“Kawan, apa yang engkau sedihkan? Bukankah engkau sudah mendapat jawaban.”
“Memang, tapi itu belum memuaskan.”
“Apa maksudmu?”
“Karena engkau hanya dapat melihat tanpa bisa merasa, lalu bagaimana engkau dapat mengerti arti cinta.”
“Benar, aku hanya dapat melihat tanpa bisa merasa, karena aku bukan hati.”
“Kalau kamu menyadari itu, lalu mengapa engkau menyetujui?”
“Bukan persoalan setuju atau tidak, namun aku harus bagaimana? Merekalah yang telah memperlakukan aku seperti ini.”
Kulihat tetesan embun mengalir dari celah kamar kedukaan, kerling bola matanya menjadi sembab. Tanpa terasa aku pun hanyut dalam pusaran badai kepiluan. Kucoba untuk menghiburnya dengan persembahan kata maaf. Namun, apa yang kudapat? Goresan luka yang terlalu dalam untuk dilupakan.
“Saudaraku, apa yang telah dirimu perbuat dengannya?” Tanya akalku.
“Akal, sungguh, bukan maksud hati untuk menyakiti, namun apa daya diriku tiada mengerti.”
“Apa sebenarnya yang engkau cari?”