Bagi manusia, pernikahan merupakan sebuah jalan hidup untuk melanjutkan kehidupan. Pernikahan sangat dianjurkan untuk orang-orang yang siap lahir batin dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga (Musfiroh, 2016). Pelaksanaan hak dan kewajiban dalam rumah tangga akan mendorong terciptanya sebuah keluarga yang harmonis. Dalam ikatan pernikahan, laki-laki dan perempuan dituntut untuk dapat menyelaraskan kehidupan, baik dari segi psikis dan fisik. Menyelaraskan pikiran dan fisik sebagai pasangan suami-istri akan mendorong terciptanya rasa cinta kasih, saling menghargai, dan saling menghormati demi terciptanya keluarga yang sakinah (Prianto et al., 2013). Upaya penyelasaran dalam rumah tangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mempelajari naskah kuno yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga.
Naskah merupakan sebuah peninggalan yang berbentuk tulisan dan berisi berbagai aspek kehidupan (Permadi, 2017). Aspek-aspek yang terkandung dalam naskah biasanya meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, agama, kebudayaan, dan lain-lain. Naskah di Nusantara biasanya ditulis dengan aksara tradisional dan bahasa daerah yang berbeda dengan masyarakat modern. Naskah merupakan sebuah peninggalan yang dapat merepresentasikan kehidupan pada masanya. Aspek kehidupan menjadi salah satu aspek yang terdapat dalam naskah kuno (Permadi, 2017). Salah satu naskah kuno yang berisikan pelajaran tentang kehidupan—khususnya rumah tangga—adalah naskah kuno yang berjudul “Wawatjan Piwoelang Istri Basa Soenda”.
Naskah kuno “Wawatjan Piwoelang Istri Basa Soenda”—yang selanjutnya disingkat menjadi WPIBS dalam tulisan ini—merupakan naskah kuno yang ditulis sekitar tahun 1901-1947. Perkiraan tersebut didasarkan kepada ejaan yang digunakan dalam WPIBS masih menggunakan Ejaan Van Ophuijsen. Ejaan ini dibuat oleh Prof. Charles van Ophuijsen, dengan bantuan Nawawi Soetan Makmoer dan Moh. Taib Sultan Ibrahim pada tahun 1901. Ejaan yang bertahan selama 46 tahun ini dapat dijadikan petunjuk perkiraan penciptaan naskah kuni WPIBS sekitar tahun 1901-1947.
Naskah kuno WPIBS merupakan sebuah naskah yang berisi ajaran kehidupan, khususnya dalam rumah tangga. Naskah ini mengandung ajaran tentang memilih calon istri yang baik, tatakrama menjadi seorang istri, kiat-kiat untuk menjaga keutuhan rumah tangga, berbakti kepada suami, dan lain-lain. Naskah kuno WPIBS terdiri dari empat jenis pupuh (puisi) dalam bahasa Sunda, yakni Pupuh Asmarandana, Pupuh Kinanti, Pupuh Sinom, dan Pupuh Dangdanggula. Naskah kuno WPIBS terdiri dari 99 bait puisi.
Naskah kuno WPIBS mengandung ajaran-ajaran yang dapat dipelajari dan diaplikasikan bagi calon pasangan yang akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Salah satu ajaran yang terdapat dalam naskah kuno WPIBS adalah tentang tatakrama seorang istri kepada suami supaya selamat di dunia dan di akhirat seperti dalam kutipan berikut.
“Koedoe reungeukeun ku nyai,
ieu akang rék papatah
panatana katjarogé
soepaja djadi sampoerna,
di doenja djeung di ahérat,
oelah njorang noe ditjegah.” (Pupuh Asmarandana, Bait 2)
Di dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana seorang suami yang memberikan pepatah kepada istri tentang tatakrama kepada suami agar sempurna hidup di dunia dan di akhirat, salah satunya adalah istri tidak boleh melanggar apa yang dicegah. Larangan tersebut tentu mengandung alasan dan rasionalisasi. Apa yang dilarang oleh suami tentu memiliki efek yang kurang baik bagi kehidupan istri. Kematangan dalam berpikir yang dimiliki laki-laki menjadikannya bertanggung jawab untuk membentuk karakter perempuan (Al-finnas & Rahayu, 2019).
Selain itu ajaran tentang tatakrama seorang istri kepada suami, naskah kuno WPIBS juga mengandung ajaran tentang kiat-kiat menjaga keutuhan rumah tangga. Ajaran tentang kiat-kiat menjaga keutuhan rumah tangga terdapat dalam kutipan berikut.
“Poma-poma masing éling,
émoetkeun ku saréréa,
ka sadaja noe aranom,
noe hajang awét lakian,
oelah sok lalawora,
karana ari kadoehoeng,
datangna tara ti heula.” (Pupuh Asmarandana, Bait 15).
Dalam bait lima belas naskah kuno WPIBS, terdapat ajaran bagi pasangan suami-istri muda untuk tidak gegabah dalam hal apapun ketika berumah tangga. Tindakan yang gegabah akan menghasilkan rasa penyesalan di akhirnya. Tindakan gegabah tersebut dapat dimaknai dalam berbagai kegiatan, baik yang berupa tindakan ataupun ucapan. Tindakan gegabah hanya akan menciptakan pertengkaran dan perselisihan yang menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang (Matondang, 2014).
Naskah kuno WPIBS juga mengandung ajaran tentang berbakti kepada suami. Contoh bakti istri kepada suami tercermin dalam kutipan berikut.
“Lamoen keur poendoeng salaki,
henteu meunang dilawanan,
awéwé koedoe njolanda,
kitoe adat pernatana,
mokaha noe dibaeudan,
oelah dilawanan poendoeng,
koedoe tarima wajahna.” (Pupuh Asmarandana, Bait 41)
Dalam Pupuh Asmarandana bait ke-41 di atas terlihat bagaimana ajaran bagi istri untuk berbakti kepada suami. Kutipan di atas mengambil contoh apabila seorang suami sedang marah, istri tidak diperkenankan untuk melawan. Istri harus bersabar dan tidak berbalik marah kepada suami. Secara sekilas, wujud bakti seorang istri dalam bait ini mungkin akan dipandang sebagai bentuk inferioritas kaum perempuan dibanding laki-laki seperti yang belakangan digaungkan kaum feminisme. Akan tetapi, bukan itu esensi yang berusaha ditunjukkan dalam bait ini. Bait ini menyiratkan makna agar salah satu pihak menjadi penenang ketika pihak lain sedang tidak baik-baik saja. Sifat mengalah yang bisa dilakukan siapa saja—dalam hal ini suami atau istri—dapat menciptakan keselarasan dalam rumah tangga. Keselarasan tersebut dapat menciptakan keluarga yang harmonis.