Kalau tangan Anda tergores pisau kemudian mengeluarkan darah, dan mata Anda menangis karenanya, maka itulah bentuk kecintaan mata Anda kepada tangan Anda. Dan jika tangan Anda menyeka air mata yang membasahi pipi, maka itulah bentuk kecintaan tangan Anda kepada mata Anda. Ikatan cinta keduanya terjalin sejak lama, bahkan semenjak Anda sama sekali tidak menyadarinya.
Kalau kaki Anda tertusuk duri, kemudian mulut Anda merintih karenanya, maka itulah bentuk kecintaan mulut Anda kepadanya. Kalau mulut Anda merintih, kemudian kaki Anda melanjutkan langkah guna menghiburnya, maka itulah bentuk kecintaan kaki Anda kepadanya. Ikatan cinta keduanya tidak membedakan kasta, meski Anda sendiri cenderung membedakannya.
Mana yang lebih mulia antara kaki dan kepala? Antara telinga dan mata? Antara mulut dan hidung? Antara tulang dan kulit? Antara hati dan jantung? Atau antara kuku dan gigi? Jawabannya mengikuti seberapa besar diri Anda mencintai bagian-bagian dari anggota tubuh Anda itu sendiri. Semakin besar rasa cinta Anda, maka semakin kecil Anda membuat perbedaan di antara mereka.
Kalau Anda meminum segelas air, kemudian Anda tidak lagi merasa haus, itulah bentuk kecintaan Anda pada air dan tenggorokan. Kalau Anda memakan sepiring nasi, kemudian Anda merasa kenyang, itulah bentuk kecintaan Anda pada nasi dan perut. Saat Anda merasa lega setelah mengeluarkan angin kentut, kotoran tinja, atau air kencing, itulah bentuk kecintaan Anda pada organ tubuh dalam yang telah melakukan kewajibannya.
Cinta Anda kepada mereka mungkin menjadi perwujudan cinta yang paling tulus dari Anda, meski selama ini Anda sama sekali tidak menyadari atau bahkan sama sekali belum sempat mengungkapkannya. Cinta Anda terhadap mereka berproses dan memuai secara alamiah tanpa harus membedakan apakah Anda seorang anak kecil, remaja, orang dewasa, laki-laki, perempuan, wadam (Hawa-Adam), atau bahkan orang tua yang sudah pikun.
Tak seharusnya cinta terucapkan,
jika kenyataan terlanjur membuktikan.
Karena kata hanyalah bahasa,
yang terkadang sulit dipercaya.
Cinta itu ya cinta,
sekadar nama terserah kita memaknainya.
Cinta itu ya cinta, dan siapa pun berhak menafsirinya; saya, Anda, dia, dan mereka, masing-masing dari kita mempunyai pilihan sendiri untuk menentukan ke mana arah perjalanannya. Apakah ia akan berlabuh di tepian pantai, dan menjelma menjadi butiran pasir? Apakah ia akan berdiam di atas sehelai daun, dan menjelma menjadi tetesan embun? Apakah ia akan berhenti di atas tumpukan kayu, dan menjelma menjadi kumpulan rayap? Atau apakah ia akan bersemayam di dalam nyala api, dan menjelma menjadi kepulan asap?
Cinta tak perlu diperdebatkan, karena cinta bukan pertanyaan atau jawaban. Cinta tak perlu didialogkan, karena ia bukan wacana atau gagasan. Cinta tak perlu dirumuskan, karena ia bukan tesis (teori) atau sintesis (kesimpulan). Cinta tak perlu dicari, karena ia tidak pernah hilang atau bersembunyi. Cinta tak perlu dikejar, karena ia tak pernah lari atau menghindar.
Cinta itu ya cinta, di mana pun kita berada, di situlah cinta menampakkan cahayanya. Cinta itu ya cinta, ke mana pun kita melangkah, di situlah cinta hadir merekah. Cinta itu ya cinta, sesuatu rela berkorban untuknya, dan ia rela berkorban untuk sesuatu yang mencintainya. Cinta itu ya cinta, semakin sulit kita memahaminya, semakin dalam kita mencintainya.
Cinta itu ya cinta,
ia tampak dalam seribu warna.
Terkadang hadir membawa harapan,
lalu pergi meninggalkan kesedihan.
Tersenyum di balik duka,
menangis di tengah gelak tawa.
Cinta itu ya cinta,
sejak kapan kita mengenalnya?
Cinta itu ya cinta, inilah cintaku, inilah perasaanku, lalu bagaimana dengan cintamu???
#jalanku sunyi#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H