Willem Oltmans, seorang jurnalis Belanda yang dikenal dekat dengan Presiden Sukarno, di dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Sahabatku menguraikan kunjungan resmi Marsekal Kliment Voroshilov, kepala negara Uni Soviet, ke Indonesia pada tahun 1957. Kunjungan tersebut terjadi di tengah-tengah kampanye anti-Sukarno yang semakin kuat di wilayah Barat, khususnya mengenai kritik-kritik terkait konsep "demokrasi terpimpin" yang menjadi tuduhan oleh banyak pihak di Amerika Serikat sebagai langkah bangsa Indonesia menuju komunisme.
Tuduhan-tuduhan Washington D. C. tersebut kemudian diperparah dengan kedatangan Voroshilov, yang dianggap sebagai tanda bahwa Presiden Sukarno memang sedang bergerak untuk beraliansi dengan blok komunis internasional. Dalam tanggapannya, Oltmans menegaskan bahwa hanya pihak-pihak yang sebenarnya tidak memahami situasi Indonesia secara mendalam, seperti beberapa pejabat CIA yang menyederhanakan pemimpin negara mayoritas Muslim terbesar di dunia akan berpaling ke arah ideologi marxisme-leninisme.
Dalam tulisannya, Oltmans secara rinci menceritakan sebuah insiden yang terjadi pada tanggal 16 Mei 1957 di Surabaya, di mana Voroshilov berusaha berpidato di hadapan setengah juta orang Indonesia dengan bantuan penerjemah Rusia. Akan tetapi, masyarakat yang hadir tampaknya tidak terlalu tertarik pada pesan yang disampaikan Voroshilov dan justru datang untuk melihat Presiden Sukarno.
Ketidakmampuan penerjemah asal Indonesia dalam menyampaikan pesan Voroshilov secara efektif telah menyebabkan kerumunan massa menjadi tidak sabaran dan mulai ricuh. Pada saat yang genting tersebut, Presiden Sukarno mengambil alih situasi yang runyam dalam pertemuan ini hanya dengan mengucapkan kata ,"diam," tiga kali melalui mikrofon. Suara Presiden Sukarno ini seolah memiliki efek magis, di mana efeknya langsung membuat ribuan orang mematuhi perintahnya dan memulihkan ketertiban di kerumunan massa. Oltmans menggambarkan betapa kagumnya seorang pemimpin Uni Soviet, Voroshilov, saat menyaksikan langsung kejadian itu. Voroshilov sungguh terkejut ketika ia menyadari betapa besarnya pengaruh Sukarno di tengah-tengah rakyatnya.
Oltmans kemudian membahas bagaimana kunjungan Voroshilov ke Indonesia ini digunakan oleh media Barat dan pejabat intelijen, seperti Arnold Brackman, untuk menggambarkan Presiden Sukarno sebagai sosok yang condong ke komunisme. Brackman, yang menerbitkan karya tentang komunisme di Asia Tenggara, menuduh bahwa kedekatan Presiden Sukarno dengan Voroshilov memperkuat dukungan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tuduhan tersebut, menurut Oltmans, didasarkan pada informasi yang salah dan dimotivasi oleh propaganda CIA, yang kemudian diketahui telah mendanai beberapa publikasi Brackman. Dengan cara ini, pemerintah Amerika Serikat semakin meyakini bahwa Presiden Sukarno sedang menuju aliansi dengan komunisme internasional, sebuah persepsi yang sesungguhnya jauh dari kenyataan.
Sebagai jurnalis yang memiliki akses istimewa kepada Presiden Sukarno, Oltmans juga menjelaskan interaksinya dengan presiden terkait isu Irian Barat (Papua). Ia mengungkapkan bahwa pada saat ia beraudiensi pribadinya dengan Presiden Sukarno pada tanggal 24 Mei 1957, mereka membahas bagaimana konflik Irian Barat berdampak pada hubungan kenegaraan Indonesia-Belanda.
Presiden Sukarno menjelaskan bahwa tanpa adanya upaya penyelesaian masalah ini, hubungan diplomatik dengan Belanda tidak akan dapat dipulihkan. Kemudian, Presiden Sukarno juga mengapresiasi dukungan Oltmans terhadap klaim Indonesia atas Irian Barat, bahkan menyebutnya secara publik dalam pidatonya di Serang. Meskipun merasa tersanjung, Oltmans juga merasakan "ketidaknyamanan" karena menerima pujian publik dari rakyat Indonesia atas pandangan politik pribadinya.
Bagian paling mencengangkan dari tulisan Oltmans adalah pengungkapannya tentang infiltrasi CIA di sekitar lingkaran inti Presiden Sukarno. Oltmans menceritakan bagaimana ia tanpa sadar telah dimanipulasi oleh seorang profesor Amerika, Guy Pauker, yang ternyata bekerja untuk Rand Corporation, sebuah institusi think tank yang berafiliasi dengan CIA.
Pauker, yang bergabung dalam perjalanan Presiden Sukarno ke kota Bodjonegoro, kemudian terlibat dalam upaya konspirasi untuk menggulingkan Presiden Sukarno bersama dengan kelompok militer pro-Amerika di Indonesia. Pada saat itu, Oltmans tidak menyadari bahwa CIA sudah aktif merencanakan tindakan-tindakan untuk melemahkan pengaruh Presiden Sukarno dari dalam lingkaran terdekatnya, meskipun Presiden Sukarno tampaknya menyadari ancaman tersebut dan menjaga Pauker pada jarak yang aman.