G. Keterbatasan Implementasi Hak Initiatief di Parlemen Jerman
Tan Malaka menyoroti pentingnya hak Initiatief bagi parlemen Jerman, terutama karena parlemen tidak memiliki kendali atas pemerintah. Berbeda dengan Inggris, di mana menteri-menteri dipilih dari anggota parlemen dan bertanggung jawab kepada parlemen, di Jerman menteri-menteri diangkat langsung oleh kaisar. Dalam situasi seperti ini, hak Initiatief seharusnya menjadi instrumen penting bagi wakil rakyat untuk menyampaikan suara dan aspirasi masyarakat. Namun, kenyataannya hak ini tidak dimuliakan sebagaimana mestinya.
1. Keterbatasan Waktu untuk Hak Initiatief
Hari Rabu, satu-satunya hari di mana hak Initiatief dapat digunakan, sudah ditentukan bahwa sebagian besar waktu (lima perenam bagian) digunakan untuk membahas usulan pemerintah. Akibatnya, hanya seperenam waktu yang dialokasikan untuk inisiatif anggota parlemen. Tan Malaka mengkritik sistem ini sebagai cara efektif untuk melemahkan fungsi hak Initiatief.
2. Rendahnya Respons Pemerintah terhadap Usulan Parlemen
Dari 100 usulan yang diajukan oleh parlemen selama periode Februari hingga Mei 1907, tidak ada satu pun yang diterima pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Jerman tidak menganggap serius hak Initiatief sebagai bagian dari mekanisme demokrasi.
3. Kritik terhadap Efektivitas Hak Initiatief
Tan Malaka mempertanyakan kegunaan hak Initiatief dalam kondisi seperti ini. Ketika hak tersebut diabaikan oleh pemerintah dan tidak didukung dengan mekanisme untuk memastikan implementasinya, hak ini kehilangan fungsinya sebagai alat pengawasan terhadap pemerintah.
H. Ketidakefektifan Parlemen dalam Menentang Pemerintah
Parlemen Jerman tidak hanya gagal dalam memanfaatkan hak Initiatief, tetapi juga tidak mampu menunjukkan sikap tegas terhadap pemerintah. Tan Malaka memperbandingkan parlemen Jerman dengan parlemen Inggris, yang memiliki mekanisme untuk mengawasi pemerintah secara efektif.
1. Ketiadaan Tindakan Obstruktif
Di Inggris, parlemen memiliki kemampuan untuk melancarkan aksi obstructie (obstruksi) untuk menghambat usulan pemerintah yang tidak disetujui. Cara ini dilakukan dengan berbagai muslihat, seperti membuat kericuhan dalam sidang, menyampaikan pidato panjang, atau menggunakan prosedur lain untuk mencegah pembahasan usulan pemerintah. Tan Malaka mencatat bahwa parlemen Jerman tidak pernah menggunakan pendekatan semacam ini, yang menunjukkan kelemahan dan ketidaktegasan dalam menghadapi pemerintah.
2. Kekurangan Keberanian untuk Melawan Pemerintah
Menurut Tan Malaka, kelemahan parlemen Jerman adalah ketidakmampuannya untuk melawan dominasi pemerintah secara sistematis. Bahkan ketika pemerintah secara terang-terangan mengabaikan usulan parlemen, para wakil rakyat tidak memperlihatkan keberanian atau kesatuan untuk menentang tindakan tersebut.
3. Hak Interpelasi: Peluang yang Tidak Dimanfaatkan
Hak Interpellatie (interpelasi) memberikan kewenangan kepada anggota parlemen untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah tentang kebijakan dan tindakan mereka. Tan Malaka membandingkan penerapan hak ini di Inggris dan Jerman.
a) Penerapan di Inggris
Di Inggris, hak interpelasi digunakan sebagai alat untuk mengawasi pemerintah. Anggota parlemen dapat menanyakan tindakan menteri secara langsung, dan menteri yang bersangkutan wajib memberikan jawaban di hadapan parlemen. Mekanisme ini memastikan bahwa rakyat dapat mengetahui dan menilai kebijakan pemerintah secara transparan.
b) Kegagalan di Jerman
Di Jerman, hak interpelasi tidak dimanfaatkan secara maksimal. Meskipun secara teori anggota parlemen memiliki hak untuk meminta penjelasan dari pemerintah, pada praktiknya hak ini sering kali diabaikan oleh pemerintah atau dijawab secara formalitas tanpa makna substantif. Hal ini semakin memperkuat posisi pemerintah dan melemahkan fungsi pengawasan parlemen.