Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kontroversi Suksesi dalam Sejarah Islam: Perpecahan Sunni dan Syiah

6 Desember 2024   16:14 Diperbarui: 6 Desember 2024   16:14 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perpecahan dalam sejarah Islam terjadi pada masa awal penyebarannya setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Penyebab perpecahan adalah akibat munculnya perbedaan tentang siapa yang dianggap berhak memimpin komunitas Muslim pasca-Nabi ﷺ memimpin komunitas ini.

Kaum Sunni (Ahlussunnah wal Jamaah) memercayai bahwa kepemimpinan umat pasca-Nabi Muhammad ﷺ haruslah dipilih melalui konsensus umat atau melalui mekanisme syura (musyawarah). Tepat setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ, para sahabat Nabi dari kaum Anshar dan Muhajirin bersepakat untuk memilih sahabat dekat Nabi ﷺ, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sebagai khalifah pertama. 

Kaum Sunni kemudian mendasarkan pandangan kekhalifahan pasca-Nabi dengan landasan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah secara eksplisit menunjuk seorang penggantinya sebagai epmimpin, sehingga keputusan mengenai suksesi harus diserahkan kepada umat untuk memilih pemimpin yang paling cocok melalui mekanisme musyawarah di tengah umat. Sampai hari ini, kaum Sunni menggunakan mekanisme ini untuk memilih pemimpin di negara-negara mayoritas Sunni (kecuali yang bersifat kedinastian atau kerajaan).

Berbeda halnya dengan kaum Sunni, kaum Syiah memiliki pandangan yang meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam seharusnya berada di tangan keluarga (ahlul bait) Nabi Muhammad ﷺ, khususnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a., menantu sekaligus sepupu Nabi ﷺ. Kaum Syiah dalam hal ini merujuk keyakinannya kepada peristiwa Ghadir Khumm, di mana Nabi Muhammad ﷺ diyakini oleh kaum Syiah telah menunjuk Sayyidina Ali sebagai pemimpin umat dengan mengatakan bahwa, “Barang siapa yang menjadikanku sebagai tuannya, maka Ali adalah tuannya.” Oleh karena itu, kaum Syiah memandang penunjukan Sayyidina Ali ini sebagai mandat ilahi yang menegaskan bahwa Ali dan keturunannya adalah pemimpin sah yang harus diikuti setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ.

Saat sebagian besar kaum Muslim (dari kalangan kaum Anshar dan Muhajirin) berkumpul dan memilih Sayyidina Abu Bakar sebagai khalifah pertama. kaum Syiah menganggap pemilihan ini sebagai pengkhianatan terhadap penunjukan ilahi (perintah Nabi) yang telah ditujukan kepada Sayyidina Ali. Selain itu, Syiah mengklaim bahwa Sayyidina Ali sendiri tidak mau memberikan baiat kepada Sayyidina Abu Bakar, meski beberapa bulan kemudian Sayyidina Ali segera membaiat Sayyidina Abu Bakar, tepat setelah meninggalnya Sayyidah Fatimah r.a.

Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin memuncak setelah Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. akhirnya diangkat menjadi khalifah keempat. Saat ia memerintah, kepemimpinannya ditantang oleh Sayyidina Muawiyah, Gubernur Suriah, yang menolak mengakui otoritas Kekhalifahan Ali.  Tepat setelah terbunuhnya Ali, Muawiyah segera mendirikan Dinasti Umayyah, yang menjadi awal dari dominasi politik kaum Sunni.

Perpecahan dalam Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah, menghasilkan berbagai sub-grup yang terbagi menurut aliran teologis, politik, dan sosial. Dua aliran utama ini memiliki pandangan dan praktik keagamaan yang berbeda.

Kelompok mayoritas dalam Islam, kaum Sunni, meyakini bahwa suksesi kepemimpinan dan pemilihan khalifah setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ harus melalui musyawarah. Sunni sendiri terdiri dari empat mazhab (aliran hukum) utama dalam hal yurisprudensi (fiqh), yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Kelompok minoritas, kaum Syiah, meyakini bahwa kepemimpinan Islam seharusnya diberikan kepada keluarga Nabi ﷺ, khususnya Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Syiah juga terbagi menjadi beberapa sub-grup berdasarkan pandangan mereka tentang imam-imam yang sah, seperti Syiah Imamiyah (Imam 12 Belas), Syiah Ismailiyah, dan Syiah Zaidiyah, yang kesemua imamnya adalah ahlul bait (keluarga) Nabi Muhammad ﷺ melalui Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah r.a.

Selain golongann Sunni dan Syiah, terdapat pula beberapa sekte atau sub-grup kecil lainnya dalam Islam, seperti Khawarij yang muncul pada awal sejarah Islam sebagai kelompok oposisi terhadap khalifah keempat, Ali. Kelompok ini dikenal karena sikapnya yang radikal dan berbeda dari kedua kelompok besar (Sunni dan Syiah).

Perbedaan signifikan yang terjadi di antara keduanya terutama hanya karena penentuan Khalifah pengganti Nabi Muhammad ﷺ yang dapat disebut sebagai aspek teologis-politik dan perbedaan dalam aspek historis-politik dalam hal perebutan kekuasaan. Selain kedua aspek ini, perbedaan Sunni-Syiah juga dapat dilihat dari sudut pandang sosial dan budaya. Kedua kelompok ini kemudian mengembangkan tradisi keagamaan, ritual peribadahan, dan hukum keagamaan yang berbeda. Sebagai contoh, Syiah memiliki perayaan khusus seperti Asyura yang memperingati kematian Imam Husain di Karbala, sedangkan Sunni tidak merayakan peristiwa ini dengan cara yang sama, Sunni hanya mendoakan Sayyidina Imam Husain r.a.

Dalam konteks studi akademis oleh para sarjana Barat, terdapat anggapan bahwa perhatian dan minat terhadap Syiah sering kali lebih rendah dibandingkan Sunni. Dalam sejarah Islam, kaum Sunni memang menjadi kelompok mayoritas dan mendominasi wilayah politik dan budaya Islam selama berabad-abad, meski masih ada beberapa saat di mana Syiah memimpin (Khalifah Fatimiyah). Hal ini kemudian menciptakan bias dalam catatan sejarah dan penelitian akademik, di mana Sunni sering kali lebih banyak diulas dan dianalisis sebagai representasi Islam. Akibatnya, literatur dan studi tentang Syiah relatif lebih sedikit. Peneliti-peneliti yang ingin meneliti Syiah pun mungkin harus menghadapi kesulitan dalam mendapatkan akses terhadap sumber-sumber primer yang ditulis oleh ulama-ulama Syiah atau mengakses komunitas Syiah di berbagai wilayah, terutama di kawasan di mana Syiah merupakan minoritas. Sumber-sumber Syiah yang autentik sering kali sulit ditemukan di institusi akademik yang dikuasai oleh Sunni.

Ada persepsi di kalangan akademisi bahwa kajian tentang Syiah bisa menjadi objek penelitian yang sensitif secara politik, mengingat perbedaan doktrinal yang tajam antara Sunni dan Syiah serta sejarah panjang konflik dan ketegangan antara kedua kelompok ini. Hal ini dapat menyebabkan pengabaian terhadap penelitian yang mendalam mengenai tradisi Syiah.

Dalam dunia Islam modern, negara-negara dengan mayoritas Sunni sering kali memiliki pengaruh yang lebih besar di panggung internasional, yang menyebabkan studi akademis tentang Sunni lebih menonjol di universitas-universitas besar. Di sisi lain, negara-negara Syiah seperti Iran, meskipun berpengaruh secara politik, tidak memiliki pengaruh yang sama dalam konteks internasional bila dibandingkan dengan negara-negara Sunni, seperti Indonesia, Malaysia, atau Mesir. 

Dalam sejarah studi Islam saja, dapat dilihat bahwa memang perhatian lebih banyak diarahkan kepada Sunni. Syiah, pada umumnya, digambarkan melalui sudut pandang para penentangnya, sehingga menghasilkan citra negatif Syiah di kalangan Barat. Baru pada akhir abad ke-19, penelitian independen tentang Syiah mulai berkembang. Perkembangan ini terutama dipelopori oleh seorang orientalis Hungaria bernama Ignaz Goldziher. Goldziher adalah salah satu dari sedikit sarjana Barat pada waktu itu yang menganggap penting untuk mempelajari Syiah secara mendalam.

Sebelumnya, kajian tentang Islam, khususnya di kalangan para orientalis, lebih berfokus pada tradisi Sunni yang dianggap sebagai representasi utama dari Islam. Syiah tidak mendapatkan perhatian yang signifikan, dan pengetahuan tentangnya terbatas pada narasi dari sudut pandang Sunni yang mendominasi studi Islam di Barat.

Ada berbagai cara untuk menjelaskan perbedaan ini, mulai dari membandingkannya dengan konflik Katolik-Protestan dalam Kekristenan, hingga penjelasan etnis yang meragukan seperti Sunnisme Arab versus Syiah Persia. Meskipun beberapa interpretasi ini ada benarnya, mereka juga cenderung lebih salah daripada benar, seperti yang dinyatakan oleh Bernard Lewis.

Kontroversi antara Sunni dan Syiah berpusat pada bagaimana mereka menafsirkan peristiwa-peristiwa awal dalam sejarah Islam, khususnya terkait dengan suksesi kepemimpinan setelah wafatnya Nabi Muhammad ﷺ. Namun, sumber sejarah yang ada adalah laporan yang disusun secara ex post facto dan sering kali dipengaruhi oleh bias penulisnya.

Menurut pandangan Syiah, Nabi Muhammad ﷺ telah menunjuk Ali sebagai penggantinya, terutama melalui peristiwa Ghadir Khumm, di mana Nabi ﷺ mengatakan, “Barang siapa yang menjadikanku sebagai tuannya, maka Ali adalah tuannya.” Bagi Syiah, ini adalah penegasan Ilahi melalui Nabi Muhammad ﷺ bahwa Ali adalah Imam yang sah. Namun, menurut Sunni, ini tidak dimaksudkan sebagai penunjukan Ali sebagai pemimpin politik.

Setelah wafatnya Nabi ﷺ, Abu Bakar dipilih sebagai khalifah pertama, sebuah peristiwa yang dianggap oleh kaum Syiah sebagai pengabaian kehendak ilahi. Ali tidak memberikan baiat kepada Abu Bakar sampai beberapa bulan kemudian, setelah wafatnya Fatimah, istri Ali.

Ali tidak memegang peran politik atau militer selama masa kekhalifahan tiga khalifah pertama (Abu Bakar, Umar, dan Utsman). Dia kemudian menjadi khalifah setelah terbunuhnya Utsman, tetapi kekuasaannya segera ditantang oleh kelompok-kelompok yang menentangnya, termasuk Muawiyah, gubernur Suriah, yang akhirnya mendirikan Dinasti Umayyah setelah kematian Ali. Husain, putra kedua Ali, memimpin pemberontakan melawan Yazid, putra Muawiyah, tetapi pemberontakan ini berakhir tragis dengan tewasnya Husain di Pertempuran Karbala pada tahun 680. Peristiwa ini memiliki makna besar dalam identitas Syiah, memperkuat klaim mereka atas kepemimpinan umat Islam.

Sunni dan Syiah memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang peristiwa-peristiwa awal dalam sejarah Islam. Kaum Sunni cenderung mendukung status quo dan memandang pilihan Abu Bakar sebagai khalifah sebagai sesuatu yang sah dan tidak bertentangan dengan kehendak ilahi. Mereka juga menerima Ali sebagai salah satu dari empat “khalifah yang benar” (Rasyidun), meskipun tidak setuju dengan klaim Syiah atas penunjukannya sebagai Imam yang sah.

Kontroversi antara Sunni dan Syiah mengenai pengaruh Bani Umayyah adalah salah satu masalah utama yang masih membara hingga hari ini. Dinasti Umayyah, yang berkuasa setelah pemerintahan Khulafaur Rasyidin, sering dipandang negatif dalam historiografi tradisional Sunni karena nepotisme dan kebijakan politik pemerintahannya. Namun, rehabilitasi Umayyah sebagai bagian dari sejarah Islam terjadi hanya pada akhir abad ke-19, seiring dengan munculnya pemikiran sekuler dan nasionalisme pan-Arabisme.

Sebagian penulis Sunni di era modern mulai terpengaruh oleh pandangan sekuler dan nasionalis, mereka berusaha memperbaiki citra Kekhalifahan Umayyah. Sikap ini menyebabkan ketegangan yang lebih besar antara Sunni dan Syiah, karena pandangan yang berbeda ini memperdalam perpecahan yang sudah ada.

Maka dari itu, pengaruh dinasti Umayyah sangat besar dalam membentuk sejarah Islam. Setelah pembunuhan Khalifah ketiga, Utsman, kemudian Ali menjadi Khalifah keempat. Namun, pemerintahannya tidak diterima secara universal oleh komunitas Islam pada saat itu. 

Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam dan anggota dari dinasti Umayyah, menolak untuk mengakui Ali sebagai Khalifah dan memulai pertikaian yang dikenal sebagai Perang Shiffin dan Perang Jamal. Perang ini akhirnya berakhir dengan arbitrasi yang tidak memutuskan kemenangan yang jelas bagi siapa pun, tetapi Muawiyah tetap menjadi penguasa setelah kematian Ali dan mendirikan dinasti Umayyah.

Dinasti Umayyah dianggap oleh Syiah sebagai contoh kekuasaan yang menyeleweng dan menindas, terutama karena penunjukan Yazid sebagai pengganti Muawiyah, yang dianggap tidak sah dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan Syiah. Penghentian gerakan Syiah dan pembunuhan Imam Husain bin Ali di Karbala adalah contoh dari konflik dan ketidakadilan yang dirasakan oleh komunitas Syiah terhadap Dinasti Umayyah.

Pertempuran Karbala adalah peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi pada tanggal 10 Muharram 61 H (10 Oktober 680 M). Pertempuran ini berlangsung antara pasukan Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad ﷺ, dan pasukan Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah pada saat itu.

Sayyidina Imam Husain, yang merupakan anak dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah , menolak untuk mengakui kepemimpinan Yazid, karena menganggap dan menilai bahwa penunjukan Yazid sebagai pengganti Muawiyah oleh Muawiyah sendiri adalah tidak sah dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang adil dalam ajaran Islam dan Rasulullah . Husain berpendapat bahwa kepemimpinan seharusnya diberikan kepada keturunan Nabi Muhammad ﷺ yang memenuhi syarat spiritual dan moral, yaitu melalui garis keturunan Ali dan Fatimah.

Pertempuran ini berakhir tragis dengan kemenangan pasukan Yazid. Husain dan sebagian besar pengikutnya tewas, dan peristiwa ini dikenang dalam tradisi Syiah sebagai simbol perjuangan melawan tirani dan ketidakadilan. Husain dianggap sebagai martir (syuhada) yang berdiri untuk prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Pertempuran Karbala kemudian memiliki dampak yang mendalam pada identitas dan ritual Syiah, terutama dalam peringatan Asyura, yang merupakan hari kesedihan dan refleksi.

Perbedaan utama lainnya antara Sunni dan Syiah adalah doktrin Imamah. Syiah meyakini bahwa dalam komunitas keagamaan Islam Syiah, haruslah selalu ada Imam yang memimpin umat, yang tidak hanya pemimpin politik tetapi juga spiritual. Kaum Imamiyah, Syiah terbesar, mengambil nama dari Imam keenam, Ja’far Ash-Shaddiq, yang hidup pada abad ke-8. Perbedaan hukum Islam lainnya antara Sunni dan Syiah juga tampak pada praktik hukum mereka. Misalnya, dalam praktik hukum Syiah, terdapat beberapa aspek yang berbeda dibandingkan dengan mazhab Sunni, termasuk aturan-aturan tertentu mengenai ritual keagamaan dan hukum keluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun