Pidato Tan Malaka pada Fourth Congress of Communist International (Kongres Keempat Komunis Internasional) yang disampaikan pada tanggal 12 November 1922 adalah salah satu pidato paling penting dalam sejarah gerakan komunis di Asia Tenggara. Dalam Kongres Keempat ini, Tan Malaka menyoroti beberapa isu strategis nan penting yang berkaitan dengan gerakan kemerdekaan di negara-negara Timur yang masih berada di bawah penjajahan.
Secara umum, pidato ini menyoroti strategi Tan Malaka yang cerdas dalam menggabungkan nasionalisme, agama, dan komunisme dalam perjuangan melawan imperialisme. Dengan berargumen bahwa pan-Islamisme di masa modern bukan lagi tentang jihad global, tetapi tentang persaudaraan dalam perjuangan nasionalis melawan kapitalisme, Tan Malaka berusaha untuk membangun aliansi yang lebih luas antara kaum Komunis dan kelompok-kelompok nasionalis dan Muslim. Strategi ini adalah salah satu contoh bagaimana Tan Malaka mencoba menerapkan Marxisme dalam konteks perjuangan anti-kolonial di dunia Muslim, khususnya di Indonesia.
Dalam pidatonya, Tan Malaka membukanya dengan pertanyaan tentang bagaimana Partai Komunis harus menyikapi gerakan nasionalis revolusioner serta pan-Islamisme, terutama di wilayah seperti Jawa (Indonesia), India, dan negara-negara lain di bawah penjajahan Eropa.
Tan Malaka membuka pidatonya dengan merujuk pada united front, atau front persatuan, yang menjadi kebijakan penting Komunis Internasional (Komintern) setelah Kongres Kedua. Ia mengemukakan bahwa di Eropa, united front melibatkan kerja sama antara kaum Komunis dan Sosial Demokrat, tetapi di negara-negara jajahan seperti Jawa, situasinya sungguh berbeda. Di Jawa, kaum Komunis tidak bisa hanya bekerja sama dengan Sosial Demokrat, tetapi juga harus membangun front persatuan dengan kaum nasionalis-revolusioner yang juga melawan imperialisme.
Di Indonesia, terdapat organisasi massa bernama Sarekat Islam, yaitu sebuah organisasi besar dengan jutaan anggota dari kalangan petani miskin. Sarekat Islam sempat menjadi wadah perjuangan revolusioner sebelum akhirnya terjadi perpecahan pada tahun 1921. Perpecahan ini dipicu oleh pengaruh negatif dari pemerintah kolonial dan juga oleh serangan terhadap pan-Islamisme yang dianggap oleh banyak kaum Muslim sebagai upaya penghancuran agama mereka.
Tan Malaka menyoroti bahwa gerakan nasionalis di Jawa mencakup berbagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan, termasuk boikot, perang kemerdekaan oleh Muslim, dan pan-Islamisme. Tan Malaka pun bertanya kepada para pemimpin Komintern, yaitu Zinoviev dan Radek.
Pertanyaan penting yang diajukan oleh Tan Malaka, antara lain:Â
- Pertama, apakah Partai Komunis harus mendukung gerakan boikot nasional yang dipimpin oleh kaum nasionalis?Â
- Kedua, apakah Partai Komunis harus mendukung pan-Islamisme, dan sejauh mana dukungan tersebut harus diberikan?
Tan Malaka mengakui bahwa metode boikot bukanlah metode yang lazim digunakan oleh Partai Komunis, melainkan taktik kaum borjuis kecil dan borjuis nasionalis. Namun, ia berpendapat bahwa dalam kondisi penindasan politik dan militer yang dihadapi negara-negara di bagian Timur, boikot merupakan salah satu metode yang paling efektif, sebagaimana terbukti dalam boikot rakyat Mesir pada tahun 1919 melawan Inggris serta boikot di Tiongkok pada akhir tahun 1919 dan pada awal tahun 1920. Gerakan boikot yang paling baru pada abad ke-29 adalah boikot di India, yang sempat memaksa Inggris meminta bantuan militer dari Jepang ketika ancaman pemberontakan bersenjata mulai mencuat.
Walaupun boikot adalah taktik borjuis kecil atau borjuis nasionalis, Tan Malaka menegaskan bahwa dalam konteks kolonialisme, boikot memiliki potensi revolusioner. Ia menunjukkan bahwa di India, gerakan boikot mengakibatkan penangkapan 18.000 pemimpin gerakan dan gerakan tersebut tetap membangkitkan sentimen anti-imperial yang kuat, meskipun Gandhi sebagai pemimpin ditangkap oleh pemerintah kolonial.
Isu lain yang diangkat Tan Malaka adalah pan-Islamisme. Tan Malaka mengakui bahwa di Jawa, organisasi Sarekat Islam, yang saat itu merupakan organisasi massa Muslim terbesar, berhasil memainkan peran penting dalam gerakan perlawanan terhadap imperialisme. Pada awal kemunculannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang sangat revolusioner dan sukses menarik banyak petani miskin ke dalam perjuangannya. Partai Komunis di Indonesia pun bekerja sama dengan Sarekat Islam sampai pada tahun 1921, dan bahkan berhasil membuat Sarekat Islam mendukung beberapa tuntutan kaum Komunis, seperti pengharusan adanya kontrol pabrik oleh kaum buruh dan kekuasaan bagi petani miskin.
Tan Malaka menyatakan bahwa---dalam konteks perjuangan kemerdekaan modern---pan-Islamisme telah berubah menjadi simbol perlawanan terhadap kapitalisme internasional, meskipun pada mulanya istilah ini mengacu pada upaya penyebaran Islam ke seluruh dunia dengan metode perjuangan jihad. Namun demikian, Pan-Islamisme di kawasan negara kolonial, terutama di Indonesia, lebih dimaknai oleh penduduknya sebagai persaudaraan Muslim untuk perjuangan kemerdekaan melawan kekuatan imperialisme, seperti Belanda, Inggris, Prancis, dan Italia.
Namun, pada tahun 1921, sinergisitas itu pudar, di mana terjadi perpecahan antara Partai Komunis dan Sarekat Islam. Hal ini disebabkan oleh kritik yang tidak bijaksana terhadap para pemimpin Sarekat Islam, serta keputusan dari Kongres Kedua Komintern yang menyatakan harus dilakukannya perjuangan melawan pan-Islamisme. Pemerintah kolonial melalui agen-agennya di Sarekat Islam menggunakan keputusan ini untuk mempropagandakan bahwa kaum Komunis bukan hanya ingin memecah belah agama Islam, melainkan juga mereka berkehendak untuk menghancurkannya. Akibatnya, kaum Muslim di perdesaan mulai menjauhi Komunis karena merasa bahwa mereka sedang terancam kehilangan, tidak hanya dunia mereka, tetapi juga akhirat mereka.
Tan Malaka menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi dalam situasi Indonesia sangatkah berat, meskipun Partai Komunis telah berusaha memulihkan hubungan dengan Sarekat Islam. Ia mencatat bahwa banyak anggota Sarekat Islam sebenarnya telah sepakat dengan tuntutan ekonomi dari kaum Komunis, tetapi mereka tetap setia secara spiritual kepada para pemimpin agama mereka. Tan melanjutkan bahwa kepentingan "perut" mereka mungkin bersama kaum Komunis, tetapi "hati" mereka tetap bersama Sarekat Islam.
Penjelasan Tan yang sangat mendalam tentang evolusi dari konsep pan-Islamisme di dunia ini, secara historis, pan-Islamisme berarti penyebaran Islam ke seluruh dunia dengan jihad atau perang suci, seperti yang disebutkan sebelumnya, di bawah kepemimpinan seorang khalifah. Namun, setelah bubarnya kekhalifahan Islam menjadi beberapa kerajaan besar, sekitar 40 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad , makna jihad di internasional pun mulai mengalami degradasi makna.Â
Pada era modern, pan-Islamisme di Timur lebih mengarah pada simbol perlawanan nasionalis melawan imperialisme daripada murni gerakan religius. Tan Malaka menegaskan bahwa di dunia Muslim, pan-Islamisme telah berubah menjadi persaudaraan perjuangan pembebasan yang melibatkan bukan hanya orang Arab, tetapi juga orang-orang Muslim di Hindustan (India), Jawa, dan seluruh wilayah jajahan Muslim. Pan-Islamisme, menurut Tan Malaka, telah berkembang menjadi perlawanan terhadap kapitalisme internasional.
Oleh karena itu, ia mengajukan pertanyaan penting kepada Komintern: Haruskah kaum Komunis mendukung pan-Islamisme dalam konteks ini, yaitu sebagai perjuangan pembebasan nasional? Pertanyaan ini, menurut Tan Malaka, sangat relevan, karena Partai Komunis di Jawa, telah menghadapi ancaman perpecahan lebih lanjut akibat propaganda pemerintah kolonial yang menggunakan isu pan-Islamisme untuk melemahkan gerakan buruh dan Komunis.
Haruskah kaum Komunis mendukung pan-Islamisme dalam konteks ini, yaitu sebagai perjuangan pembebasan nasional?
Pidato Tan Malaka kemudian diakhiri dengan pernyataan bahwa perjuangan untuk mendapatkan dukungan dari kaum Muslim yang tertindas merupakan tantangan baru bagi gerakan Komunis. Kaum Muslim tidak hanya merupakan kelompok agama an sich, tetapi juga kelompok sosial yang sangat aktif dan combative (militan) dalam perjuangan melawan imperialisme.
Oleh karena itu, kaum Komunis harus merangkul perjuangan mereka sebagai bagian dari perlawanan global melawan kapitalisme dan imperialisme. Tan Malaka menegaskan bahwa dukungan terhadap pan-Islamisme sebagai gerakan pembebasan nasional adalah langkah strategis yang penting untuk mengalahkan kapitalisme internasional.
Referensi
Riddell, John. Toward the United Front: Proceedings of the Fourth Congress of the Communist International, 1922. Disunting oleh John Riddell. Vol. 34. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2018.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI