disodorkan padanya

Tanpa bertanya, tanpa protes dan tanpa bantahan sepeser pun 

Dirinya hanya setitik noda tinta yang sejajar dengan debu yang berterbangan saat tertiup angin 

Semakin hari titik noda tinta semakin membesar dan membentuk dirinya dengan keunikan

Begitu menyenangkan hidup di alam kandungan tanpa kerja untuk mendapatkan segalanya 

Semula tidak beranggotakan tubuh kini ingin rasanya bergerak bebas namun dibatasi oleh dinding elastis 

Terasa menyenangkan hidup di luar sana yang tanpa batas 

Kemudian dirinya seperti tersadar dari mimpi berkepanjangan melihat silaunya sinar yang memancar 

Ternyata selama ini hanya mimpi-mimpi yang berlalu-lalang di dalam kepalanya 

Ternyata dirinya tidak tahu apa-apa bahkan tidak ada yang dikuasainya

Ternyata keinginannya sering terkalahkan oleh badannya yang kecil 

Ternyata untuk mendapatkan ia harus mengusahakan 

Hidup di alam dunia dengan kerja untuk melaksanakan keinginannya juga kebutuhannya

Membanting kepala hingga mematahkan tulang diperbudak oleh apa yang disebut kerja 

Dirinya diukur oleh standar-standar tidak wajar penuh kerusakan dan kebinasaan 

Kebiadaban demi kebiadaban ia tonton satu per satu hingga dirinya memuntahkan rasa muak 

Mengejar gaya hingga merana terbaring terkapar 

Berlari menuju popularitas hingga akalnya dikebiri 

Memaksakan pengakuan hingga dirinya tidak karuan 

Berambisi hingga nuraninya mati 

Mengejar dunia dan melampauinya

Syahwat menjadi tuannya

Birahi ketamakan menuntunnya 

Orgasme dunia menjadi cita-citanya

Semua terikat ruang dan waktu 

Semua terjebak oleh ruang yang membatasinya

Semua terbatas oleh waktu yang akan habis 

Semuanya terbatas sementara syahwat dan birahi mengelabuinya 

Menganiaya, mendusta, memfitnah dilakukan

Mengadu domba direlakan

Benih-benih kekacauan ditebarkan

Memupuk dendam dari generasi ke generasi 

Mengguncangkan kekacauan 

Memupuskan perdamaian

Menumpahkan darah 

Membasahi kesedihan 

Semuanya mengutuk 

Semuanya menghina 

Semuanya bersumpah serapah 

Semuanya mendidih penuh amarah 

Seperti kilat petir yang muncul di atas langit 

Dirinya yang ambisius penuh keangkuhan 

Tiba-tiba dirinya tersadarkan penuh keterkejutan

Semua berakhir di dalam tanah yang gelap dan kedap udara penuh siksa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun