Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tan Malaka dan Pertarungan Parlemen Vs. Raja: Pelajaran dari Sejarah Inggris

2 Januari 2025   10:30 Diperbarui: 23 November 2024   23:59 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah ilustrasi Raja John saat menandatangani berkas Magna Carta (Sumber: iStock)

A. Pendahuluan

Tulisan Tan Malaka bertajuk Parlemen sebagai Perkakas Saja dari yang Memerintah dalam bukunya berjudul Parlemen atau Soviet memberikan kita banyak wawasan mendalam tentang dinamika hubungan antara parlemen dan raja. Penekanan utama di dalam buku Tan ini adalah pada pertarungan kekuasaan yang berlangsung di Eropa, khususnya Inggris, dalam perjalanan sejarah menuju pengakuan hak rakyat melalui parlemen.

Analisis ini akan mengupas akar konflik antara monarki otoritarianisme dan semangat demokrasi yang diwakili oleh parlemen. Khusus dalam artikel ini kita akan menggunakan Inggris sebagai studi kasus utama dengan menguraikan gagasan Tan Malaka secara komprehensif dan holistik, termasuk dampaknya terhadap perkembangan sistem pemerintahan modern.

B. Latar Belakang: Parlemen Berlawanan dengan Raja

Sejarah parlemen mulai berlangsung sejak dijadikan sebagai "perlawanan" dalam hal merespons dominasi kekuasaan raja. Tan Malaka dalam hal ini menyoroti bagaimana pada mulanya parlemen hanya menjadi perkakas bagi sang raja, khususnya di belahan dunia Timur, karena ketaatan terhadap adat dan agama, berkembang menjadi sebaliknya di Eropa Barat, yakni melahirkan sikap kritis terhadap otoritas raja, sehingga berkembangnya budaya kemerdekaan dan rasionalitas masyarakatnya.

Inggris dalam tulisan Tan menjadi contoh signifikan, di mana parlemen di Inggris secara perlahan-lahan mengambil alih kekuasaan dari raja melalui perselisihan yang panjang. Tan Malaka menjelaskan bahwa kemenangan parlemen di Inggris terjadi, bahkan lama sebelum berlangsungnya Revolusi Prancis, sehingga menjadikan Inggris sebagai pelopor demokrasi modern.

"Sungguhpun tanah Prancis boleh dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman sekarang, sungguhpun di sana rakyat mengalahkan raja, bangsawan, dan pendetanya dengan ribut dan topan yang hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen atas raja sudah satu abad dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris."

C. Perkembangan Parlemen Inggris: Studi Kasus Konflik dengan Raja

1. Awal Perjalanan Parlemen

Awal mula parlemen di Inggris dapat ditelusuri kembali ke tahun 1215, ketika raja dipaksa mengakui Magna Carta. Dokumen ini menjadi fondasi bagi pengakuan hak individu, keadilan hukum, dan pembatasan kekuasaan raja. Namun, implementasi Magna Carta sering kali dilanggar, yang mendorong lahirnya parlemen sebagai institusi pengawasan terhadap raja.

"Di sana ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang dan hak pada harta bendanya. Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada dengan alasan undang-undang negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh dijual atau dibeli. Wujudnya tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan, atau kemiskinan orang, atau menerima uang suapan."

Parlemen kemudian berkembang menjadi dua majelis: House of Lords dan House of Commons. Kedua majelis ini kemudian memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kekuasaan, meskipun dominasi House of Commons dalam mewakili rakyat menjadi lebih menonjol dari waktu ke waktu.

"Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan disahkan raja. Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah. Segala pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada boleh dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen belum lebih dulu mengabulkan."

2. Abad ke-17: Puncak Konflik

Pada abad ke-17, konflik antara raja dan parlemen mencapai puncaknya selama pemerintahan Raja Charles I. Raja Charles I ini melanjutkan sikap otoriter ayahnya, Jacob I, yang mengklaim bahwa kekuasaan raja adalah berasal langsung dari Tuhan. Ketegangan memuncak ketika Charles I mencoba memerintah tanpa parlemen selama 11 tahun, hingga kebutuhan finansial memaksanya untuk memanggil kembali parlemen pada tahun 1640.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun