Muhammad Abduh, teolog dan salah satu tokoh gerakan pembaharu Islam, menekankan bahwasanya Al-Qur'an telah menggambarkan sifat-sifat Tuhan dengan penekanannya pada Keagungan dan keesaan-Nya. Ini termasuk sifat-sifat seperti Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Mendengar, dan Maha Melihat. Sifat-sifat ini menegaskan bahwa Tuhan tidak terbatas oleh ruang dan waktu dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.
Al-Qur'an menggunakan berbagai istilah untuk menjelaskan sifat-sifat Tuhan, yang kadang-kadang tampak mirip dengan sifat manusia. Meski begitum Abduh menjelaskan bahwa ini hanyalah cara untuk memudahkan pemahaman manusia tentang keagungan Tuhan dan tidak boleh dipahami secara harfiah (literal).
Abduh menekankan pentingnya menggunakan akal dalam memahami sifat-sifat Tuhan dengan cara men-takwil-nya. Dalam hal ini, dia menolak pemahaman literal yang ekstrem yang dapat menyebabkan kesalahpahaman tentang hakikat Tuhan yang transenden. Misalnya, ketika Al-Qur'an menyebutkan tentang "tangan" atau "wajah" Tuhan, ini tidak berarti Tuhan memiliki organ tubuh seperti manusia, tetapi merupakan metafora untuk menggambarkan Kekuasaan dan Kasih Sayang dan Pertolongan-Nya terhadap setiap makhluk-Nya.
Dia juga mengkritik interpretasi antropomorfisme (penyerupaan Tuhan dengan manusia) yang bisa muncul dari pemahaman harfiah terhadap istilah-istilah tersebut. Menurutnya, pendekatan seperti ini tidak sesuai dengan ajaran tauhid yang mengajarkan bahwa Tuhan itu unik (khas dan khusus) dan tidak dapat dipersamakan atau diperbanding-bandingkan dengan makhluk-Nya, sebab tidak ada yang serupa dengan-Nya.
Abduh membahas konsep transendensi Tuhan, yang berarti bahwa Tuhan berada di luar jangkauan pemahaman manusia dan tidak terikat oleh sifat-sifat fisik atau batasan-batasan material apa pun. Akan tetapi, pada saat bersamaan, Abduh pun tetap mengakui aspek imanensi Tuhan, yaitu sifat kehadiran-Nya yang dekat dan aktif dalam tiap-tiap kehidupan manusia dan alam semesta, baik yang terlihat oleh indrawi maupun tidak.
Dengan kata lain, Tuhan adalah Maha Besar dan tidak terbatas, tetapi Dia juga dekat dan berhubungan langsung dengan ciptaan-Nya. Ini menunjukkan keseimbangan antara kedudukan Tuhan yang transenden dan kehadiran-Nya yang imanen.
Salah satu topik yang menjadi perdebatan dalam teologi Islam biasanya terkati dengan hubungan antara kehendak Tuhan yang mutlak dan kehendak bebas manusia. Abduh menekankan bahwa Islam tidak menghilangkan kehendak bebas manusia, meskipun Tuhan memiliki kehendak yang mutlak dalam sifat-sifat-Nya. Ini berkonsekuensi pada sifat dan tindakan manusia yang tetap memiliki tanggung jawab atas perbuatannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakannya di dunia saat dia sampai di akhirat.Â
Abduh berpendapat bahwa konsep Tuhan dalam Islam dan kehendak-Nya tidaklah bertentangan dengan logika atau akal sehat. Tuhan menciptakan hukum-hukum alam dan menetapkan takdir, tetapi manusia diberi kebebasan untuk memilih tindakan dalam batasan-batasan yang ditetapkan juga oleh Tuhan. Ini adalah bentuk keseimbangan antara kekuasaan Tuhan dan tanggung jawab manusia. Abduh kemudian menegaskan bahwasanya penggunaan akal adalah bagian integral dari ajaran Islam. Dia menunjukkan bahwa Al-Qur'an sendiri memberikan banyak contoh di mana Tuhan mengajak manusia untuk menggunakan akal mereka dalam memahami tanda-tanda dalam ciptaan-Nya di seluruh jagat alam semesta. Akal yang sehat ini pun kemudian dapat digunakan untuk memahami sifat-sifat Tuhan dan menghindari kesalahpahaman atau penyimpangan dalam keyakinan ber-tauhid.
Misalnya, ketika membahas tentang "kursi" Tuhan, Al-Qur'an mengatakan bahwa "kursi" Tuhan meliputi langit dan bumi (Surah Al-Baqarah: 255). Ini bukan berarti Tuhan duduk di atas kursi dalam pengertian fisik, tetapi lebih pada menggambarkan kekuasaan dan otoritas Tuhan yang mencakup segala sesuatu.
"Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi terus-menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak dilanda oleh kantuk dan tidak (pula) oleh tidur. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun dari ilmu-Nya, kecuali apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya (ilmu dan kekuasaan-Nya) meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung." (QS: Al-Baqarah: 255)
Abduh mengkritik pendekatan yang terlalu literal terhadap sifat-sifat Tuhan, yang sering kali dilakukan oleh beberapa kelompok ekstrem di dalam Islam, seperti Salafi-Wahhabisme. Dia menekankan bahwa pemahaman yang benar tentang sifat Tuhan harus didasarkan pada prinsip tauhid yang murni, yaitu bahwa Tuhan itu Esa dan tidak ada yang serupa dengan-Nya. Begitu juga, Abduh menentang juga kelompok-kelompok ekstrem yang menafsirkan sifat-sifat Tuhan dengan cara yang merendahkan kebesaran-Nya, seperti menyamakan Tuhan dengan makhluk atau membatasi kekuasaan-Nya hanya pada hal-hal tertentu.
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang sifat-sifat Tuhan, Abduh menyarankan penggunaan pendekatan metaforis-analogis atau penafsiran yang simbolis. Penafsiran dengan men-takwil dapat membantu umat Islam untuk memahami makna yang lebih dalam, tanpa terjebak pada pemahaman harfiah (literal) yang sempit.
Misalnya, ketika Al-Qur'an berbicara tentang "tangan" Tuhan, ini bisa diartikan sebagai kekuasaan atau kemampuan Tuhan yang tak terbatas. "Wajah" Tuhan dapat diartikan sebagai kehadiran atau perhatian-Nya yang abadi terhadap ciptaan-Nya, sebagaimana telah diterangkan sebelumnya.
Abduh percaya bahwa pemahaman yang rasional dan benar tentang sifat-sifat Tuhan akan mempengaruhi cara umat Islam menjalani kehidupan mereka. Keyakinan akan keadilan dan kebijaksanaan Tuhan, misalnya, akan mendorong umat untuk berlaku adil dan bijaksana dalam kehidupan sehari-hari dengan bersandarkan pada kekuasaan mutlak Tuhan dan sifatnya yang transenden sekaligus imanen.
Selain itu, pemahaman yang benar tentang kehendak bebas manusia dan takdir Tuhan akan mendorong umat Islam untuk berusaha sebaik mungkin, sambil tetap ber-tawakkal kepada Tuhan atas hasil yang akan mereka terima. Ini dapat menyeimbangkan antara usaha yang dapat dilakukan oleh manusia dan kepercayaan kepada kehendak Tuhan yang akan menentukan keberhasilan usaha tersebut.
Referensi
Abduh, Muhammad. The Theology of Unity (Rislat Al-Tawd). Diterjemahkan oleh Ishaq Musa'ad dan Kenneth Cragg. London: George Allen & Unwin LTD, 1966.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H