Mohon tunggu...
Dafid Riyadi
Dafid Riyadi Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bandung

Menyukai bincang-bincang pendidikan, sastra dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemakaman Senja

26 Juli 2024   10:17 Diperbarui: 26 Juli 2024   10:22 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

PEMAKAMAN SENJA

Wadi baru saja selesai mencabuti rumput-rumput yang tumbuh pendek di sekitar kuburan ibunya ketika orang-orang mulai berdatangan memasuki area pemakaman. Burung kedasih yang sedari tadi bernyanyi memilukan di atas dahan pohon beringin raksasa terbang entah kemana bersamaan dengan datangnya orang-orang itu. Bukan karena kedatangan mereka pada saat hari menjelang magrib yang membuat Wadi merasa aneh. Tetapi ada hal lain yang dirasa tidak biasa, sesuatu yang ganjil. Setelah bertahun-tahun bekerja membersihkan area pemakaman, suasana seperti ini baru pertama dia lihat. Selama ini Wadi terbiasa melihat orang berpakaian hitam saat menghadiri pemakaman. Tetapi hari ini, semua yang datang mengenakan pakaian putih-putih.

Keranda ataupun mobil pembawa jenazah belum tampak, tetapi kerumunan semakin bertambah banyak. Melihat ada orang yang mulai menggali di satu bagian yang kosong, Wadi beranjak dari duduknya menghampiri, dia takut nanti disalahkan. Seingat Wadi, petugas Dinas Pemakaman tidak memberi pesan apapun tentang adanya penguburan yang akan dilakukan sore ini.

Baru saja Wadi mendekat, satu orang berbaju putih memberi isyarat agar Wadi menjauh. Satu orang berpakaian  putih lainnya, merangkul Wadi ramah, dan membimbing Wadi kembali ke teras kantor Dinas Pemakaman.

"Tunggulah disini, kami sudah mendapatkan izin," ucap laki-laki itu. Suaranya tenang dan berwibawa, tetapi getaran yang merambat lembut ke gendang telinga Wadi, membuat hatinya seketika gentar. Orang itu meninggalkan Wadi sendiri.

Matahari semakin meredup, tetapi orang-orang semakin banyak berdatangan ke tempat itu. Dalam hati Wadi bergumam, pastilah orang yang meninggal ini sangat baik semasa hidupnya, sehingga mengundang begitu banyak orang untuk mengantar kepergiannya. Wadi termenung. Dia memikirkan kepergiannya nanti. Apakah dia juga akan diantar oleh orang sebanyak ini.

Tentu Wadi cukup tahu diri. Dia bukanlah seorang ahli agama yang memiliki banyak pengikut. Bukan pula seorang kaya raya yang dengan hartanya bisa berbagi banyak kebaikan kepada sesama. Dia pun bukan orang terkenal seperti para pesohor yang mengundang simpati banyak orang saat mereka tiada. Wadi adalah Wadi. Seorang pemuda desa yang hidup dari menggali tanah untuk orang-orang mati.

 Upahnya bekerja di tempat pekuburan memang tidak seberapa, tetapi baginya itu lebih dari cukup. Bagi Wadi, ada yang jauh lebih berharga dibanding uang. Yaitu ibunya. Wadi tinggal berdua saja dengan ibunya. Ibunya adalah seorang yang sudah tua dan lemah. Matanya sudah kehilangan fungsinya. Sehingga Wadi harus menuntunnya bahkan tak ragu untuk menggendongnya jika ibunya bermaksud pergi ke suatu tempat.

Berapa kali dia melepaskan kesempatan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Alasannya sama, dia memikirkan ibunya. Bagaimana jika dia pergi? Siapa yang akan menggendong ibunya ke kamar mandi. Menyuapinya sangat dia lapar dan memberinya minum saat dia merasa haus? atau yang paling sederhana, siapa yang akan menemaninya di rumah.

Ketika anak-anak seusianya berbondong-bondong menjadi buruh ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Wadi memilih tetap berada di kampung. Menjadi seorang penggembala kambing. Dia diberi upah untuk menggembala kambing milik orang lain. Sayangnya, semakin hari semakin sedikit orang yang menitipkan kambingnya kepada Wadi. Tidak banyak orang yang memelihara kambing sekarang. Tanah lapang, sawah, bukit, berlomba dengan pengembang yang mendirikan perumahan di sekitar kampungnya.  

Sebab itulah, ketika pegawai Dinas Pemakaman menawarinya pekerjaan sebagai petugas kebersihan pemakaman, Wadi langsung menyanggupinya. Wadi senang dengan pekerjaan barunya. Selain bisa mendapatkan uang, dia juga tetap bisa berbakti kepada ibunya.

Tetapi sayangnya, baru saja Wadi menerima gaji pertamanya sebagai petugas pemakaman, ibunya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkannya sendiri. Berminggu lamanya Wadi tenggelam dalam kesedihan. Ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang menyayanginya membuatnya hampir putus asa. Tetapi hidup harus terus berjalan. Dan jalan hidupnya adalah disini, di area pemakaman, bersama orang-orang mati. Setidaknya disini dia bisa menyaksikan pusara ibunya setiap hari.

Bertahun Wadi berfikir bahwa kematian begitu jahat. Memisahkan dua orang yang saling  menyayangi, menjauhkan orang dari harta benda yang dikumpulkan berpuluhtahun lamanya. Kematian menyisakan tangis bagi orang yang ditinggalkan. Tetapi pikiran itu sedikit demi sedikit terkikis bersama puluhan orang mati yang dia kuburkan di tempat ini.

Kematian bukan hanya penderitaan bagi orang hidup. Memisahkan dua orang yang saling mencintai. Tetapi bagi sebagian orang yang lemah iman, gelap mata, putus asa. Mungkin bagi mereka kematian adalah akhir dari penderitaan.

Wadi pernah menguburkan seorang yang minum racun serangga, katanya orang itu tidak tahan dengan penyakit yang dideritanya selama belasan tahun. Dia juga pernah mengebumikan seorang gadis yang memutus urat nadinya hanya  karena patah hati. Tetapi ada juga jenis kematian yang menggelikan. Seperti yang terjadi minggu lalu, seorang remaja yang berniat membuat konten bunuh diri, dia tergelincir dari kursi kayu yang dia gunakan sebagai pijakan, seketika tali rapia yang sudah mengalungi lehernya itu, menjerat remaja itu tanpa ampun.

 "Wadi."

Suara lembut berkharisma itu kembali terdengar dan seketika itu pula menyadarkan Wadi dari lamunannya. Dia memerhatikan sekitar. Wadi gugup, kerumuan orang kompak berdiri memberikan jalan untuknya. Wadi diliputi ketakutan, namun rengkuhan pria di sampingnya seketika menghalau rasa takut itu.

"Kamu tahu siapa yang akan dikuburkan hari ini Wadi?"

Wadi menggeleng.

"Ini pemakamanmu, ayo kita pulang, bukankah kamu sangat merindukan ibumu?"

Wadi tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba dia merasakan keheningan yang begitu damai, kesunyian, wangi yang asing dan dingin yang perlahan merambat dari ujung kaki, naik perlahan menuju dada, menyusuri tenggorokan dan berakhir di lidahnya teriring ucapan laaillahaillallah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun