Pemikiran Muhammad Abduh dalam karyanya Rislat Al-Tawd membahas tentang Perbuatan Manusia dan Takdir Ilahi. Fokus dari pandangan Abduh adalah refleksi mendalamnya tentang hubungan antara kehendak bebas manusia, takdir ilahi (qadar), dan tanggung jawab moral. Dalam karyanya, Abduh mencoba memberikan penjelasan rasional tentang bagaimana manusia tetap dapat berperan aktif dalam tindakannya dengan tetap berada dalam kerangka takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah .
Muhammad Abduh menegaskan bahwasanya manusia yang memiliki pikiran sehat dan akal budi yang sempurna, secara alami akan menyadari keberadaan dirinya sendiri. Kesadaran ini tidak membutuhkan pembimbing atau pengajaran dari luar dirinya. Manusia secara naluriah akan dapat memahami bahwa ia "ada" dan bahwa ia mampu mengendalikan tindakannya sendiri. Kesadaran akan eksistensi ini setara dengan kesadaran manusia akan kemampuannya untuk bertindak berdasarkan kehendak bebasnya.
Dalam hal ini, manusia tidak hanya sadar akan keberadaan atau eksistensinya, tetapi juga sadar akan tindakannya yang dilakukan dengan kehendak bebas. Ia mengevaluasi tindakannya dan konsekuensinya dalam pikirannya, kemudian mewujudkannya dengan kekuatan batiniah. Pengingkaran terhadap kesadaran ini sama dengan mengingkari eksistensi manusia itu sendiri, karena hal ini bertentangan dengan bukti-bukti rasional yang ada.
Tidak hanya pada dirinya sendiri, manusia juga mengakui bahwa orang lain yang memiliki pikiran sehat dan akal budi juga memiliki kemampuan yang sama dalam mengenali eksistensi dan tindakan kehendak bebas mereka. Namun, terkadang manusia melakukan tindakan dengan niat baik, tetapi justru berakhir dengan hasil yang buruk, seperti ketika berusaha untuk menyenangkan seorang teman, tetapi berakhir dengan membuat marah teman tersebut, atau kehilangan sesuatu yang ia upayakan untuk diperoleh olehnya.
Bilamana kegagalan dalam suatu tindakan disebabkan oleh kurangnya pertimbangan-pertimbangan yang matang, manusia akan menyalahkan dirinya sendiri dan menggunakan kekecewaannya tersebut sebagai panduan untuk tindakan selanjutnya. Manusia akan mencoba lagi dengan cara yang lebih bijak dan lebih terarah, yang mana sifat ini menunjukkan adanya tanggung jawab pribadi dalam setiap tindakan yang diambil manusia.
Begitu pula, bilamana kegagalan dalam mencapai tujuan disebabkan oleh persaingan atau kompetisi dari atau dengan orang lain yang menginginkan hal yang sama, manusia akan marah dan menganggap orang lain tersebut sebagai sumber dari kegagalannya. Sifat ini mengarah pada konflik yang disebabkan manusia menyadari bahwa intervensi orang lain adalah penghalang bagi keberhasilannya.
Abduh menjelaskan bahwa dalam situasi di mana kegagalan disebabkan oleh faktor eksternal yang berada di luar kendali manusia---seperti badai yang merusak barang dagangannya, petir yang membunuh ternakya, atau kematian seorang pembantunya yang diandalkan---manusia akan mengarahkan pemikirannya kepada kekuatan yang ada di luar dirinya. Ia akan menyadari bahwasanya ada otoritas yang berada di luar jangkauan kekuasaannya sendiri dan di luar pengaturannya. Sikap ini adalah pengakuan akan adanya kekuatan ilahiah yang mengatur alam semesta.
Ketika fakta-fakta yang tak terbantahkan menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini sepenuhnya berasal dari keberadaan Yang Maha Kuasa yang mengatur semuanya sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya, manusia akan tunduk dengan rasa hormat dan kerendahan hati. Ia akan berdamai dengan situasi tersebut dalam terang pemahaman ini, tetapi tetap menyadari bagian dan perannya sendiri dalam kejadian-kejadian tersebut.
Seorang mukmin pasti mengakui bukti nyata dari kekuasaan Sang Pencipta yang mengatasi seluruh kekuatan makhluk-Nya. Mukmin juga mengakui bahwa dalam semua tindakannya, baik yang rasional maupun fisik, ia berproses dengan kekuatan dan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan untuk tujuan tersebut.Â
Rasa syukur manusia yang benar atas nikmat-nikmat Tuhan tercermin dalam ungkapan: "Syukur adalah penggunaan hamba atas semua yang telah Tuhan anugerahkan kepadanya sedemikian rupa sehingga memenuhi tujuan kreatifnya."Â Abduh menyatakan bahwa ini adalah dasar dari ketentuan hukum yang ditetapkan oleh Tuhan. Dengan prinsip ini, aturan-aturan ilahi dilaksanakan. Mengingkari hal ini sama saja dengan mengingkari iman itu sendiri dan peranan dari akal, yang telah dimuliakan oleh Tuhan dengan perintah dan larangan-Nya.
Diskusi lebih lanjut mengenai upaya rekonsiliasi antara pengetahuan ilahi dan kehendak ilahi yang sudah terbukti, serta kekuatan nyata dari pilihan manusia, akan membawa kita pada misteri Qadar atau takdir. Abduh menegaskan bahwa kita dilarang untuk melibatkan diri dalam pemahaman ini.Â
Ia menekankan bahwasanya adalah sia-sia untuk menyibukkan pikiran kita dengan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal. Mereka yang melampaui batas dalam bidang ini, baik dalam komunitas agama mana pun, terutama di kalangan Muslim dan Kristen, hanya akan menemukan diri mereka kembali ke titik awal setelah semua argumen selesai. Yang mereka capai hanyalah perpecahan dan ketidakharmonisan.
Abduh mengkritik dua pandangan ekstrem:
- 1. Pandangan Kebebasan Penuh:Â Pandangan ini mengklaim bahwasanya manusia memiliki kebebasan mutlak atas semua tindakannya dan kemandirian penuh. Abduh menilai ini sebagai khayalan yang nyata.
- 2. Pandangan Jabr (Predestinasi): Pandangan ini menyatakan bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, sehingga manusia tidak memiliki kendali atas tindakannya. Abduh menolak pandangan ini karena merusak hukum suci dan mengarah pada penghapusan nilai-nilai moral.
Sebagian orang mengklaim bahwa keyakinan pada kasb atau perolehan tindakan manusia mengarah pada dosa syirik, yaitu menyekutukan Tuhan. Namun, Abduh menegaskan bahwa konsep syirik yang sebenarnya adalah keyakinan bahwa ada penyebab superior selain Tuhan yang mempengaruhi urutan sebab-akibat di dunia.Â
Mengabaikan sarana yang diberikan Tuhan untuk mencapai tujuan, seperti kekuatan militer untuk kemenangan perang atau obat-obatan untuk penyembuhan, adalah bentuk syirik yang sejati. Islam datang untuk mengakhiri pandangan ini dan mengembalikan otoritas Tuhan dalam semua aspek kehidupan.
Islam meletakkan dua prinsip besar sebagai pilar kebahagiaan dan aktivitas manusia:
- 1. Manusia sebagai hamba memperoleh sarana untuk kebahagiaan melalui kehendak dan kapasitasnya.
- 2. Otoritas ilahi berada di balik perolehan ini sebagai sumber dari semua keberadaan.
Akal manusia, meskipun mampu membedakan kebaikan dari keburukan, tidak cukup untuk memahami secara lengkap semua yang ada di alam semesta, termasuk hakikat dari kehidupan setelah mati (after life) dan cara Tuhan menghukum atau memberi ganjaran kepada manusia yang berbuat dosa dan ingkar kepada-Nya. Dalam hal ini, wahyu diperlukan untuk memberikan panduan yang lebih komprehensif dan terarah.
Abduh menekankan bahwa, dalam hal tersebut, wahyu diperlukan untuk membantu manusia memahami aturan-aturan ilahi yang melampaui akal mereka. Para nabi yang ditugaskan oleh Allah berfungsi sebagai pembimbing untuk mengajarkan manusia tentang aspek-aspek yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia semata, seperti hakikat Tuhan, makna kehidupan, dan kehidupan setelah mati.
Sebagai penutup, Abduh menyimpulkan bahwa iman kepada keesaan Tuhan mengharuskan orang beriman (mukmin) untuk mengakui bahwa segala kekuatan yang dimilikinya adalah berasal dari Tuhan. Manusia memperoleh (kasb) keimanan dan perbuatan agama yang diwajibkan, sedangkan kekuatan Tuhan melampaui segala kemampuan manusia. Mengejar pemahaman yang lebih mendalam tentang hal ini, menurut Abduh, tidak masuk dalam ranah iman dan merupakan tindakan sia-sia dari sudut pandang rasionalitas.
Dengan demikian, pemikiran Muhammad Abduh tentang perbuatan manusia dalam Rislat Al-Tawd mencakup upaya untuk mengharmonisasikan antara kehendak bebas manusia, tanggung jawab moral, dan kedaulatan Tuhan, dengan tetap menjunjung tinggi akal sebagai sarana untuk memahami, tetapi tetap harus tunduk pada wahyu ilahi sebagai panduan utama.
Referensi
Abduh, Muhammad. The Theology of Unity (Rislat Al-Tawd). Diterjemahkan oleh Ishaq Musa'ad dan Kenneth Cragg. London: George Allen & Unwin LTD, 1966.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI