A. Pendahuluan
Tulisan Tan Malaka bertajuk Parlemen sebagai Perkakas Saja dari yang Memerintah dalam bukunya berjudul Parlemen atau Soviet memberikan kita banyak wawasan mendalam tentang dinamika hubungan antara parlemen dan raja. Penekanan utama di dalam buku Tan ini adalah pada pertarungan kekuasaan yang berlangsung di Eropa, khususnya Inggris, dalam perjalanan sejarah menuju pengakuan hak rakyat melalui parlemen.
Analisis ini akan mengupas akar konflik antara monarki otoritarianisme dan semangat demokrasi yang diwakili oleh parlemen. Khusus dalam artikel ini kita akan menggunakan Inggris sebagai studi kasus utama dengan menguraikan gagasan Tan Malaka secara komprehensif dan holistik, termasuk dampaknya terhadap perkembangan sistem pemerintahan modern.
B. Latar Belakang: Parlemen Berlawanan dengan Raja
Sejarah parlemen mulai berlangsung sejak dijadikan sebagai "perlawanan" dalam hal merespons dominasi kekuasaan raja. Tan Malaka dalam hal ini menyoroti bagaimana pada mulanya parlemen hanya menjadi perkakas bagi sang raja, khususnya di belahan dunia Timur, karena ketaatan terhadap adat dan agama, berkembang menjadi sebaliknya di Eropa Barat, yakni melahirkan sikap kritis terhadap otoritas raja, sehingga berkembangnya budaya kemerdekaan dan rasionalitas masyarakatnya.
Inggris dalam tulisan Tan menjadi contoh signifikan, di mana parlemen di Inggris secara perlahan-lahan mengambil alih kekuasaan dari raja melalui perselisihan yang panjang. Tan Malaka menjelaskan bahwa kemenangan parlemen di Inggris terjadi, bahkan lama sebelum berlangsungnya Revolusi Prancis, sehingga menjadikan Inggris sebagai pelopor demokrasi modern.
"Sungguhpun tanah Prancis boleh dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman sekarang, sungguhpun di sana rakyat mengalahkan raja, bangsawan, dan pendetanya dengan ribut dan topan yang hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen atas raja sudah satu abad dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris."
C. Perkembangan Parlemen Inggris: Studi Kasus Konflik dengan Raja
1. Awal Perjalanan Parlemen
Awal mula parlemen di Inggris dapat ditelusuri kembali ke tahun 1215, ketika raja dipaksa mengakui Magna Carta. Dokumen ini menjadi fondasi bagi pengakuan hak individu, keadilan hukum, dan pembatasan kekuasaan raja. Namun, implementasi Magna Carta sering kali dilanggar, yang mendorong lahirnya parlemen sebagai institusi pengawasan terhadap raja.
"Di sana ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang dan hak pada harta bendanya. Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada dengan alasan undang-undang negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh dijual atau dibeli. Wujudnya tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan, atau kemiskinan orang, atau menerima uang suapan."
Parlemen kemudian berkembang menjadi dua majelis: House of Lords dan House of Commons. Kedua majelis ini kemudian memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kekuasaan, meskipun dominasi House of Commons dalam mewakili rakyat menjadi lebih menonjol dari waktu ke waktu.
"Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan disahkan raja. Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah. Segala pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada boleh dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen belum lebih dulu mengabulkan."
2. Abad ke-17: Puncak Konflik
Pada abad ke-17, konflik antara raja dan parlemen mencapai puncaknya selama pemerintahan Raja Charles I. Raja Charles I ini melanjutkan sikap otoriter ayahnya, Jacob I, yang mengklaim bahwa kekuasaan raja adalah berasal langsung dari Tuhan. Ketegangan memuncak ketika Charles I mencoba memerintah tanpa parlemen selama 11 tahun, hingga kebutuhan finansial memaksanya untuk memanggil kembali parlemen pada tahun 1640.
"Pemerintah Charles I disambut dengan perjuangan yang besar dengan Parlemen, oleh karena menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja yang kalah, haruslah dia mengakui sahnya 'Petition of Right', pada undang-undang mana ditentukan, bahwa tiada boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan dilarang mengambil pajak. Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke luar tiadalah diizinkan lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan untuk setahun saja. Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab itu Baginda mencoba memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun."
Perlawanan parlemen terhadap Charles I berujung pada eksekusi raja tersebut pada tahun 1649, suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia. Eksekusi ini menunjukkan bahwa rakyat melalui parlemen dapat menghukum seorang raja, yang menandai tonggak awal republik di Inggris di bawah pimpinan Oliver Cromwell.
3. Konflik Berlanjut: Dari Republik ke Restorasi Monarki
Setelah kematian Cromwell, pemerintahan republik tidak bertahan lama. Monarki dikembalikan dengan naiknya Charles II, tetapi konflik dengan parlemen terus berlanjut. Periode ini menghasilkan undang-undang penting seperti Habeas Corpus Act (1679), yang memperkuat perlindungan terhadap hak individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah.
Pemerintahan Jacob II, anak Charles II, memperburuk hubungan dengan parlemen karena kebijakannya yang otoriter dan kecenderungan pro-Katolik. Akhirnya, parlemen memanggil Willem van Oranje dari Belanda untuk menggantikan Jacob II, yang melarikan diri ke Prancis. Willem menerima Declaration of Rights, yang menetapkan hak-hak rakyat dan memperkuat kekuasaan parlemen di atas raja.
D. Analisis: Pelajaran dari Konflik Parlemen dan Raja
- Konsistensi Parlemen dalam Mempertahankan Hak Rakyat: Tan Malaka menyoroti bagaimana parlemen secara konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat meskipun menghadapi tekanan dari raja. Dalam kasus Inggris, parlemen berhasil memaksa raja untuk mengakui kekuasaan rakyat, suatu langkah yang kemudian menginspirasi perkembangan demokrasi di seluruh dunia.
- Pentingnya Mekanisme Pengawasan Kekuasaan: Konflik antara parlemen dan raja mencerminkan pentingnya checks and balances dalam pemerintahan. Parlemen bertindak sebagai pengawas kekuasaan eksekutif, sehingga memastikan bahwa keputusan pemerintah selaras dengan kepentingan rakyat.
- Perkembangan Demokrasi Melalui Hukum: Undang-undang seperti Magna Carta, Petition of Right, dan Habeas Corpus Act menunjukkan bahwa supremasi hukum adalah elemen fundamental dalam demokrasi. Hukum menjadi alat utama untuk membatasi kekuasaan otoriter dan melindungi hak-hak rakyat.
E. Kesimpulan: Refleksi dan Relevansi di Masa Kini
Melalui analisis sejarah parlemen di Inggris, Tan Malaka menunjukkan bahwa kekuasaan absolut raja tidak dapat berdampingan dengan prinsip demokrasi. Parlemen tidak hanya menjadi alat bagi raja, tetapi juga menjadi representasi dari kedaulatan rakyat. Pelajaran dari Inggris ini relevan untuk memahami dinamika politik modern, terutama dalam membangun sistem pemerintahan yang adil, demokratis, dan menghormati hak-hak warga negara.
Sebagaimana ditekankan Tan Malaka, perjuangan antara kekuasaan rakyat dan otoritarianisme adalah konflik yang abadi. Namun, dengan belajar dari sejarah, masyarakat dapat terus memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan demokrasi yang sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H