Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pidato Bersejarah Tan Malaka: Pan-Islamisme, Nasionalisme, dan Anti-Imperialisme

17 Januari 2025   13:15 Diperbarui: 1 Desember 2024   14:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semaun, Agus Salim, dan perdebatan-perdebatannya di dalam scene film Guru Bangsa Tjokroaminoto (Sumber: Cinema Poetica)

Pidato Tan Malaka pada Fourth Congress of Communist International (Kongres Keempat Komunis Internasional) yang disampaikan pada tanggal 12 November 1922 adalah salah satu pidato paling penting dalam sejarah gerakan komunis di Asia Tenggara. Dalam Kongres Keempat ini, Tan Malaka menyoroti beberapa isu strategis nan penting yang berkaitan dengan gerakan kemerdekaan di negara-negara Timur yang masih berada di bawah penjajahan.

Secara umum, pidato ini menyoroti strategi Tan Malaka yang cerdas dalam menggabungkan nasionalisme, agama, dan komunisme dalam perjuangan melawan imperialisme. Dengan berargumen bahwa pan-Islamisme di masa modern bukan lagi tentang jihad global, tetapi tentang persaudaraan dalam perjuangan nasionalis melawan kapitalisme, Tan Malaka berusaha untuk membangun aliansi yang lebih luas antara kaum Komunis dan kelompok-kelompok nasionalis dan Muslim. Strategi ini adalah salah satu contoh bagaimana Tan Malaka mencoba menerapkan Marxisme dalam konteks perjuangan anti-kolonial di dunia Muslim, khususnya di Indonesia.

Dalam pidatonya, Tan Malaka membukanya dengan pertanyaan tentang bagaimana Partai Komunis harus menyikapi gerakan nasionalis revolusioner serta pan-Islamisme, terutama di wilayah seperti Jawa (Indonesia), India, dan negara-negara lain di bawah penjajahan Eropa.

Tan Malaka membuka pidatonya dengan merujuk pada united front, atau front persatuan, yang menjadi kebijakan penting Komunis Internasional (Komintern) setelah Kongres Kedua. Ia mengemukakan bahwa di Eropa, united front melibatkan kerja sama antara kaum Komunis dan Sosial Demokrat, tetapi di negara-negara jajahan seperti Jawa, situasinya sungguh berbeda. Di Jawa, kaum Komunis tidak bisa hanya bekerja sama dengan Sosial Demokrat, tetapi juga harus membangun front persatuan dengan kaum nasionalis-revolusioner yang juga melawan imperialisme.

Di Indonesia, terdapat organisasi massa bernama Sarekat Islam, yaitu sebuah organisasi besar dengan jutaan anggota dari kalangan petani miskin. Sarekat Islam sempat menjadi wadah perjuangan revolusioner sebelum akhirnya terjadi perpecahan pada tahun 1921. Perpecahan ini dipicu oleh pengaruh negatif dari pemerintah kolonial dan juga oleh serangan terhadap pan-Islamisme yang dianggap oleh banyak kaum Muslim sebagai upaya penghancuran agama mereka.

Tan Malaka menyoroti bahwa gerakan nasionalis di Jawa mencakup berbagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan, termasuk boikot, perang kemerdekaan oleh Muslim, dan pan-Islamisme. Tan Malaka pun bertanya kepada para pemimpin Komintern, yaitu Zinoviev dan Radek.

Pertanyaan penting yang diajukan oleh Tan Malaka, antara lain: 

  • Pertama, apakah Partai Komunis harus mendukung gerakan boikot nasional yang dipimpin oleh kaum nasionalis? 
  • Kedua, apakah Partai Komunis harus mendukung pan-Islamisme, dan sejauh mana dukungan tersebut harus diberikan?

Tan Malaka mengakui bahwa metode boikot bukanlah metode yang lazim digunakan oleh Partai Komunis, melainkan taktik kaum borjuis kecil dan borjuis nasionalis. Namun, ia berpendapat bahwa dalam kondisi penindasan politik dan militer yang dihadapi negara-negara di bagian Timur, boikot merupakan salah satu metode yang paling efektif, sebagaimana terbukti dalam boikot rakyat Mesir pada tahun 1919 melawan Inggris serta boikot di Tiongkok pada akhir tahun 1919 dan pada awal tahun 1920. Gerakan boikot yang paling baru pada abad ke-29 adalah boikot di India, yang sempat memaksa Inggris meminta bantuan militer dari Jepang ketika ancaman pemberontakan bersenjata mulai mencuat.

Walaupun boikot adalah taktik borjuis kecil atau borjuis nasionalis, Tan Malaka menegaskan bahwa dalam konteks kolonialisme, boikot memiliki potensi revolusioner. Ia menunjukkan bahwa di India, gerakan boikot mengakibatkan penangkapan 18.000 pemimpin gerakan dan gerakan tersebut tetap membangkitkan sentimen anti-imperial yang kuat, meskipun Gandhi sebagai pemimpin ditangkap oleh pemerintah kolonial.

Isu lain yang diangkat Tan Malaka adalah pan-Islamisme. Tan Malaka mengakui bahwa di Jawa, organisasi Sarekat Islam, yang saat itu merupakan organisasi massa Muslim terbesar, berhasil memainkan peran penting dalam gerakan perlawanan terhadap imperialisme. Pada awal kemunculannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang sangat revolusioner dan sukses menarik banyak petani miskin ke dalam perjuangannya. Partai Komunis di Indonesia pun bekerja sama dengan Sarekat Islam sampai pada tahun 1921, dan bahkan berhasil membuat Sarekat Islam mendukung beberapa tuntutan kaum Komunis, seperti pengharusan adanya kontrol pabrik oleh kaum buruh dan kekuasaan bagi petani miskin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun