Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tan Malaka dan Pertarungan Parlemen Vs. Raja: Pelajaran dari Sejarah Inggris

2 Januari 2025   10:30 Diperbarui: 23 November 2024   23:59 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah ilustrasi Raja John saat menandatangani berkas Magna Carta (Sumber: iStock)

"Pemerintah Charles I disambut dengan perjuangan yang besar dengan Parlemen, oleh karena menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja yang kalah, haruslah dia mengakui sahnya 'Petition of Right', pada undang-undang mana ditentukan, bahwa tiada boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan dilarang mengambil pajak. Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke luar tiadalah diizinkan lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan untuk setahun saja. Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab itu Baginda mencoba memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun."

Perlawanan parlemen terhadap Charles I berujung pada eksekusi raja tersebut pada tahun 1649, suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia. Eksekusi ini menunjukkan bahwa rakyat melalui parlemen dapat menghukum seorang raja, yang menandai tonggak awal republik di Inggris di bawah pimpinan Oliver Cromwell.

3. Konflik Berlanjut: Dari Republik ke Restorasi Monarki

Setelah kematian Cromwell, pemerintahan republik tidak bertahan lama. Monarki dikembalikan dengan naiknya Charles II, tetapi konflik dengan parlemen terus berlanjut. Periode ini menghasilkan undang-undang penting seperti Habeas Corpus Act (1679), yang memperkuat perlindungan terhadap hak individu dari tindakan sewenang-wenang pemerintah.

Pemerintahan Jacob II, anak Charles II, memperburuk hubungan dengan parlemen karena kebijakannya yang otoriter dan kecenderungan pro-Katolik. Akhirnya, parlemen memanggil Willem van Oranje dari Belanda untuk menggantikan Jacob II, yang melarikan diri ke Prancis. Willem menerima Declaration of Rights, yang menetapkan hak-hak rakyat dan memperkuat kekuasaan parlemen di atas raja.

D. Analisis: Pelajaran dari Konflik Parlemen dan Raja

  • Konsistensi Parlemen dalam Mempertahankan Hak Rakyat: Tan Malaka menyoroti bagaimana parlemen secara konsisten memperjuangkan hak-hak rakyat meskipun menghadapi tekanan dari raja. Dalam kasus Inggris, parlemen berhasil memaksa raja untuk mengakui kekuasaan rakyat, suatu langkah yang kemudian menginspirasi perkembangan demokrasi di seluruh dunia.
  • Pentingnya Mekanisme Pengawasan Kekuasaan: Konflik antara parlemen dan raja mencerminkan pentingnya checks and balances dalam pemerintahan. Parlemen bertindak sebagai pengawas kekuasaan eksekutif, sehingga memastikan bahwa keputusan pemerintah selaras dengan kepentingan rakyat.
  • Perkembangan Demokrasi Melalui Hukum: Undang-undang seperti Magna Carta, Petition of Right, dan Habeas Corpus Act menunjukkan bahwa supremasi hukum adalah elemen fundamental dalam demokrasi. Hukum menjadi alat utama untuk membatasi kekuasaan otoriter dan melindungi hak-hak rakyat.

E. Kesimpulan: Refleksi dan Relevansi di Masa Kini

Melalui analisis sejarah parlemen di Inggris, Tan Malaka menunjukkan bahwa kekuasaan absolut raja tidak dapat berdampingan dengan prinsip demokrasi. Parlemen tidak hanya menjadi alat bagi raja, tetapi juga menjadi representasi dari kedaulatan rakyat. Pelajaran dari Inggris ini relevan untuk memahami dinamika politik modern, terutama dalam membangun sistem pemerintahan yang adil, demokratis, dan menghormati hak-hak warga negara.

Sebagaimana ditekankan Tan Malaka, perjuangan antara kekuasaan rakyat dan otoritarianisme adalah konflik yang abadi. Namun, dengan belajar dari sejarah, masyarakat dapat terus memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan demokrasi yang sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun