Orang tua menjadi sosok yang sangat dihormati dan diistimewakan kedudukannya dalam masyarakat Indonesia. Orang tua kerap menjadi sosok yang diyakini ucapan dan perilakunya merupakan sebuah kebenaran mutlak dan tak bisa dibantah lagi. Kondisi ini membuat generasi-generasi yang lebih muda menjadi terkekang oleh kultus terhadap orang tua. Generasi tua diyakini memiliki moral yang baik dan bijak karena memiliki pengalaman yang banyak tentang kehidupan di dunia.
Beranjak dari persoalan tersebut, tulisan ini akan berfokus kepada keberagaman watak tokoh Kakek dalam kumpulan cerpen karya A. A. Navis; Robohnya Surau Kami. Fokus tersebut didasarkan pada isi dari beberapa cerpen-cerpen karya A. A. Navis yang berbeda dengan kebiasaan generasi tua, khususnya kakek, mengenai watak dan moral yang dimiliki.
Watak orang tua, khususnya kakek, menarik untuk diperbincangkan dewasa ini. Kemenarikan tersebut terlihat dari bagaimana realitas watak kakek digambarkan dalam cerpen-cerpen karya A. A. Navis yang dapat dikatakan memberi persepsi dan keberagaman watak kakek yang berbeda dengan kebiasaan seorang kakek di masyarakat. Hal tersebut terlihat dari bagaimana sosok kakek digambarkan memiliki watak yang baik dan buruk. Seorang kakek di masyarakat biasanya memiliki sifat bijaksana karena faktor umur yang menyebabkan berjamurnya pengalaman yang dimiliki
Keberagaman Watak Kakek
Watak Kakek dalam Cerpen "Robohnya Surau Kami"
Tokoh Kakek dalam cerpen "Robohnya Surau Kami" karya A. A. Navis dikisahkan merupakan seorang garin atau marbot masjid yang memang bertugas untuk mengurusi segala keperluan di dalam masjid. Tokoh Kakek di dalam cerpen ini diceritakan sebagai seorang kakek tua yang taat beribadah. Ia seakan menyerahkan sisa hidupnya di dunia ini hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Ia diceritakan sebagai sosok yang memprihatinkan. Ia menjadi seorang garin dengan tidak mendapat apa-apa. Ia hidup hanya dari sedekah dan hasil pemunggahan ikan dari kolam yang ada di dekat masjid.
"Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu."
Namun, di samping keikhlasan dan ketaatan kakek ini mengabdikan dirinya sebagai garin, tokoh Kakek di dalam cerpen ini juga memiliki watak yang mudah goyah oleh bualan-bualan yang disampaikan oleh Ajo Sidi. Ajo Sidi berhasil meneror Kakek dengan dongeng yang seakan-akan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Kakek sejatinya bukanlah ibadah, melainkan sebuah dosa besar karena ia menelantarkan keluarga dan kehidupannya demi memuja dan melayani Allah Swt. Dongeng Ajo Sidi tersebut berhasil membuat tokoh Kakek mempertanyakan apa yang ia lakukan selama ini dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya.
Watak yang ditampilkan tokoh Kakek tersebut tak dapat dipungkiri memang benar adanya di sekitar kita. Kondisi masyarakat yang beragam tentu memiliki berbagai pola pikir. Seorang kakek tua yang memiliki niat ikhlas mengabdikan diri kepada Allah Swt., pun dapat goyah ketika diberikan dongeng-dongeng mengenai kehidupan di akhirat. A. A. Navis mencoba menampilkan tokoh Kakek sebagai orang yang mudah terbawa arus, berlainan dengan figur seorang kakek yang beredar dan berkembang di masyarakat dunia, khususnya Indonesia, tentang seorang kakek yang biasanya sangat bijak, lemah lembut, banyak memberikan petuah tentang hidup, dan sebagainya.
Watak Kakek dalam Cerpen "Anak Kebanggaan"