Mohon tunggu...
Dafid Riyadi
Dafid Riyadi Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bandung

Menyukai bincang-bincang pendidikan, sastra dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemakaman Senja

26 Juli 2024   10:17 Diperbarui: 26 Juli 2024   10:22 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tetapi sayangnya, baru saja Wadi menerima gaji pertamanya sebagai petugas pemakaman, ibunya menghembuskan nafas terakhirnya dan meninggalkannya sendiri. Berminggu lamanya Wadi tenggelam dalam kesedihan. Ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang menyayanginya membuatnya hampir putus asa. Tetapi hidup harus terus berjalan. Dan jalan hidupnya adalah disini, di area pemakaman, bersama orang-orang mati. Setidaknya disini dia bisa menyaksikan pusara ibunya setiap hari.

Bertahun Wadi berfikir bahwa kematian begitu jahat. Memisahkan dua orang yang saling  menyayangi, menjauhkan orang dari harta benda yang dikumpulkan berpuluhtahun lamanya. Kematian menyisakan tangis bagi orang yang ditinggalkan. Tetapi pikiran itu sedikit demi sedikit terkikis bersama puluhan orang mati yang dia kuburkan di tempat ini.

Kematian bukan hanya penderitaan bagi orang hidup. Memisahkan dua orang yang saling mencintai. Tetapi bagi sebagian orang yang lemah iman, gelap mata, putus asa. Mungkin bagi mereka kematian adalah akhir dari penderitaan.

Wadi pernah menguburkan seorang yang minum racun serangga, katanya orang itu tidak tahan dengan penyakit yang dideritanya selama belasan tahun. Dia juga pernah mengebumikan seorang gadis yang memutus urat nadinya hanya  karena patah hati. Tetapi ada juga jenis kematian yang menggelikan. Seperti yang terjadi minggu lalu, seorang remaja yang berniat membuat konten bunuh diri, dia tergelincir dari kursi kayu yang dia gunakan sebagai pijakan, seketika tali rapia yang sudah mengalungi lehernya itu, menjerat remaja itu tanpa ampun.

 "Wadi."

Suara lembut berkharisma itu kembali terdengar dan seketika itu pula menyadarkan Wadi dari lamunannya. Dia memerhatikan sekitar. Wadi gugup, kerumuan orang kompak berdiri memberikan jalan untuknya. Wadi diliputi ketakutan, namun rengkuhan pria di sampingnya seketika menghalau rasa takut itu.

"Kamu tahu siapa yang akan dikuburkan hari ini Wadi?"

Wadi menggeleng.

"Ini pemakamanmu, ayo kita pulang, bukankah kamu sangat merindukan ibumu?"

Wadi tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba dia merasakan keheningan yang begitu damai, kesunyian, wangi yang asing dan dingin yang perlahan merambat dari ujung kaki, naik perlahan menuju dada, menyusuri tenggorokan dan berakhir di lidahnya teriring ucapan laaillahaillallah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun