Diskusi lebih lanjut mengenai upaya rekonsiliasi antara pengetahuan ilahi dan kehendak ilahi yang sudah terbukti, serta kekuatan nyata dari pilihan manusia, akan membawa kita pada misteri Qadar atau takdir. Abduh menegaskan bahwa kita dilarang untuk melibatkan diri dalam pemahaman ini.Â
Ia menekankan bahwasanya adalah sia-sia untuk menyibukkan pikiran kita dengan apa yang tidak dapat dicapai oleh akal. Mereka yang melampaui batas dalam bidang ini, baik dalam komunitas agama mana pun, terutama di kalangan Muslim dan Kristen, hanya akan menemukan diri mereka kembali ke titik awal setelah semua argumen selesai. Yang mereka capai hanyalah perpecahan dan ketidakharmonisan.
Abduh mengkritik dua pandangan ekstrem:
- 1. Pandangan Kebebasan Penuh:Â Pandangan ini mengklaim bahwasanya manusia memiliki kebebasan mutlak atas semua tindakannya dan kemandirian penuh. Abduh menilai ini sebagai khayalan yang nyata.
- 2. Pandangan Jabr (Predestinasi): Pandangan ini menyatakan bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan sebelumnya, sehingga manusia tidak memiliki kendali atas tindakannya. Abduh menolak pandangan ini karena merusak hukum suci dan mengarah pada penghapusan nilai-nilai moral.
Sebagian orang mengklaim bahwa keyakinan pada kasb atau perolehan tindakan manusia mengarah pada dosa syirik, yaitu menyekutukan Tuhan. Namun, Abduh menegaskan bahwa konsep syirik yang sebenarnya adalah keyakinan bahwa ada penyebab superior selain Tuhan yang mempengaruhi urutan sebab-akibat di dunia.Â
Mengabaikan sarana yang diberikan Tuhan untuk mencapai tujuan, seperti kekuatan militer untuk kemenangan perang atau obat-obatan untuk penyembuhan, adalah bentuk syirik yang sejati. Islam datang untuk mengakhiri pandangan ini dan mengembalikan otoritas Tuhan dalam semua aspek kehidupan.
Islam meletakkan dua prinsip besar sebagai pilar kebahagiaan dan aktivitas manusia:
- 1. Manusia sebagai hamba memperoleh sarana untuk kebahagiaan melalui kehendak dan kapasitasnya.
- 2. Otoritas ilahi berada di balik perolehan ini sebagai sumber dari semua keberadaan.
Akal manusia, meskipun mampu membedakan kebaikan dari keburukan, tidak cukup untuk memahami secara lengkap semua yang ada di alam semesta, termasuk hakikat dari kehidupan setelah mati (after life) dan cara Tuhan menghukum atau memberi ganjaran kepada manusia yang berbuat dosa dan ingkar kepada-Nya. Dalam hal ini, wahyu diperlukan untuk memberikan panduan yang lebih komprehensif dan terarah.
Abduh menekankan bahwa, dalam hal tersebut, wahyu diperlukan untuk membantu manusia memahami aturan-aturan ilahi yang melampaui akal mereka. Para nabi yang ditugaskan oleh Allah berfungsi sebagai pembimbing untuk mengajarkan manusia tentang aspek-aspek yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia semata, seperti hakikat Tuhan, makna kehidupan, dan kehidupan setelah mati.
Sebagai penutup, Abduh menyimpulkan bahwa iman kepada keesaan Tuhan mengharuskan orang beriman (mukmin) untuk mengakui bahwa segala kekuatan yang dimilikinya adalah berasal dari Tuhan. Manusia memperoleh (kasb) keimanan dan perbuatan agama yang diwajibkan, sedangkan kekuatan Tuhan melampaui segala kemampuan manusia. Mengejar pemahaman yang lebih mendalam tentang hal ini, menurut Abduh, tidak masuk dalam ranah iman dan merupakan tindakan sia-sia dari sudut pandang rasionalitas.
Dengan demikian, pemikiran Muhammad Abduh tentang perbuatan manusia dalam Rislat Al-Tawd mencakup upaya untuk mengharmonisasikan antara kehendak bebas manusia, tanggung jawab moral, dan kedaulatan Tuhan, dengan tetap menjunjung tinggi akal sebagai sarana untuk memahami, tetapi tetap harus tunduk pada wahyu ilahi sebagai panduan utama.
Referensi
Abduh, Muhammad. The Theology of Unity (Rislat Al-Tawd). Diterjemahkan oleh Ishaq Musa'ad dan Kenneth Cragg. London: George Allen & Unwin LTD, 1966.