Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Parlemen Rakyat atau Alat Pemerintah? Pelajaran dari Kritik Tan Malaka terhadap Lemahnya Parlemen Jerman Era Bismarck (3)

22 Januari 2025   13:15 Diperbarui: 24 November 2024   07:57 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur Otto von Bismarck (Sumber: Telegraph)

G. Keterbatasan Implementasi Hak Initiatief di Parlemen Jerman

Tan Malaka menyoroti pentingnya hak Initiatief bagi parlemen Jerman, terutama karena parlemen tidak memiliki kendali atas pemerintah. Berbeda dengan Inggris, di mana menteri-menteri dipilih dari anggota parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen, di Jerman menteri-menteri diangkat langsung oleh kaisar. Dalam situasi seperti ini, hak Initiatief seharusnya menjadi instrumen penting bagi wakil rakyat untuk menyampaikan suara dan aspirasi masyarakat. Namun, kenyataannya hak ini tidak dimuliakan sebagaimana mestinya.

1. Keterbatasan Waktu untuk Hak Initiatief

Hari Rabu, satu-satunya hari di mana hak Initiatief dapat digunakan, sudah ditentukan bahwa sebagian besar waktu (lima perenam bagian) digunakan untuk membahas usulan pemerintah. Akibatnya, hanya seperenam waktu yang dialokasikan untuk inisiatif anggota parlemen. Tan Malaka mengkritik sistem ini sebagai cara efektif untuk melemahkan fungsi hak Initiatief.

2. Rendahnya Respons Pemerintah terhadap Usulan Parlemen

Dari 100 usulan yang diajukan oleh parlemen selama periode Februari hingga Mei 1907, tidak ada satu pun yang diterima pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Jerman tidak menganggap serius hak Initiatief sebagai bagian dari mekanisme demokrasi.

3. Kritik terhadap Efektivitas Hak Initiatief

Tan Malaka mempertanyakan kegunaan hak Initiatief dalam kondisi seperti ini. Ketika hak tersebut diabaikan oleh pemerintah dan tidak didukung dengan mekanisme untuk memastikan implementasinya, hak ini kehilangan fungsinya sebagai alat pengawasan terhadap pemerintah.

H. Ketidakefektifan Parlemen dalam Menentang Pemerintah

Parlemen Jerman tidak hanya gagal dalam memanfaatkan hak Initiatief, tetapi juga tidak mampu menunjukkan sikap tegas terhadap pemerintah. Tan Malaka memperbandingkan parlemen Jerman dengan parlemen Inggris, yang memiliki mekanisme untuk mengawasi pemerintah secara efektif.

1. Ketiadaan Tindakan Obstruktif

Di Inggris, parlemen memiliki kemampuan untuk melancarkan aksi obstructie (obstruksi) untuk menghambat usulan pemerintah yang tidak disetujui. Cara ini dilakukan dengan berbagai muslihat, seperti membuat kericuhan dalam sidang, menyampaikan pidato panjang, atau menggunakan prosedur lain untuk mencegah pembahasan usulan pemerintah. Tan Malaka mencatat bahwa parlemen Jerman tidak pernah menggunakan pendekatan semacam ini, yang menunjukkan kelemahan dan ketidaktegasan dalam menghadapi pemerintah.

2. Kekurangan Keberanian untuk Melawan Pemerintah

Menurut Tan Malaka, kelemahan parlemen Jerman adalah ketidakmampuannya untuk melawan dominasi pemerintah secara sistematis. Bahkan ketika pemerintah secara terang-terangan mengabaikan usulan parlemen, para wakil rakyat tidak memperlihatkan keberanian atau kesatuan untuk menentang tindakan tersebut.

3. Hak Interpelasi: Peluang yang Tidak Dimanfaatkan

Hak Interpellatie (interpelasi) memberikan kewenangan kepada anggota parlemen untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah tentang kebijakan dan tindakan mereka. Tan Malaka membandingkan penerapan hak ini di Inggris dan Jerman.

a) Penerapan di Inggris

Di Inggris, hak interpelasi digunakan sebagai alat untuk mengawasi pemerintah. Anggota parlemen dapat menanyakan tindakan menteri secara langsung, dan menteri yang bersangkutan wajib memberikan jawaban di hadapan parlemen. Mekanisme ini memastikan bahwa rakyat dapat mengetahui dan menilai kebijakan pemerintah secara transparan.

b) Kegagalan di Jerman

Di Jerman, hak interpelasi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Meskipun secara teori anggota parlemen memiliki hak untuk meminta penjelasan dari pemerintah, pada praktiknya hak ini sering kali diabaikan oleh pemerintah atau dijawab secara formalitas tanpa makna substantif. Hal ini semakin memperkuat posisi pemerintah dan melemahkan fungsi pengawasan parlemen.

4. Perbandingan antara Parlemen Inggris dan Jerman

Tan Malaka menggambarkan kontras yang tajam antara parlemen Inggris dan Jerman dalam hal fungsi dan efektivitasnya.

  • Konteks Sosial dan Politik: Di Inggris, pemerintah berasal dari parlemen, dan menteri-menteri dipilih dari anggota parlemen yang mendapatkan kepercayaan rakyat. Hal ini menciptakan hubungan yang lebih demokratis antara pemerintah dan parlemen. Sebaliknya, di Jerman, pemerintah berada di luar kendali parlemen, dengan menteri-menteri diangkat langsung oleh kaisar tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat.
  • Penggunaan Hak-hak Parlemen: Parlemen Inggris memanfaatkan hak Initiatief dan interpelasi secara efektif untuk mengawasi dan memengaruhi kebijakan pemerintah. Di Jerman, hak-hak ini tidak dijalankan secara optimal, baik karena keterbatasan sistem maupun kelemahan parlemen itu sendiri.
  • Budaya Politik: Tan Malaka mencatat bahwa rakyat Inggris memiliki budaya politik yang lebih aktif dan kritis dibandingkan dengan rakyat Jerman. Budaya ini memungkinkan parlemen Inggris untuk lebih tegas dalam menjalankan fungsi pengawasannya.

5. Implikasi Kelemahan Parlemen Jerman terhadap Demokrasi

Kegagalan parlemen Jerman dalam memanfaatkan hak-haknya dan melawan dominasi pemerintah memiliki dampak serius terhadap perkembangan demokrasi:

  • Minimnya Representasi Rakyat: Ketika hak Initiatief dan interpelasi tidak digunakan secara efektif, suara rakyat tidak terwakili dengan baik dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini memperkuat kesenjangan antara pemerintah dan rakyat.
  • Konsolidasi Kekuasaan Otoriter: Ketiadaan mekanisme check and balance yang efektif memungkinkan pemerintah untuk memerintah secara otoriter tanpa pengawasan yang memadai dari parlemen.
  • Kehilangan Kepercayaan Rakyat: Ketidakmampuan parlemen untuk menjalankan fungsinya merusak kepercayaan rakyat terhadap institusi demokrasi. Hal ini menciptakan siklus di mana rakyat semakin enggan untuk mendukung atau terlibat dalam proses politik.

Bersambung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun