Willem Oltmans, seorang jurnalis independen asal Belanda, mengunjungi Kalimantan sebagai bagian dari perjalanannya di Indonesia pada tahun 1957. Setelah menjelajahi wilayah tersebut, ia memutuskan untuk berbagi pengalamannya dengan diplomat Belanda di Jakarta. Namun, ketika Oltmans bertemu dengan Mr. Hagenaar, perwakilan diplomatik Belanda, dan Pekelharing, atase pers, ia disambut dengan sikap yang dingin.
Kedua orang tersebut tidak tertarik untuk mendengar pandangan Oltmans mengenai gestur rekonsiliasi Presiden Sukarno terhadap Belanda. Sebaliknya, Hagenaar menyindir bahwa Oltmans harus berdamai dengan dirinya sendiri atas apa yang telah dilakukannya di Kalimantan. Meskipun Oltmans berusaha menjelaskan bahwa Presiden Sukarno ingin menjalin hubungan yang lebih baik dengan Belanda, para diplomat tersebut menolaknya dengan sikap yang skeptis.
Pengalaman Oltmans di Kalimantan menunjukkan upayanya untuk memahami dinamika politik Indonesia dan mengupayakan jalan damai antara kedua negara. Dia menyadari bahwa ketegangan yang sedang berlangsung saat itu bisa diredakan jika Belanda mau menerima dan memahami sinyal dari Presiden Sukarno, yang berupaya untuk memperbaiki hubungan. Namun, Oltmans merasa frustrasi yang disebabkan pihak Belanda, khususnya para diplomatnya, menolak setiap sinyal rekonsiliasi dan tetap terjebak dalam pandangan politik mereka yang sempit.
Diplomat-diplomat Belanda, seperti Hagenaar dan Pekelharing, digambarkan oleh Oltmans sebagai sosok yang keras kepala dan enggan melakukan perubahan dalam pendekatan mereka terhadap Indonesia. Meskipun Indonesia sudah merdeka dan Presiden Sukarno berusaha menjalin hubungan yang lebih baik dengan mantan penjajahnya, politik luar negeri Belanda tetap bersikap defensif.
Mereka tidak percaya bahwa Presiden Sukarno benar-benar tulus dalam mendekati Belanda, bahkan cenderung sinis terhadap setiap usaha yang dilakukan olehnya untuk meredakan ketegangan. Ketidakmauan mereka untuk membuka dialog yang lebih jujur dan terbuka, menjadi penghalang utama dalam perbaikan hubungan kedua negara.
Kegagalan diplomasi Belanda terletak pada ketidakmampuannya untuk keluar dari bayang-bayang masa lalu kolonial. Meskipun Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya lebih dari 10 tahun dan berusaha untuk berdiri sendiri, diplomat Belanda tetap berpegang pada kebijakan lama yang mengabaikan realitas baru di Indonesia.
Sikap tersebut ditambah dengan sikap keras kepala Belanda dalam mempertahankan wilayah Irian Barat, yang menjadi sumber ketegangan diplomatik selama bertahun-tahun. Oltmans melihat bahwa kebijakan ini tidak hanya gagal meredakan ketegangan, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan pengaruh komunis di Indonesia.
Dalam pandangan Oltmans, sikap yang ditunjukkan oleh diplomat Belanda di Indonesia seperti demikian itu mencerminkan bentuk neo-kolonialisme terhadap Indonesia. Meskipun Belanda secara resmi telah melepaskan kendali kolonialnya atas Indonesia, mereka masih memegang mentalitas kolonial, di mana mereka tetap enggan mengakui kedaulatan Indonesia sepenuhnya, dan terus berusaha mempertahankan pengaruh mereka di wilayah-wilayah strategis, seperti Irian Barat. Neo-kolonialisme ini tercermin dalam upaya Belanda untuk memaksakan kehendaknya melalui kebijakan luar negeri yang tidak mengakui perubahan politik dan sosial yang telah terjadi di Indonesia.
Oltmans berpendapat bahwa kegagalan Belanda untuk menerima realitas baru ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan ketegangan terus berlanjut. Kebijakan keras kepala Belanda dalam mempertahankan klaim atas Irian Barat, misalnya, menjadi simbol dari ketidakmampuan mereka untuk melepaskan masa lalu kolonialnya. Oltmans juga mencatat bahwa sikap neo-kolonial dari Belanda ini turut mendorong pertumbuhan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Salah satu poin penting yang muncul dari tulisan Willem Oltmans adalah pertumbuhan cepat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ketakutan internasional yang menyertainya. Pada tahun 1950-an, PKI berkembang pesat dan menjadi kekuatan politik yang signifikan di Indonesia, sehingga memicu kekhawatiran di kalangan internasional, terutama di kalangan negara-negara Barat yang khawatir akan penyebaran komunisme.
Oltmans mencatat bahwa orang-orang, seperti Guy Pauker, seorang akademisi dan analis politik Amerika, melihat komunisme yang berkembang di Indonesia sebagai sebuah ancaman. Pauker menganggap bahwa Presiden Sukarno terlalu percaya diri dan bermain dengan "bom waktu," karena ia tidak mengambil langkah-langkah yang cukup keras untuk mengekang PKI.
Ketakutan bahwa Indonesia akan jatuh ke dalam lingkaran pengaruh komunis semakin diperparah oleh fakta bahwa Moskow dan PKI mulai mendapatkan tempat di dalam politik luar negeri Indonesia. Para pengamat Barat, seperti Pauker, khawatir jika komunis mendapatkan pijakan yang lebih kuat, maka akan sangat sulit untuk mengusir mereka dari tanah bekas jajahannya.
Presiden Sukarno, dengan kebijakan perimbangan politiknya, mencoba menyatukan berbagai elemen di Indonesia, termasuk PKI, untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri Indonesia. Namun, bagi banyak negara-negara di Barat, sikap Presiden Sukarno ini dipandang sebagai sinyal bahwa Indonesia akan berubah menjadi negara komunis.
Oltmans sendiri memiliki pandangan yang lebih berresonansi dengan situasi yang jauh lebih nyata. Ia mengakui keberadaan PKI dan pengaruhnya yang berkembang, tetapi tidak sepenuhnya sepakat dengan narasi bahwa komunisme akan sepenuhnya menguasai Indonesia. Presiden Sukarno, menurut Oltmans, memahami ancaman ini dan berusaha menyeimbangkan kekuatan-kekuatan politik yang ada, tanpa menimbulkan benturan besar yang bisa menggoyahkan stabilitas negara.
Willem Oltmans memberikan penghormatan besar kepada Presiden Sukarno sebagai seorang pemimpin yang memiliki visi yang luas dalam mempersatukan Indonesia, negara yang terdiri dari ribuan pulau dengan keragaman etnis, agama, dan budaya. Dalam pandangan Oltmans, Sukarno bukan hanya seorang pemimpin politik, melainkan juga seorang nation builder yang berusaha untuk mengintegrasikan berbagai kekuatan yang ada di dalam negeri. Presiden Sukarno mengidentifikasikan dirinya sebagai pemersatu bangsa, dan setiap kebijakannya diarahkan untuk menjaga harmoni di tengah keberagaman yang ada di Indonesia.
Dalam konteks internasional pun demikian, Presiden Sukarno adalah seorang pemimpin yang karismatik, yang tidak hanya fokus pada masalah internal tetapi juga memiliki visi yang mengglobal. Presiden Sukarno memanfaatkan diplomasi internasional untuk memperkuat posisinya di panggung dunia, dan ia dengan cerdik memanfaatkan peranan Indonesia dalam gerakan non-blok untuk menarik perhatian internasional terhadap perjuangan nasionalnya. Oltmans mencatat bahwa Presiden Sukarno selalu menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan negara-negara besar, termasuk Belanda, meskipun Presiden Sukarno sering berbicara keras menentang kolonialisme dan imperialisme.
Selain itu, Presiden Sukarno juga digambarkan sebagai seorang pemimpin yang peka terhadap dinamika politik global, termasuk ancaman komunisme yang mulai merambah di Indonesia. Namun demikian, Presiden Sukarno tidak melihat komunisme sebagai ancaman langsung, tetapi sebagai salah satu kekuatan yang harus diakomodasi dalam proses menyelesaikan revolusi nasional. Dalam pandangan Oltmans, Presiden Sukarno memiliki kendali yang kuat atas situasi politik di dalam negeri dan berusaha mengarahkan revolusi Indonesia agar tetap sesuai dengan visi nasionalisnya, bukan visi ideologis asing.
Dalam kesetiaannya terhadap sahabatnya, Oltmans pun menerima penghargaan pribadi dari Presiden Sukarno yang mencerminkan hubungan yang hangat antara mereka. Ketika berada di atas kapal "Djadajat" dalam perjalanannya bersama presiden, Oltmans sering kali diajak oleh Presiden Sukarno ke depan podium dan diperkenalkan kepada publik sebagai seorang "wartawan yang baik"Â dari Belanda. Presiden Sukarno bahkan menulis tanda tangan pribadi di sebuah potret untuk Oltmans, yang kemudian menjadi kenangan berharga baginya. Bagi Oltmans, momen-momen ini menunjukkan pengakuan dan penghargaan langsung dari seorang tokoh penting dunia kepada dirinya.
Namun, di sisi lain, Oltmans merasa sangat kecewa terhadap pemerintah Belanda, khususnya diplomat-diplomat, seperti Hagenaar dan Pekelharing. Mereka tidak hanya menolak untuk mendengarkan apa yang Oltmans sampaikan tentang gestur-gestur perdamaian Sukarno, tetapi juga memandang remeh semua usahanya.
Oltmans melihat bahwa pemerintah Belanda bersikap defensif dan tertutup terhadap setiap upaya rekonsiliasi. Mereka lebih tertarik untuk mempertahankan kebijakan luar negeri mereka yang "keras kepala", terutama dalam isu Irian Barat, daripada membuka diri untuk berdialog.
Kekecewaan Oltmans terhadap Belanda juga mencakup sikap diplomasi yang enggan untuk mengakui perubahan yang terjadi di Indonesia. Meskipun Sukarno berusaha mencari jalan tengah untuk menghindari konflik yang lebih besar, pemerintah Belanda terus mempertahankan kebijakan mereka yang kaku dan tidak mau mengalah. Sikap politik Belanda ini menyebabkan Oltmans merasa bahwa Belanda telah gagal memahami situasi di lapangan dan terus terjebak dalam pemikiran kolonial.
Sebagai seorang pengamat politik luar negeri yang independen, Willem Oltmans memiliki pandangan yang unik di tengah-tengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Oltmans melihat dirinya sebagai seorang jurnalis yang mencoba memahami kedua belah pihak dan mencari solusi yang adil dan damai untuk mengatasi ketegangan yang ada. Namun, ia merasa frustrasi dengan sikap keras kepala dari pemerintah Belanda, yang tampaknya tidak mau melihat realitas baru di Indonesia.
Oltmans memahami bahwa Presiden Sukarno saat itu adalah sedang berusaha untuk mempersatukan Indonesia di bawah bendera nasionalisme dan bahwa PKI adalah salah satu elemen yang harus dihadapi dalam konteks itu. Meskipun ada ketakutan di kalangan internasional tentang pertumbuhan komunisme, Oltmans percaya bahwa Presiden Sukarno masih memegang kendali atas situasi dan berusaha untuk menjaga keseimbangan antara berbagai kekuatan politik di negara tersebut.
Sebagai kesimpulan, Oltmans merasa bahwa dalam konteks diplomasi luar negeri, Belanda gagal memahami dinamika politik di Indonesia dan terus bersikap seperti kekuatan kolonial. Ia kecewa dengan kegagalan Belanda dalam melakukan diplomasi yang lebih terbuka dan fleksibel, terutama dalam isu Irian Barat. Namun, Oltmans juga memberikan penghargaan besar kepada Presiden Sukarno sebagai pemimpin yang berusaha keras untuk menjaga stabilitas di dalam negeri dan memainkan peran penting di kancah internasional.
Dalam statusnya sebagai seorang jurnalis, Oltmans tidak hanya menyaksikan konflik antara dua negara, tetapi juga mengalami secara langsung ketegangan yang terjadi di dalam masyarakat internasional mengenai masa depan Indonesia. Melalui tulisannya, ia menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih fleksibel dan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika politik di Indonesia dapat membantu mengurangi ketegangan dan mencegah konflik yang lebih besar di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H