Stigma yang terus berkembang dan muncul di Indonesia terkait pendidikan sepertinya menjadi sangat objektif, pasalnya dalam realitas yang dibentuk sedari dulu menjadikan contoh bahwa orang yang berkesempatan mengenyam sekolah dibuat seperti mesin yang sistematis untuk bisa menjadi pekerja dalam dunia kapitalis.
Hal itu menjadikan para siswa -- siswi ataupun orang tua beranggapan bahwa kelas sosial dalam strata dunia pendidikan itu menjadi momok dalam kehidupan jangka panjang, Â hal itu dibuktikan dengan contoh ; orang yang lulusan SD akan di anggap sepele daripada orang yang lulusan Sarjana perguruan tinggi.
Hal demikian sering terjadi hingga menimbulkan kesenjangan dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, stigma itu semakin kuat dengan adanya komersialisasi dalam dunia pendidikan, padahal jika merujuk pada historical pendidikan di Indonesia K.H Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional Indonesia bercita -- cita dengan adanya pribumi terdidik adalah menjadikan manusia insan yang merdeka dan mampu berpikir logic jauh dari ketidaktahuan.
Konsep tersebut dicetus oleh K.H Dewantara adalah sebagai bentuk perlawan terhadapa kolonialisme penjajah, namun era perkembangan zaman serta modernisasi yang terjadi pendidikan yang esensinya mulia mulai terkikis oleh paradigma yang entah munculnya dari mana? Kualitas cara belajar di Indonesia bisa dikatakan masih memukul rata keahlian yang sebetulnya setiap siswa punya orientasinya masing -- masing.
Di Indonesia anak yang pintar matematika akan berada dikotak yang berbeda daripada anak yang pintar dalam bidang seni, statement tersebut dibuat seolah anak yang pintar matematika lebih unggul dari anak yang pintar dalam bidang seni, sehingga akhirnya banyak orang tua yang kurang mengaspresiasi keahlian anak -- anak yang beroreantasi dalam kegemaran dan keminatannya, sebab munculnya pemikiran bahwa anak yang suka matematika adalah anak yang hebat.
Paradigma tersebut pun tanpa sadar ditanam di dalam otak siswa -- siswi juga ditambah tenaga pendidik yang malah kebanyakan berpikir demikian. Sangat disayangkan bukan?
Di era kapitalisme, pendidikan pun tak lepas dari jerat kapitalis itu sendiri. kurangnya SDM yang minat bersekolah menjadi permasalahan dalam pengembangan pendidikan negara, komersialisasi masuk kedalam pendidikan hingga banyak masyarakat yang menarik mundur dalam mengenyam pendidikan karena terbatas kendala ekonomi.
Jika melihat pada riset saja di Indonesia bisa dikatakan orang yang mengenyam sekolah hingga perguruan tinggi masih ada di angka 30% dan malah masih banyak yang terhenti di tengah jalan.
Walaupun pemerintah menganjurkan wajib sekolah setidaknya 12 tahun dengan 6 tahun di Sekolah Dasar (SD) 3 tahun di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 3 tahun berikutnya di Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK) masih ada saja siswa -- siswi yang terhambat perjalanannya meski selama kurun 12 tahun sekolah bisa di gratiskan.
Sebetulnya ini permasalahan bersama yang mesti mampu diatasi jika melihat pendidikan adalah salah satu pencapaian sebuah bangsa untuk meraih kejayaannya, 12 tahun sekolah gratis pun akan ada saja biaya yang akan dikeluarkan entah itu biaya dari seragam ataupun buku yang mesti dibeli. Adapun persaingan didalam masyarakat itu sendiri.
Kelas sosial itu bisa terjadi antar sekolah, akan selalu ada sekolah favorit yang di isi siswa -- siswi kalangan elit dan sekolah yang notabane nya biasa saja dengan siswa -- siswi yang juga dari kalangan bawah.
Jika melihat dari kritikan kejadian tersebut malah sudah menjadi budaya atau kultur lama dari masa penjajahan yang mana kala itu hanya orang -- orang konglomerat berduit saja yang bisa sekolah. Hal tersebut menjadikan fakta bahwa orang miskin dilarang sekolah.
Dalam permasalahan tersebut seharusnya kita mampu menalar pemikiran kritisme kita untuk bisa merubah paradigma tersebut sehingga akan munculnya soudzon dalam kalangan masyarakat yang berpikir rasional. Apakah pendidikan dimahalkan supaya kita bisa dibodohi orang -- orang yang mempunyai hak kewenangan atau orang -- orang yang yang mampu bersekolah tinggi tapi dengan ketamakannya?
Hingga mana pendidikan yang awal mulanya di cetus untuk pembebasan malah dibuat untuk penindasan. Ini terbukti dalam keadaan era sekarang, orang -- orang penting yang melakukan tindakan koruptor mempunyai gelar -- gelar pendidikan yang tinggi, dan orang -- orang yang ingin belajar dibuat terombang ambing dalam kecamuk kepentingan elit.
Pertanyaannya adalah apakah masyarakat yang tidak terdidik ini bisa dijadikan sebuah objek untuk bisa di hegomoni atau di mobilisasi orang orang pintar kapitalis?
Seperti halnya narasi pertama tadi, pendidikan di negara Indonesia menjadikan para siswa -- siswinya seperti mesin dipukul rata untuk menjadi para pekerja orang orang yang mempunyai modal.
Maka itu evaluasi besar -- besaran dalam dunia pendidikan itu harus dijalakan secara masif agar supaya negara Indonesia melahirkan SDM yang unggul dan tidak terlena paradigma kolot yang mana mengenyam pendidikan tinggi hanya menjadikan kita sebagai kelas pekerja bukan kelas pemikir pembawa perubahan.
Yang mana ini seharusnya negara lebih terus melihat sektor pendidikan yang merata dalam pembagian pendidikan, bantuan APBN seharusnya mampu di kocorkan lebih oleh negara supaya kapitalisme pendidikan yang terjadi di sekolah atauupun kampus - kampus mampu tertutupi. biaya pembangunan fasilitas ataupun upah dari guru - guru yang mestinya jadi jaminan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H