Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Di Persimpangan Dua Paradigma: Merangkai Keseimbangan antara Rule of Law dan Hukum Syariah (1)

17 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 21 November 2024   04:20 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rule of law (Sumber gambar: Van Norman Law)

Pengantar Awal tentang Rule of Law

Konsep rule of law atau negara hukum adalah negara yang menitikberatkan mekanisme hukum yang harus diterapkan secara adil dan setara kepada semua anggota masyarakat, termasuk mereka yang mengemban kekuasaan politik. Tujuan utama prinsip ini adalah untuk memastikan bahwa kekuasaan pemerintah harus dibatasi dan pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

Walaupun demokrasi dan negara hukum (rule of law) kerap kali disebutkan secara bersamaan, kedua konsep ini sebenarnya berbeda. Demokrasi bermakna bahwa warga negara harus berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui perwakilan), sedangkan rule of law berarti bahwa hukum harus memberikan batasan pada keputusan politik, dengan memastikan kebijakan yang diambil harus berdasarkan kerangka hukum yang ada untuk melindungi minoritas dari tirani mayoritas. Dalam pandangan ini, rule of law dan demokrasi adalah suatu hubungan timbal-balik satu sama lain atau saling-melengkapi, meskipun pasti akan terdapat ketegangan di antara keduanya. Ketegangan ini muncul karena, di satu sisi, demokrasi didasarkan pada prinsip mayoritas—di mana keputusan dibuat berdasarkan suara terbanyak—sedangkan rule of law bertujuan untuk membatasi kekuasaan mayoritas agar tidak menyalahgunakan kekuasaan atau menindas hak-hak kaum minoritas.

Demokrasi, dalam kaitannya dengan rule of law, memungkinkan mayoritas untuk membuat keputusan politik, tetapi rule of law mengharuskan keputusan tersebut dibuat dalam kerangka hukum yang adil, yang di dalamnya melindungi hak-hak semua warga negara, termasuk kelompok minoritas. Ketegangan akan muncul ketika mayoritas, dalam praktik demokrasi, ingin menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip rule of law atau melanggar hak-hak fundamental yang diakui oleh hukum.

Negara hukum (rule of law) sebenarnya dapat berfungsi tanpa adanya demokrasi, selama ia bersifat independen. Maksudnya, prinsip-prinsip negara hukum (rule of law) dapat diterapkan dan berfungsi dengan baik, bahkan di negara yang tidak memiliki sistem demokrasi, asalkan sistem tersebut mampu menjaga dan menerapkan hukum secara independen dan konsisten.

Dengan kata lain, rule of law tidak secara otomatis bergantung pada adanya praktik demokrasi. Sebuah negara hukum yang “independen” berarti bahwa hukum di negara yang bersangkutan ditegakkan secara konsisten dan tanpa adanya pengaruh yang sewenang-wenang dari kekuasaan politik atau individu, sehingga prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum dapat tetap terjaga.

Namun, untuk mencapai kondisi ini, sistem hukum harus memiliki mekanisme internal yang kuat untuk menjaga supaya hukum tetap berfungsi dan tidak tergantung pada keputusan politik yang berubah-ubah. Konsep ini bisa tergenapi dengan menyelenggarakan pemisahan kekuasaan yang jelas dan independensi lembaga peradilan. Dalam konteks ini, meskipun demokrasi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan tidak diberlakukan, negara hukum tetap dapat beroperasi dengan efektif jika hukum diterapkan secara objektif dan adil.

Immanuel Kant, dalam karyanya yang diterbitkan pada tahun 1797, mengajukan prinsip bahwa suatu hukum haruslah bersifat universalizable atau dapat diterapkan secara umum. Menurut Kant, hukum harus memenuhi tiga kriteria utama: 

(1) General, yaitu hukum harus bersifat umum, artinya tidak hanya berlaku untuk kasus-kasus tertentu, tetapi harus dapat diterapkan secara luas kepada semua orang dalam situasi yang sama; 

(2) Open, yaitu hukum harus terbuka dan tidak menetapkan perilaku secara spesifik. Prinsip ini berarti hukum harus memberikan pedoman umum tanpa mengatur setiap tindakan secara detail atau spesifik; dan

(3) Certain, yaitu hukum harus dapat diprediksi penerapannya. Artinya, hasil dari penerapan hukum harus dapat diperkirakan dengan jelas, sehingga individu dapat mengetahui apa yang diharapkan dan bagaimana hukum akan diterapkan dalam kasus mereka.

Pandangan Kant ini menekankan pentingnya sifat universalitas, terbuka, dan kepastian dari hukum untuk memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan konsisten. Kant percaya bahwa hukum yang memenuhi ketiga kriteria ini akan menciptakan sistem hukum yang adil dan tidak sewenang-wenang, di mana semua orang diperlakukan secara setara di depan hukum.

Selain Kant, Lon Fuller juga memberikan pandangannya tentang hukum. Fuller memberikan pandangan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh hukum agar dapat berfungsi dengan baik dan adil. Berikut adalah delapan kriteria yang diajukan oleh Fuller:

  • General: Hukum harus bersifat umum, tidak hanya berlaku untuk kasus tertentu tetapi harus dapat diterapkan secara luas.
  • Publicly promulgatedHukum harus diumumkan secara terbuka kepada publik, sehingga semua orang mengetahui dan dapat mengakses hukum yang berlaku.
  • Prospective: Hukum harus bersifat prospektif, artinya tidak berlaku surut (retroaktif). Hukum hanya berlaku untuk tindakan yang terjadi setelah hukum tersebut diberlakukan.
  • Clear: Hukum harus jelas dan tidak ambigu. Individu harus dapat memahami dengan mudah apa yang diperintahkan atau dilarang oleh hukum.
  • Consistent: Hukum harus konsisten, tanpa kontradiksi di dalamnya. Ini berarti hukum harus dapat diterapkan secara harmonis tanpa bertentangan satu sama lain.
  • Practicable: Hukum harus dapat diterapkan dan tidak menuntut hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh individu.
  • Sufficiently constant over time: Hukum harus cukup stabil dan tidak boleh sering-sering berubah. Stabilitas hukum penting agar orang dapat merencanakan tindakan mereka dengan kepastian.
  • Congruent with the actions of public officials: Hukum harus sesuai dengan tindakan pejabat publik. Artinya, pejabat publik harus mematuhi hukum dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Pandangan Lon Fuller ini fokus pada atribusi formal dari hukum yang memastikan bahwa hukum dapat diterapkan dengan cara yang adil, konsisten, dan dapat diandalkan. Meskipun kriteria Fuller lebih mengarah pada aspek formal dari hukum, pandangannya penting untuk menciptakan sistem hukum yang fungsional dan adil.

Terdapat pula perdebatan antara konsep negara hukum yang “tipis” dan “tebal”. Konsep negara hukum yang “tipis” mengacu pada pandangan yang hanya memperhatikan atribut formal dari hukum. Ini mencakup sifat-sifat hukum, seperti keumuman, kejelasan, dan konsistensi hukum sebagaimana yang dijelaskan oleh Lon Fuller. Konsep ini fokus pada bagaimana hukum diterapkan dan dipatuhi secara prosedural tanpa mempertimbangkan substansi atau isi dari hukum tersebut. Misalnya, meskipun sebuah hukum diterapkan secara konsisten dan terbuka, jika hukum tersebut tidak melindungi hak-hak dasar atau prinsip keadilan yang lebih mendalam, ia masih bisa dianggap sebagai negara hukum yang “tipis”.

Sebaliknya, konsep negara hukum yang “tebal” menambahkan substansi atau isi tertentu ke dalam definisi negara hukum. Konsep ini tidak hanya memperhatikan atribusi formal dari hukum, tetapi juga menyertakan elemen-elemen substantif seperti perlindungan hak asasi manusia yang paling dasar. Negara hukum yang “tebal” mencakup prinsip-prinsip keadilan yang lebih mendalam dan memastikan bahwa hukum tidak hanya berlaku secara formal, tetapi juga adil secara substantif. Misalnya, larangan terhadap pembunuhan di luar hukum dan penyiksaan adalah contoh dari elemen substantif yang mungkin termasuk dalam konsep negara hukum yang “tebal”.

Fukuyama mendefinisikan negara hukum sebagai “penerimaan pemerintah terhadap kedaulatan badan hukum yang sudah ada yang mewakili konsensus sosial tentang aturan keadilan.” Dalam pandangan Fukuyama, fokus utama negara hukum adalah harus adanya checks and balances atau pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang, sedangkan mengenai substansi dari aturan hukum itu sendiri dianggap kurang penting oleh Fukuyama.

Menurut Fukuyama, jika terdapat konsensus sosial mengenai aturan keadilan, maka negara hukum dianggap telah berlaku, meskipun aturan tersebut mungkin tidak melindungi hak-hak minoritas atau bisa saja malah memperlakukan kelompok berbeda secara tidak adil. Ini menyebabkan pandangan Fukuyama dianggap sebagai negara hukum yang “terlalu tipis”, karena kurangnya penekanan pada perlindungan hak-hak substantif dan akan menyebabkan terjadinya tirani mayoritas.

Selain itu, terdapat konsep-konsep yang terkait erat dengan rule of law, yaitu individualisme, konsep kedaulatan, dan negara-bangsa. Pada bagian selanjutnya, tulisan ini akan membahas kompatibilitas Islam dengan prinsip rule of law sesuai definisi tersebut, serta mengelaborasi lebih lanjut ketiga konsep yang disebutkan.

Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun