Mohon tunggu...
Dahlan Khatami
Dahlan Khatami Mohon Tunggu... Lainnya - blablablabla

Hanya menulis yang terlintas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selain Disuntik Jangan Lupa Mendapat Mulut yang Menyebalkan

23 April 2022   02:58 Diperbarui: 23 April 2022   03:07 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tet! Tet! Tet! Tet! Bunyi alarm berbunyi dari ponsel genggam Anu. Seseorang dari bagian masyarakat menengah ke bawah. Seorang pekerja kontrak yang entah sampai kapan dan bisa diputus kapan saja. 

Dengan gaji yang pas-pasan dan memakai gaya hidup kaki lima. Pandemi covid 19 membuat dirinya putus kerja dan kerja paruh waktu dengan bayaran beberapa ratus ribu. 

Demi menutup bolongnya biaya hidup yang berat di tengah pandemi. Untuk menggunakan transportasi umum seperti kereta. Bahkan bekerja di tempat kerjanya yang menggajinya dengan pas-pasan mewajibkan siapa pun tes anti gen. 

Demi mendeteksi siapa yang terkena covid agar melakukan isolasi mandiri sambil mengerjakan pekerjaan dari rumah. Namun untuk menjalan tes anti gen ditanggung oleh pekerja dengan memotong kebutuhan hidup yang sudah tercacah-cacah akibat pandemi.

Suntik dosis 1 telah dilewati kini suntik dosis 2 menjadi syarat wajib baru untuk aktivitas sehari-hari. “Aku harus mandi untuk menghadiri suntik dosis 2”, ujarnya. 

Setelah mandi ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek. “Celana panjang sebaiknya hanya untuk bekerja saja”, Anu memisahkan celana panjang dan celana pendek di tempat pakaiannya. Ia membuka ponselnya untuk mengetahui lokasi suntik dosis 2 yang disimpan di galerinya. 

“Lokasinya cukup dekat dengan tempat tinggalku sepertinya akan cepat”, Anu berkata dengan senang. Berangkat dengan motor kredit yang hampir lunas. Ketika sampai dia mendapat nomor untuk antrean suntik dosis 2. 

“Selamat pagi bapak-bapak dan ibu-ibu hari ini suntik yang tersedia Priser, Auranekat, dan Sikocak bagi yang sudah dapat nomor antrean suntikasi kita mulainya jam 8 lewat 10 menit”, Seorang bapak yang mengenakan topi menyampaikan demikian.  

Seorang ibu mengajukan pertanyaan, “Pak, ada booster nggak?”. Dengan spontan bapak itu menjawab, “Sayangnya booster hari ini tidak ada”.

Sekarang baru pukul 7 lewat 5 menit dan kami semua pergi ke rumah masing-masing. Dan kembali pada waktu yang telah diberitahukan tadi. 

Saat di tempat parkir setelah menyalakan motornya anu berkata pada juru parkir, “Belum disuntik nanti balik lagi jam 8 lewat 10 menit”. Dia pun menancapkan gas menuju rumah yang tidak jauh dari tempat suntik. Setelah pulang ia merebahkan dirinya di atas kasur. “Disuntik apa?”, tanya ibunya dengan daster yang bersahaja. 

“Belum disuntik nanti balik lagi jam 8 lewat 10 menit”, jawab Anu. Dia menyalakan alarm jam 7 lewat 50 menit di ponselnya. Agar jika ia ketiduran dapat terbangun dan tetap suntikasi. Anu yang kelebihan bekerja dan kekurangan tidur memejamkan matanya. Berat memang setelah bekerja paruh waktu ia melanjutkan kerja sebagai ojek online. Jam 9 hingga jam 4 bekerja paruh waktu di sebuah toko bahan pokok. Setelahnya ia berisitirahat sejenak saat jam 5 ia melanjutkan perjalanan sesuai pesanan aplikasi ojek online. Hingga jam 10 bahkan jam 11 sesekali istrihat minum es saset penuh rasa yang dijual emperan jalan. “Segar dan melepaskan gerah di lidahku”, Anu berucap setelah es saset yang dikemas dalam plastik itu habis.

Tet! Tet! Tet! Tet! Bunyi alarm di ponselnya berhasil membuka matanya yang beberapa saat terpejam. Dilihatnya layar yang menunjukkan jam 7 lewat 50 menit “waktunya vakisn”, Anu antusias. 

Bangun dari ranjangnya untuk mengambil kunci motor yang tergeletak di atas meja. Udara menyapanya dengan sejuk sementara burung-burung bertengger sambil bernyanyi. Rasa terhibur pun tak terelakan bagi Anu orang yang ada di lapisan masyarakat menengah ke bawah. 

Hiburan baginya hal yang sangat jarang dialami karena hari libur pun menjadi hari kerja. “Akhirnya sampai”, ujar Anu. Suara peluit juru parkir menegurnya. “Jangan dikunci stang ya”, Juru parkir mengingatkan Anu. 

“Iya, Mas. Stangnya dibiarkan berbelok ke kiri”, sahut Anu padanya. Berjalan menuju ke halaman gedung yang menjadi antrean suntik Anu menghampiri bapak yang mengenakan topi merah.

“Permisi pak…”, Ucap Anu dengan sopan.

“Iya, dek”, sahut bapak topi merah.

“Saya sudah suntik Auranekat dosis 1 Cuma udah beberapa bulan yang lalu jangka waktunya sudah lama. Saya pernah melihat postingan di media sosial kalau sudah suntik dosis 1 tetapi sudah melebihi jangka waktu 6 bulan harus mengulang kembali dari awal”, Anu memberitahukan kebingungannya.

“Oooh… Itu bisa dicek oleh petugas kami untuk mendapat keterangan lebih lanjut”, Bapak topi merah menjelaskan kebingungan Anu.

“Baik pak terima kasih”, Anu mengatakannya dengan senang hati.

Anu beranjak ke barisan kursi yang tertata rapih. Ia mencari tempat kosong untuk dirinya. Ketika duduk ia dikelilingi oleh orang-orang yang beragam usia. Mulai dari yang anak-anak seusia sekolah dasar, orang-orang yang seumuran dengannya, hingga orang lanjut usia. 

Tiba-tiba ibu yang mengenakan baju berwarna cokelat memberikan sosialisasi. “Suntik ini aman karena akan memberikan lembaran yang diisi untuk memberi keterangan kesehatan selama 2 minggu terakhir. Yang dilakukan oleh bapak dan ibu sekalian. 

“Jika setelah disuntik bahunya mengalami kaku atau sakit sama kaya kita masih SMP bahu kita merasa kemeng. Jika merasa sakit berkelanjutan kami menyediakan nomor telepon dokter dan rujukan puskesmas dan rumah sakit. MekAnusme suntikasi dilakukan sesuai nomor yang diterima dan melakukan formulir keterangan kesehatan. Untuk mengetahui keamanan saat suntik. Jika tensi tinggi atau ada penyakit bawaan yang sedang kambuh suntikasinya akan ditolak”, ucap ibu berbaju cokelat. Satu kali panggilan ada tiga orang yang maju ke meja pengisian formulir keterangan kesehatan.

Semua diharapakan menyiapkan satu foto kopi kartu tanda penduduk. Serta sertifikat suntik dosis sebelumnya bisa secara digital atau fisik. “Nomor 38!”, seorang berkemeja cokelat memanggil nomor urut Anu. Dia beranjak dari kursinya menuju meja pengambilan formulir. Saat sedang mengisi formulir keterang kesehatan Anu diminta bukti keterangan suntiknya. 

“Ada sertifikat suntik sebelumnya?”, tanya perempuan berkerudung cokelat. “Bukan tidak ada saya tidak memiliki quota  untuk menunjukkannya karena tersimpan di ponsel”, ucap Anu. 

Terlihat wajah ibu berkerudung cokelat terkaget dan kebingungan. “Berapa nomor kartu tanda pendudukmu?” tanyanya dengan nada yang sedikit tinggi. Anu mengeluarkan foto kopi kartu tanda penduduk kepadanya, “Ini kartu tanda penduduk saya”. 

Kartu tersebut diserahkan kemeja sebelah oleh ibu kerudung cokelat itu untuk diperiksa. “Oh ini dia suntik dosis 2”, ucap bapak berkemeja putih dengan topi hitam. Anu merasa lega mendengarnya. Ia merasa tidak harus mengulang suntik dari dosis pertama.

“Bagian ini di isi oleh petugas kesehatan”, ujar ibu berkerudung cokelat. Anu mengambil formulir tersebut lalu masuk ke dalam gedung. 

Saat baru masuk ia disambut ceria oleh bapak kemeja putih tanpa topi, “Suntik ya?”. “Iya, suntik Auranekat dosis kedua”, Anu menjawabnya dengan senang. Ia pun diarahkan oleh bapak tersebut untuk menemui petugas kesehatan yang sudah duduk dengan rapih. 

Lengkap dengan alat pelindung diri yang menjaganya dari virus yang semerbak. Anu memberi keterangan bahwa dirinya tidak mengalami gejala sakit selama 2 minggu terakhir. Ia pun disuruh pindah tempat duduk untuk disuntik suntik Auranekat. “Bisa lihat surat keterangan suntik Auranekat dosis duanya? Ada di email bisa dilihat melalui ponsel”, ucap petugas kesehatan perempuan itu dengan sorot mata menuju Anu. 

Dengan jujur Anu menjawab, “Maaf, Mba saya quotanya habis belum diisi. Mungkin bisa teathering agar bisa menunjukkan surat tersebut”.  Sorot mata petugas kesehatan perempuan tersebut seketika tajam membelah pandangan Anu. 

“Biar dicek dengan teman sebelah saya, Di sana lengkap nanti bisa ketahuan suratnya”, ujar petugas kesehatan tersebut. “Tidak bisa”, ucap teman sebelahnya. Petugas yang melayani Anu pun memastikan temannya. Namun sudah pasti ucapan temannya terbukti bahwa tidak bisa memeriksa surat suntikasi Anu.

Setelah selesai ia diminta memberikan formulir yang ia miliki ke meja depan. Tempat tenaga kesehatan menanyakan data dirinya. “Sudah, silahkan”, ucap tenaga kesehatan dengan dingin. 

Anu hanya beranjak tanpa rasa bersalah dan tidak patut terhadap dirinya. Namun ia tetap menjalani prosedur suntikasi. Ia memberikan formulir pada pria muda berbaju batik dengan senyuman. Dan dirinya disambut dengan baik. 

“Sudah disuntik?”, tanya pria muda tersebut. “Sudah”, jawab Anu dengan perasaan bersalah dan tidak patut. Namun Anu tetap memberikan senyum sekaligus menyimpan sedih. “Baik. Bisa tunggu sertifikatnya dulu. Nanti menerima panggilan setelah selesai”, pria muda berbaju batik dengan ramah. 

Anu merasa bahwa keramahan yang ia dapatkan hanya teknis. Tanpa emosional dalam memberikan hal tersebut padanya. Ia hanya pergi ke tempat duduk yang berbaris dengan rapih. Melihat semua orang di sekelilingnya yang sama menunggunya dengan Anu. 

Seorang pria berkerah putih yang duduk di seberang kursi menatapnya. Ia merasa bahwa pria itu sama tidak menginginkannya dengan tenaga kesehatan tadi. Lantas Anu merasa tidak pantas merasa di sini. Pandangannya terbuang ke lantai ia hanya tertunduk memandanginya. Barang kali hanya lantai yang menerima Anu di ruangan itu. “Anu”, teriak seseorang yang sedang berdiri.

“Harus ke meja depan sana”, ucap temannya tersebut sambil menunjukkan dengan jarinya. Petugas kesehatan perempuan beranjak dari kursi nyamannya untuk menuju yang dimaksud temannya. 

Berjalan melewati temannya ia misu-misu dengan apa yang dialaminya. “Emang rempong”, ucap teman petugas kesehatan perempuan. 

Ia mengamini bahwa rempong untuk melakukan hal tersebut. Ani merasa aneh bahwa pekerjaan yang memang untuk melayani dikatakan rempong. Ketika kembali petugas kesehatan perempuan tersebut membuka ponselnya. Untuk memeriksa surat suntik Anu bersama temannya. 

“Haahhh untung saja hampir lewat”, ujar petugas kesehatan perempuan. Temannya pun ikut merasa lega sambil melihat layar ponselnya. “Tanggalnya sama hanya bulannya berbeda. Jika lewat satu hari maka harus mengulang vakisnasi dari pertama”, ujar petugas kesehatan perempuan. 

“Iya, saya telat badan saat hari suntikasi dosis kedua”, Ani menjelaskan alasannya.  “Memang kenapa telat? Covid?”, Tanya petugas kesehatan perempuan dengan ketus. “Bukan, hanya tidak enak badan karena lelah”, jawab Ani dengan perasaan sakit. Ani merasa tidak enak badan hanya di pagi hari. 

Pada siang hari ia merasa badannya enak karena melanjutkan tidurnya semalam. Dan Ani menggu lengan baju kausnya untuk disuntik suntik Auranekat dosis 2. Disuntikannya dengan terasa tidak pelan dan terkesan kasar saat menusukkannya. Ia pun merasa terkaget sekaligus sakit namun hanya diam karena tidak ingin ada kata seperti tadi yang didengarnya. “Sakit sekali rasa tusukan jarum ini”, gumam Anu dengan wajah datar.

“Ya, saya Anu”, sahutnya. Ia tidak melihat orang yang memanggil dirinya. Namun beranjak menuju meja pria muda berbaju batik. Demi sertifikat suntik untuknya pergi bekerja mengais rejeki yang pas-pasan. 

“Ini surat suntiknya”, pria berbaju batik memberikan dengan tangan kiri. Ia teringat ajaran ibunya jika memberi dengan tangan kiri tidak sopan. “Terima kasih”, ucap Anu dengan lega. Rasa bersalah dan tidak diinginkan menampar wajahnya sepanjang jalan keluar dari gedung tersebut. Saat menyalakan kendaraanya ia ditegus juru parkir, “Bayar parkirnya”. 

Anu hanya memiliki secercah uang. “Hari ini aku mengurangi ayam menjadi telur ayam”, ucap dirinya. Di tengah roda motornya mengantarkan pulang Anu merasa tertekan dan tertusuk. Ketika sampai di rumah melemparkan diri ke atas kasurnya. “Apakah tidak memiliki quota kesalahan?”, tanya Anu pada dirnya.

“Apakah meminta koneksi internet untuk urusan administrasi tidak bermoral?”, lanjut dirinya. Anu yang tergolong menengah ke bawah tidak layak mendapat keramahan, kenyamanan, dan kepuasan. “Aku mengisi quota maka aku kelaparan lalu berujung kematian. Aku mengisi perut maka aku mengalami rasa bersalah, tidak diinginkan dan secara tersirat dilabeli tidak modal. Bahkan tidak masuk akal di era serba teknologi ini aku tidak memiliki quota”, lanjut Anu. Anu merasa karena tidak memiliki quota membuat dirinya pantas dikatakan apa pun. Bahkan dianggap bersalah karena hal itu dan membuatnya wajib dienyahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun