Mohon tunggu...
Dafin Delian
Dafin Delian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Lepas

Hanya orang yang ingin belajar untuk disebarkan kembali. Menyukai topik tentang lingkup budaya Asia Timur.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Tanah Yomi: Gelap dan Mengerikannya Kematian bagi Mereka yang Sudah Meninggal

31 Agustus 2021   19:26 Diperbarui: 4 September 2021   16:49 1979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Torii penanda area tanah Yomi. Sumber: tofugu.com

Kematian tampaknya menjadi salah satu hal yang sering menarik perhatian bagi beberapa orang. Pertanyaan seperti, kemanakah kita akan pergi atau apakah yang ada di alam setelah kita meninggalkan dunia ini, banyak dilontarkan oleh mereka yang penasaran akan kehidupan setelah kematian.

Maka dari itu, tidak heran banyak disiplin ilmu yang berusaha menjawab hal tersebut atau kepercayaan dan agama yang juga turut menjawabnya. Seperti salah satunya adalah shinto (神道 = Jalan Dewa) yang merupakan kepercayaan asli orang Jepang. Alam setelah kematian yang ada di dalam kepercayaan shinto disebut sebagai tanah Yomi (黄泉の国) yang digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan kesedihan.

Orang Jepang pada mulanya hanya memahami satu konsep mengenai kehidupan dan kematian berdasarkan ajaran kepercayaan setempat saja. Kepercayaan tersebut diturunkan dengan lisan karena memang pada waktu sebelum masuknya huruf kanji dari Tiongkok, Jepang masih menggunakan tradisi lisannya untuk menyampaikan informasi secara turun-temurun.

Perlu diketahui kalau sifat dari tradisi lisan itu adalah seringkali berubah karena tuturan dari orang yang satu dengan orang lain itu bisa berbeda satu sama lain dan tidak mungkin menyimpan informasinya secara utuh sehingga diperlukan huruf yang dapat mencatatnya. 

Sejak masuknya huruf kanji, akhirnya tradisi lisan itu mulai dibukukan dan terbitlah buku yang bernama kojiki (古事記) pada tahun 712 M yang merupakan kitab kepercayaan shinto.

Pembukaan kojiki dimulai dengan kisah dilahirkannya dewa (kami) seperti pasangan dewa yang bernama Izanagi dan Izanami. Izanagi dan Izanami adalah sepasang suami istri yang saling mencintai dan bersama-sama mereka membuat kepulauan Jepang. 

Namun, hal yang disayangkan terjadi setelah Izanami melahirkan dewa api (Kagutsuchi). Izanami terbakar karena melahirkan dewa tersebut dan kemudian meninggal. Setelah itu, Izanagi terus menangisi kepergian Izanami.

Ilustrasi Izanagi dan Izanami sedang membuat kepulauan Jepang. Sumber: wikipedia.com
Ilustrasi Izanagi dan Izanami sedang membuat kepulauan Jepang. Sumber: wikipedia.com

Sifat yang ada pada Izanagi menyimbolkan bagaimana rapuhnya sebuah kehidupan. Apabila kematian menjemput orang yang kita kasihi, maka kematian tersebut akan menyebabkan kepedihan yang mendalam dan muncul perasaan tidak rela akan hal itu. Akibatnya kita yang masih hidup akan terus dibayangi oleh rasa sedih itu dan selalu berharap ingin bersama lagi dengan orang yang sudah meninggal. 

Seperti Izanagi yang meyakini bahwa istrinya belum meninggal dan ia bertekad untuk membawa kembali istrinya dari alam orang yang sudah meninggal. Alam itulah yang disebut sebagai tanah Yomi, alam di mana orang-orang yang sudah meninggal itu pergi. 

Konsep tanah Yomi ini agak berbeda dengan pemahaman agama Abrahamik di mana ada surga dan neraka. Sederhananya, kalau di surga mendapatkan kebahagiaan dan di neraka mendapatkan hukuman. Lebih jauh, baik surga dan neraka juga tidak lagi berada di bumi. 

Sedangkan tanah Yomi itu berbeda. Alam itu merupakan perpanjangan dari alam yang saat ini kita tinggali. Maksudnya adalah alam orang-orang yang sudah meninggal itu ada di sekitar kita. Mereka hidup bersama kita, namun kita tidak mengetahui cara masuk ke alam tersebut selain meninggal. Sebagai tambahan, tanah Yomi ini juga bukanlah neraka ataupun surga.

Saat Izanagi keluar dari tanah Yomi, Izanagi menutup 'gerbang' antara kedua alam dengan batu besar yang pada akhirnya alam antara orang yang masih hidup dengan yang sudah meninggal secara simbolik terpisah oleh batu besar yang disebut dengan Yomotsu Hirasaka (黄泉比良坂) atau Ibuyazaka (伊賦夜坂) dan batu tersebut terletak di Prefektur Shimane, Jepang

Tekad awal Izanagi yang berkunjung ke alam Yomi demi membawa istrinya kembali hidup harus tandas saat dirinya merasakan ketakutan tanah Yomi. Ketakutannya memaksa Izanagi untuk menerima kenyataan bahwa istrinya memang sudah meninggal dan tidak dapat dihidupkan kembali.

Ilustrasi Izanagi (kiri) dan Izanami (kanan) yang terpisah di perbatasan tanah Yomi. Sumber: hatobus.club
Ilustrasi Izanagi (kiri) dan Izanami (kanan) yang terpisah di perbatasan tanah Yomi. Sumber: hatobus.club

Meskipun Izanagi ingin hidup bersama istrinya, namun ternyata dunia kematian tidaklah sebaik yang dibayangkan olehnya karena istrinya yang ada di tanah Yomi, bukan lagi istri yang dikenalnya dulu.

Selain itu, apresiasi terhadap alam kematian yang tidak terpisah dari dunia orang yang masih hidup juga terungkap pada salah satu puisi di dalam Manyōshū karya Kakinomoto Hinomaro. 

Untuk mengungkapkan kesedihan akan kepergian istrinya, Kakinomoto menuliskan puisi bahwa dalam pencarian istrinya, istrinya telah kehilangan arah karena arahnya sudah tertutup oleh dedaunan musim gugur. Ini menunjukkan bahwa orang yang sudah meninggal, jalannya sudah tidak sama dengan yang masih hidup.

Antara yang masih hidup dengan yang sudah meninggal sudah tidak dapat bertemu kembali dan tidak ada kemungkinan untuk hidup kembali, namun Kakinomoto meyakini bahwa alam itu bukanlah surga atau alam yang terlepas dari alam saat seseorang itu masih hidup tetapi alam orang yang sudah meninggal itu masih terhubung dengan alam saat orang tersebut masih hidup.

Torii penanda area tanah Yomi. Sumber: tofugu.com
Torii penanda area tanah Yomi. Sumber: tofugu.com

Sebelumnya, kita telah mengetahui bahwa Izanami telah meninggal dan jiwanya menuju ke tanah Yomi. Kita juga tidak bisa mengunjungi alam itu. Namun, Izanagi dapat mengunjungi alam tersebut yang menandakan bahwa kemungkinan sebelumnya seseorang yang masih hidup dapat mengunjungi alam orang-orang yang sudah meninggal. Sayangnya, karena Izanagi telah menutup jalur tersebut secara simbolik, akhirnya orang yang hidup tidak bisa mengunjungi alam orang-orang yang telah meninggal.

Lebih jauh lagi, dalam artikel yang berjudul The Genealogy of Sorrow, Ō. Akira dan kawan-kawan juga mengungkapkan tulisan Motoori mengenai tanah Yomi yang bertuliskan, "The faith of Shinto is that when people, good or evil, die, they all go to the land of Yomi... thus when one dies, one can only grieve that one must go to the land of Yomi. No one doubt this, and no one thinks of the reason for this." 

Jadi, menurut Motoori Norinaga, tanah Yomi adalah alam yang tidak bersih dan tempat itu kotor. Semengerikannya tanah Yomi itu sampai-sampai Izanagi juga harus mensucikan dirinya setibanya di alam orang yang masih hidup. 

Itulah kegelapan yang ada di dalam tanah Yomi. Hal yang disayangkan adalah bahwa seseorang yang meninggal, mau tidak mau dan suka atau tidak suka harus pergi ke tanah Yomi. Tidak peduli apakah mereka orang yang baik atau orang yang buruk, mereka sama-sama masuk ke tanah Yomi.

Pada intinya adalah masyarakat Jepang percaya bahwa tanah Yomi adalah perpanjangan dari kehidupan kita di dunia saat ini. Kematian secara sederhananya hanyalah tidak dapat terlihat oleh mereka yang masih hidup. Namun yang pasti, alam orang yang sudah meninggal menurut Izanagi dan Motoori Norinaga adalah alam yang tidak bersih dan tempat yang busuk, tapi kita tidak bisa menghindarinya. Maka dari itu, tidak ada hal di alam ini untuk lebih dikasihani selain kematian itu sendiri. 

Kematian terasa sangat menyedihkan karena merupakan cerminan dari manusia yang selalu bersedih apabila suatu hari kita atau orang yang kita kasihi meninggal sehingga kita tidak dapat bertemu dengan orang tersebut. Kesedihan itu pada akhirnya menuntun pandangan bahwa alam orang meninggal adalah alam yang tidak baik dan alam yang buruk.

Air mata yang dikeluarkan oleh Izanagi saat menangisi Izanami adalah wujud di mana kematian adalah hal yang menyedihkan yang bahkan dewa sekalipun menangis. Namun, menurut Norinaga, kesedihan itu sendiri adalah inti dari kehidupan manusia, manusia yang telah meninggal menghilang ke dalam kabut kesedihan. Manusia adalah seutuhnya manusia apabila ia dapat bersedih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun