Latar Belakang dan Konteks Geopolitik Suriah
Pada tahun 2011 di Suriah, berbagai kelompok oposisi mulai terbentuk dengan munculnya protes besar-besaran terhadap rezim Presiden Bashar Al-Assad. Salah satu kelompok yang paling menonjol adalah Hayat Tahrir Al-Sham (HTS), yang sebelumnya dikenal dengan nama Jabhat Al-Nusra, sebuah kelompok yang didirikan dengan afiliasi Al-Qaeda.
Seiring berjalannya waktu, HTS di bawah pimpinan Abu Mohammed Al-Jawlani, berusaha untuk memperkenalkan diri sebagai kekuatan yang lebih pragmatis dan tidak lagi terikat dengan ideologi ekstremis yang sebelumnya membayangi kelompok tersebut.
Suriah yang telah terperangkap dalam perang saudara sejak 2011 melihat ketegangan yang semakin meningkat antara berbagai faksi yang berjuang untuk menggulingkan rezim Assad atau memperoleh kekuasaan lebih besar dalam pemerintahan pasca-Assad. HTS, dengan basis kekuatannya di Provinsi Idlib, yang terletak di bagian barat laut Suriah, memainkan peran penting dalam menggoyahkan kekuatan rezim Assad.
Dalam laporan yang disusun oleh Sebastian Usher di BBC, dikemukakan bahwasanya serangan mendalam yang dilakukan HTS ke kota-kota besar seperti Aleppo, Hama, dan Homs memberikan dampak signifikan terhadap dinamika perang di Suriah.
HTS sebagai Pemimpin Potensial Pasca-Assad
Abu Mohammed Al-Jawlani, pemimpin HTS, telah lama berusaha memproyeksikan diri sebagai figur utama yang dapat memimpin Suriah menuju masa depan pasca-Assad. Usaha Al-Jawlani untuk menjauhkan HTS dari afiliasinya dengan Al-Qaeda dan mencitrakan kelompoknya sebagai alternatif yang lebih pragmatis untuk menggantikan rezim Assad adalah langkah penting dalam upayanya meraih dukungan lebih luas di kalangan masyarakat Suriah.
Keberhasilan HTS dalam melakukan serangan-serangan terstruktur ke kota-kota besar Suriah, yang sebelumnya dikuasai oleh rezim Assad, menunjukkan potensi mereka dalam menentukan arah konflik ini.
Tanpa keberhasilan tersebut, peristiwa besar yang terjadi dalam minggu-minggu terakhir ini mungkin tidak akan terjadi. Kejutan serangan ini juga menandakan ketidakstabilan yang semakin meningkat di Suriah, di mana banyak kelompok pemberontak lain turut bangkit dan berusaha meraih keuntungan dari situasi tersebut.
Kebangkitan Kelompok Pemberontak Lain di Suriah
Selain HTS, banyak kelompok pemberontak lain yang bangkit dalam beberapa tahun terakhir, terutama di daerah-daerah yang sebelumnya berada di bawah pengaruh pasukan Assad. Salah satunya adalah kelompok yang dulunya beroperasi di bawah bendera Tentara Suriah Bebas atau Free Syrian Army (FSA) yang berasal dari kota-kota di wilayah selatan Suriah. Meskipun banyak dari kelompok ini sempat "tertidur" atau tidak aktif selama beberapa tahun, nyatanya semangat pemberontakan belum sepenuhnya padam di wilayah tersebut.
Munculnya kembali kelompok-kelompok pemberontak ini menjadi faktor penting dalam cepatnya keruntuhan rezim Assad. Perasaan yang berkembang di tengah masyarakat bahwa "seluruh Suriah" kini berhadap-hadapan dengan rezim dan tidak hanya tergantung pada satu faksi tertentu menjadi kunci yang mempercepat proses keruntuhan tersebut. Aksi bersama berbagai kelompok ini, meskipun memiliki kepentingan yang berbeda-beda, menyumbang pada kegagalan rezim untuk mempertahankan kendali atas negara.
Selain kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan HTS atau FSA, ada juga kekuatan militan lain yang muncul di kawasan tersebut. Salah satunya adalah pasukan yang dipimpin oleh Suku Kurdi yang memanfaatkan keruntuhan tentara Suriah untuk menguasai kota Deir El-Zour di timur Suriah. Pasukan ini tidak hanya berfokus pada pemberontakan terhadap Assad, tetapi juga pada perjuangan mereka untuk memperjuangkan otonomi Kurdi di wilayah tersebut.
Selain itu, di gurun Suriah yang luas, sisa-sisa kelompok dari Negara Islam (ISIS) juga berusaha untuk memanfaatkan kekacauan yang ada untuk memperkuat kembali posisi mereka. Ini menunjukkan bahwa dalam situasi yang sangat dinamis ini, seperti perang di Suriah, banyak faksi yang mencoba untuk meraih keuntungan yang lebih, baik dari pemberontakan terhadap Assad maupun untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh tentara Suriah.
Kejatuhan Rezim Assad: Titik Balik dalam Perang Suriah
Kejatuhan Bashar Al-Assad yang tampaknya hampir kini menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Dimulai dengan serangan penuh kejutan dari faksi-faksi pemberontak yang berbasis di Provinsi Idlib, Suriah bagian barat laut. Kemudian, serangan besar-besaran terhadap rezim Assad dengan cepat mengubah peta peperangan. Serangan tersebut berhasil menggulingkan kota-kota besar, termasuk Aleppo, Hama, dan Homs, dengan sedikit perlawanan dari pasukan pemerintah yang semakin terisolasi.
Kejatuhan rezim ini merupakan titik balik yang sangat penting dalam sejarah Suriah era modern. Setelah ayahnya, Hafez Al-Assad, memimpin Suriah selama 29 tahun dengan tangan besi, Bashar Al-Assad naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2000 dengan mewarisi struktur politik yang ketat dan represif.
Awalnya, masih terdapat harapan bahwa Bashar bisa membawa perubahan yang lebih terbuka dan sedikit lebih lunak dibandingkan dengan ayahnya. Akan tetapi, harapan tinggallah harapan, setelah terbukti dalam tindakannya saat menanggapi protes damai pada tahun 2011 yang memicu perang saudara berkepanjangan.
Rezim Assad pun dikenang sebagai pemerintahan yang sangat brutal dalam menanggapi setiap bentuk protes, oposisi, dan perlawanan. Dengan bantuan dari sekutu-sekutunya---khususnya Rusia dan Iran---Assad berhasil bertahan dan mengatasi sebagian besar pemberontakan yang terjadi selama bertahun-tahun. Rusia dengan kekuatan udaranya yang kuat, ditambah Iran yang mengirimkan penasihat militer serta dukungan kepada kelompok Hezbollah di Lebanon, memainkan peran utama dalam mempertahankan rezim Assad.
Namun, kali ini keadaannya sangat berbeda. Melalui serangan yang dimulai dari Provinsi Idlib, HTS dan kelompok pemberontak lainnya berhasil mengalahkan pasukan Assad dengan cepat, bahkan tanpa banyak perlawanan dari pasukan Assad.
Kota-kota besar yang sebelumnya berada di bawah kendali Assad, seperti Aleppo dan Homs, segera jatuh dengan sangat cepat. Serangan dari timur dan selatan yang juga didukung oleh faksi pemberontak ini secara efektif mengisolasi Damaskus, ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan Assad.
Dalam waktu yang singkat, pasukan pemberontak berhasil memasuki Damaskus kota yang menjadi benteng terakhir rezim Assad. Kejatuhan ini menandai berakhirnya lima dekade kekuasaan keluarga Assad yang telah membentuk politik Suriah.
Dampak Kejatuhan Assad pada Kekuatan Wilayah dan Pengaruh Iran
Kejatuhan rezim Assad ini tentunya akan mengubah tatanan politik dan kekuatan di wilayah Timur Tengah, terutama sangat berpengaruh bagi Iran. Sebelumnya, Suriah di bawah kekuasaan Bashar Al-Assad memainkan peran penting dalam hubungan antara Iran dan Hezbollah.
Suriah merupakan jalur strategis untuk mentransfer senjata dan amunisi ke kelompok Hezbollah di Lebanon, serta sebagai tempat strategis bagi Iran dalam membangun kekuatan kawasannya. Kini, dengan runtuhnya rezim Assad, pengaruh Iran di kawasan ini akan mengalami pukulan yang telak.
Penyusutan kekuatan Assad juga berdampak pada Hezbollah, kelompok militan yang sangat bergantung pada support dari Iran. Setelah terlibat dalam perang selama satu tahun dengan Israel, posisi Hezbollah menjadi semakin menyusut, dan masa depan kelompok ini kini dipertanyakan.
Selain itu, kelompok-kelompok yang didukung Iran di wilayah lain, seperti Houthi di Yaman, juga terlibat dalam pertempuran intensif dan telah menjadi sasaran serangan udara terus-menerus.
Iran dan sekutu-sekutunya, yang membentuk apa yang disebut sebagai "Axis of Resistance", kini menghadapi kerugian signifikan. Faksi-faksi militan di Irak, serta Hamas di Gaza, kini harus beradaptasi dengan perubahan besar dalam geopolitik di kawasan ini. Semua ini memberikan dampak langsung terhadap situasi keseimbangan kekuatan di Timur Tengah, yang akan dirasakan dalam waktu yang lama.
Sementara itu, Israel yang memandang Iran sebagai ancaman eksistensial ini tentu saja akan merayakan menyusutnya kekuatan dan pengaruh Iran di Suriah. Perubahan besar ini kemungkinan akan membawa dampak positif bagi kepentingan strategis Israel di kawasan ini.
Suriah Pasca-Assad dan Tantangan Ke Depan
Kejatuhan Assad membuka babak baru dalam sejarah Suriah dan kawasan Timur Tengah. Namun, masa depan Suriah masih belum jelas. Meskipun rezim Assad hampir runtuh, negara ini masih dilanda perang saudara yang memecah-belah. Berbagai kelompok pemberontak, termasuk HTS, kini berusaha memperebutkan kekuasaan di atas puing-puing negara yang hancur ini.
Selain itu, dengan pengaruh Iran yang tergerus dan potensi kekosongan kekuasaan yang ditinggalkan oleh rezim Assad, negara-negara besar seperti Rusia dan Turki kemungkinan akan semakin terlibat dalam upaya untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Suriah.
Pemberontakan yang melibatkan kelompok-kelompok Kurdi, pasukan pemberontak yang didukung oleh Turki, serta potensi kebangkitan kelompok teroris seperti ISIS, akan memperumit setiap upaya untuk mencapai perdamaian yang stabil di Suriah dan kawasan ini.
Suriah pasca-Assad menghadapi tantangan besar dalam rangka pemulihan stabilitas dan segala upaya rekonsiliasi antarkelompok yang terpecah-belah selama lebih dari satu dekade. Dunia internasional, termasuk PBB dan negara-negara besar, akan memainkan peran yang penting dalam menentukan arah masa depan Suriah dan stabilitas kawasan Timur Tengah secara keseluruhan.
Referensi
Bachega, Hugo. "End of Assad rule will reshape region's balance of power." BBC. Diakses 9 Desember 2024. https://www.bbc.com/news/articles/c8j99447gj1o.
Usher, Sebastian. "Who are the rebels in Syria?" BBC. Diakses 9 Desember 2024. https://www.bbc.com/news/articles/ce313jn453zo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H