Mohon tunggu...
Dahan
Dahan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Science, Environmental Study, Social Science, Defence Science

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Upaya Sia-Sia Bersihkan Sungai Setahun Sekali

27 April 2017   13:17 Diperbarui: 27 April 2017   22:00 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya Sia-Sia Bersihkan Sungai Setahun Sekali

Sudah menjadi budaya diIndonesia menjadikan sungai sebagai elefator sampah. Mudah, praktis, terjangkau dan tak perlu keluar tenaga. Hal ini makin sering dijumpai seiring perkembangan suatu daerah menuju predikat sebuah kota, apalagi daerah yang benar-benar telah menyandang predikat kota sejak lama. Bukan hal aneh lagi jika bantaran sungai digunakan sebagai perumahan dan rumah – rumah tersebut menjadikan sungai sebagai tempat membuang dan mengambil air.

Tak terhitung jumlah pemukiman yang berada di kota-kota besar di Indonesia. Namun  hanya sedikit diantaranya yang memiliki septiktank.Sisanya masih mengandalkan sungai sebagai aliran untuk membawa limbah rumah mereka. Tak pernah terfikir oleh masyarakat dampak dari hal sepele yang mereka lakukan dapat berdampak besar bagi kehidupan makhluk lain. Mengingat tingkat kemapanan masyarakat Indonesia mengacu pada tingkat materi dan harta yang dimiliki bukan pada pemikiran dan apa tindakan yang dilakukan masyarakat untuk sekitar mereka.

Sikap gotong royong dan peduli sesama juga kian sirna jika suatu daerah diIndonesia semakin maju. Dan merasa dirinya tidak perlu ikut campur selama suatu perkara sementara merugikan orang lain namun tidak merugikan baginya. Bahkan perkara  tersebut terjadi didalam satu wilayah yang sama. Tetapi ketika suatu perkara melanda dirinya barulah tersadar dan baru mau mengambil tindakan dan tak jarang terdapat aksi saling menyalahkan.  Begitulah yang terjadi walaupun mayoritas warga di perkotaan merupakan kaum terpelajar namun hanya sedikit yang berbudi pekerti baik.

Tak jauh beda dengan rakyatnya, begitupula pemerintahnya. Tindakan serta kebijakan selalu terealisasi pasca terjadi suatu perkara dan tidak ada antisipasi maupu penanggulangan sebelumnnya. Mengingat negara kita merupakan negara demokrasi yang pemerintahannya  dilaksanakan oleh rakyat, pada rakyat, dan untuk rakyat maka tak jauh beda tabiat pemerintah dengan rakyatnya. Misalnya saja banjir diJakarta, Akankah pemerintah terfikir untuk membangun gorong-gorong dan saluran air sebelum akhir-akhir terjadi banjir di Jakarta?.Tentunya sama sekali tidak akan terfikir oleh pemerintah apabila suatu perkara berupa kemungkinan dan belum berdampak walaupun terdapat potensi akan terjadi hal demikian. Begitulah keegoisan seluruh lapisan masyarakat Indonesia apabila terayomi dengan kemapanan, kemudahan akan kemajuan.

Kerap kali terlaksana pada peringatan hari air sedunia di beberapa wilayah diIndonesia melaksanakan kegiatan bersih-bersih sungai setiap tahunnya. Bukan berarti setiap hari dalam setahun namun sehari dalam setahun atau dapat dikatakan satu kali dalam satu tahun. Bayangkan panjang sungai yang melintasi sebuah pulau dicemari oleh penghuni satu pulau namun dibersihkan hanya segelintir orang dalam satu hari pada satu tahun. Jika mereka mengatakan tindakan ini efektif dan mendapat dukungan beberapa lapisan masyarakat maka keefektifan itu hanya omong kosong belaka. Ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan langkah awal dalam bertindak baik terhadap lingkungan, kalau begitu setiap tahunnya hanya berupa langkah awal yang terealisasi dan mana langkah selanjutnya yang menjadi pertanyaan.

Bisa dibilang kalau selama ini yang selalu mereka anggap sebagai langkah awal hanyalah ceremonial  belaka. Terbukti bahwa tindakan tiap tahun tersebut sia-sia dengan dinobatkannya Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar nomor dua sedunia setelah cina pada tahun 2015 lalu. Dengan sampah hingga 187,2juta ton yang disumbang Indonesia kepada lautan.  Angka yang fantastis dan masuk akal bila dikaitkan dengan jumlah penduduk Indonesia serta kebiasaan buruknya.

 Maka dari itu cukuplah disini dosa yang kita lakukan sebagai manusia yang menyandang predikat penduduk Indonesia dalam mendzolimi lingkungan. Dan mulai berbenah dengan menyiapkan berbagai antisipasi bencana yang mungkin akan timbul dari perbuatan kita sebelumnya dan niat untuk berbenah. Dengan memulainya terhadap diri kita apa yang dapat kita lakukan terhadap lingkungan sebagai wujud pertobatan. Untuk mewujudkan lingkungan yang bersih kembali dan menghindarkan kita dari sikap egois sebagai manusia.

Sebaiknya tindakan yang dilakukan masyarakat dan pemerintah adalah kegiatan yang berkelanjutan dan menjadi budaya baru yang baik terhadap lingkungan. Memang bukan hal yang mudah untuk merubah tabiat masyarakat dengan menciptakan perilaku yang baru. Akan tetapi setidaknya jika ada upaya yang didasari niat yang sungguh-sungguh bukan tidak mungkin perilaku masyarakat yang berbudi pekerti baik terhadap lingkungan akan terealisasi apabila memang terdapat niat dari masyarakatnya untuk berbenah.

Sudah banyak upaya berbenah terhadap lingkungan yang bersifat tekhnis. Seperti memperbaiki ekosistem dengan cagar alam, konservasi, penanaman pohon dan lain-lain. Namun hal dasar berupa sikap kerap kali terabaikan. Sikap merupakan hal terpenting dalam melakukan suatu tindakan. Karena sikap dapat menentukan arah dari tindakan yang akan dilakukan.

Sehingga salah rasanya banyaknya tindakan tekhnis yang diambil selama ini tanpa dilandasi sikap peduli terhadap lingkungan secara keseluruhan. Karena dengan demikian hanya segelintir orang saja yang dapat ambil peran dalam hal-hal yang bersifat tekhnis tersebut. Sementara masyarakat umum masih berada pada kebiasaan lama mereka dengan keegoisannya serta sikap acuh terhadap sekitar.

Pada lingkungan sungai misalnya, dengan merubah kebiasaan masyarakat untuk tidak membuang sampah di sungai sudah pasti akan berdampak besar dan lebih dapat dirasakan manfaatnya. Ketimbang tindakan ceremonial setahun sekali yang lebih banyak memakan banyak anggaran dan tenaga. Tentunya peran pemerintah juga diperlukan dalam merubah sikap masyarakat. Mengingat pemerintah juga bagian dari masyarakat.

 Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara untuk merubah sikap masyarakat?. Jika dilihat dari alasan mengapa masyarakat tidak membuat septiktankuntuk rumahnya selain efesiensi adalah faktor ekonomi. Memang tidaklah murah untuk membuat sebuah septiktank, apalagi bagi warga dengan ekonomi menengah kebawah penghuni bantaran sungai. Namun dengan adanya kekurangan dari masyarakat inilah yang menjadi kelebihan guna mendorong simpati masyarakat untuk berbenah.

Dapat dikatakan bahwa semua sampah bernilai ekonomis. Seperti yang belakangan ini ngetrend, yakni bank sampah. Bank sampah menerapkan sistem seperti loak sampah pada umumnya namun ditambah dengan sarana investasi menggunakan sampah yang dapat memajukan ekonomi masyarakat. Dengan adanya motifasi mengumpulkan sampah untuk ditukar menjadi rupiah  bisa menjadi dorongan masyarakat untuk tidak membuang sampah dan malah mengumpulkannya. 

 Akan tetapi bank sampah saat ini masih memiliki target sebatas sampah kering yang dapat didaur ulang saja. Sedangkan sampah basah tidak bernilai rupiah, maka dari itu sebaiknya terdapat pula konsep bank sampah menerima semua jenis sampah. Apabila sampah kering didaur ulang berbeda halnya dengan sampah basah yang harus melalui pengolahan untuk dapat digunakan. Yakni dengan memfermentasinya menjadi kompos, sehingga sampah basah memiliki nilai jual juga namun tentunya dengan harga yang lebih murah ketimbang sampah kering mengingat jumlahnya yang banyak dan mudah ditemukan.

 Meskipun sampah basah bernilai ekonomi lebih rendah, akan tetapi hasil pengolahan sampah basah tak bisa di bilang murah. Harga pupuk yang kian naik karena jumlahnya yang sedikit dan permintaan pupuk dari petani amat besar jumlahnya untuk dipenuhi, bahkan pupuk terkadang merupakan menjadi komoditi impor yang terpaksa harus dibeli Indonesia untuk menetupi kebutuhannya, sangat disayangkan bukan. Maka dari itu dengan pengolahan pupuk dari sampah basah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pupuk, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan tentunya tujuan utamanya yakni merubah pola budaya buruk masyarakat terhadap lingkungan.

Kemudian bagaimana dengan peran pemerintah?, peran pemerintah disini adalah sebagai pendukung terlaksananya program. Dengan memberikan fasilitas berupa septiktank umum yang terhubung dengan bebrapa rumah warga sekaligus guna menghidari pembuangan limbah rumah tangga ke sungai. Juga pemfasilitasan bank sampah yang tercover oleh pemerintah sehingga terdapat modal dan nama yang dapat dipercaya oleh masyarakat sehingga kelangsungan bank sampah dapat terjamin.

Dengan terlaksananya program-program tersebut dapat dipastikan terjadi perubahan sikap masyarakat dalam memandang limbah. Tak lagi membuang dan malah mengumpulkan apabila sampah telah memiliki nilai ekonomi. Sehingga bermodal motifasi tersebut dapat dipastikan perubahan sikap masyarakat akan terjadi. Juga kegiatan ini tidaklah bersifat sementara saja namun berkelanjutan sehingga keberlangsungan lingkungan dapat terjamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun