A. Fragmentasi dan Pengaruh Asing dalam Era Salahuddin Al-Ayyubi
1. Fragmentasi Politik di Dunia Islam
Setelah masa keemasan Khulafaur Rasyidin dan awal kejayaan Khilafah Abbasiyah, dunia Islam mulai memasuki fase disintegrasi dalam aspek politik. Pada abad ke-10 M, Khilafah Abbasiyah mulai melemah akibat munculnya dinasti-dinasti lokal yang menuntut otonomi, seperti Dinasti Fatimiyah di Mesir dan Dinasti Buwaihi di wilayah Persia. Konflik internal ini tidak hanya menimbulkan instabilitas politik tetapi juga memperdalam perpecahan sektarian antara Sunni dan Syiah.
a) Dinasti Fatimiyah
Fatimiyah, sebuah khilafah Ismailiyah Syiah yang berdiri di Afrika Utara, kemudian memperluas kekuasaannya ke Mesir dan mendirikan Kairo sebagai pusat pemerintahannya. Fatimiyah menjadi ancaman serius bagi dominasi Sunni Abbasiyah dan menciptakan ketegangan sektarian yang merusak solidaritas umat Islam pada masa itu.
b) Dinasti Buwaihi
Buwaihi, dinasti Syiah Dua Belas Imam yang muncul dari wilayah Daylam, berhasil mengambil alih Baghdad pada 945 M. Mereka menjadikan khalifah Abbasiyah sebagai simbol tanpa kekuasaan nyata, di mana dinasti ini mengurangi legitimasi politik Abbasiyah di mata dunia Islam.
Fragmentasi politik ini menciptakan ruang bagi munculnya dinasti-dinasti Sunni lainnya, seperti Seljuk untuk memulihkan kekuasaan Sunni dan berupaya menyatukan umat Islam. Namun, Seljuk pun tidak kebal terhadap perpecahan internal, ditambah dengan wilayah kekuasaan yang terpecah di antara pemimpin-pemimpin lokal. Rivalitas di antara para pemimpin ini semakin memperlemah kemampuan dunia Islam untuk menghadapi ancaman eksternal.
2. Pengaruh Asing dan Ekspansi Perang Salib
Disintegrasi politik dunia Islam yang sebelumnya dijelaskan dimanfaatkan oleh pasukan Salib dari Eropa untuk merebut wilayah strategis di Timur Tengah. Perang Salib pun dimulai pada akhir abad ke-11 dengan tujuan utama merebut wilayah Yerusalem dan tanah suci umat Islam lainnya.
a) Kemenangan Awal Pasukan Salib
Pada tahun 1099 M, dalam Perang Salib Pertama, pasukan Kristen berhasil merebut Yerusalem, di mana Kristen membantai penduduk Muslim dan Yahudi di kota tersebut. Selama beberapa dekade berikutnya, pasukan Salib mendirikan negara-negara Latin di wilayah Syam, seperti Kerajaan Yerusalem, yang menjadi ancaman langsung bagi dunia Islam.
b) Eksploitasi Perpecahan Muslim
Pasukan Salib mampu bertahan dan memperluas pengaruhnya karena memanfaatkan fragmentasi politik dunia Islam yang terjadi pada masa itu. Banyak penguasa Muslim yang lebih fokus pada kepentingan lokal mereka daripada menyatukan kekuatan untuk melawan musuh bersama. Dalam banyak kasus, penguasa Muslim bahkan menjalin aliansi sementara dengan pasukan Salib untuk mengalahkan rival Muslim mereka.
3. Usaha Pemulihan oleh Dinasti Seljuk
Dinasti Seljuk, yang muncul pada abad ke-11, berupaya memulihkan kekuatan Sunni dan menyatukan dunia Islam. Pada tahun 1055 M, Seljuk mengambil alih Baghdad dan menjadi pelindung atas Khilafah Abbasiyah. Namun, meskipun mereka berhasil menciptakan stabilitas sementara, Seljuk juga menghadapi tantangan berupa perpecahan internal di antara para penguasa lokalnya.
Kondisi ini membuat dunia Islam tetap rentan terhadap ancaman eksternal, termasuk serangan pasukan Salib. Salahuddin Al-Ayyubi muncul di tengah konteks ini, dengan visi untuk memulihkan persatuan umat Islam dan membebaskan tanah suci dari cengkeraman pasukan Salib.
B. Strategi Salahuddin dalam Mengatasi Fragmentasi dan Pengaruh Asing
Salahuddin memahami bahwa kunci untuk menghadapi ancaman eksternal bagi umat Muslim satu-satunya adalah dengan mengatasi perpecahan internal umat Islam. Ia menerapkan strategi yang mencakup aspek politik, militer, dan keagamaan untuk mengatasi tantangan ini.
1. Penyatuan Mesir dan Suriah
Sebagai langkah awal, Salahuddin menyatukan Mesir dan Suriah di bawah kekuasaan tunggal Sunni. Ia menggulingkan Dinasti Fatimiyah di Mesir, menghapuskan pemerintahan Syiah Ismailiyah, dan mengembalikan Mesir ke dalam kendali Sunni. Langkah ini tidak hanya menghilangkan salah satu pusat kekuatan rival Sunni, tetapi juga memberikan basis kekuatan yang kuat bagi perjuangannya melawan pasukan Salib.
2. Konsolidasi Kekuasaan dan Aliansi Politik
Setelah menguasai Mesir, Salahuddin memulai proses konsolidasi kekuasaan di seluruh wilayah Syam. Ia membentuk aliansi dengan berbagai penguasa lokal dan menggunakan pendekatan diplomatik untuk memenangkan dukungan mereka. Salahuddin juga memperkuat legitimasi pemerintahannya dengan menunjukkan komitmen kepada syariat Islam dan keadilan.
3. Mobilisasi Militer dengan Motivasi Religius
Salahuddin memobilisasi kekuatan militer yang besar dengan motivasi jihad untuk membebaskan Yerusalem. Ia menyadari bahwa kemenangan tidak dapat dicapai hanya dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan semangat jihad yang religius di antara pasukannya. Pasukannya dipersiapkan dengan baik secara fisik dan spiritual, sehingga menjadikannya pasukan yang tangguh dan termotivasi. Cara seperti ini juga pernah dilakukan oleh K. H. Hasyim Asy'ari yang akhirnya menghasilkan kemenangan bagi Indonesia.
C. Pelajaran dari Masa Salahuddin untuk Mengatasi Tantangan Fragmentasi Modern
1. Mengatasi Perpecahan dengan Memprioritaskan Persatuan
Seperti Salahuddin, umat Islam masa kini harus memprioritaskan persatuan di atas kepentingan sektarian dan regional. Perbedaan mazhab dan ideologi politik tidak boleh menjadi penghalang bagi solidaritas umat dalam menghadapi tantangan global.
2. Menggalang Aliansi Strategis
Dalam menghadapi pengaruh asing dan ancaman eksternal, umat Islam perlu belajar dari strategi Salahuddin yang mengutamakan diplomasi dan aliansi. Persatuan di antara negara-negara Muslim dapat menjadi kekuatan yang signifikan dalam melawan hegemoni global. Oleh karena itu, penulis berharap Presiden Prabowo Subianto dapat membentuk aliansi strategis yang taktis dan jitu.
3. Membentuk Kepemimpinan yang Visioner
Salah satu faktor kunci keberhasilan Salahuddin adalah visinya yang jelas dan komitmennya kepada nilai-nilai Islam. Dunia Muslim masa kini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang mampu mengedepankan kepentingan umat dan bertindak dengan integritas.
4. Memanfaatkan Pendidikan dan Teknologi
Seperti Dinasti Abbasiyah yang pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia, umat Islam perlu kembali menjadikan pendidikan dan inovasi sebagai prioritas utama. Hal ini dapat menjadi dasar bagi pembangunan kekuatan umat dalam menghadapi tantangan modern. Â
Dengan mengambil inspirasi dari strategi Salahuddin, umat Islam dapat memulihkan kekuatan kolektifnya dan kembali memainkan peran penting di panggung global. Fragmentasi yang ada harus diubah menjadi sinergi, dan pengaruh asing harus dilawan dengan kekuatan internal yang tangguh dan berdaulat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H