Sagoff menekankan bahwa banyak nilai-nilai alam, seperti keindahan alam liar atau keanekaragaman hayati, tidak bisa dinilai hanya dengan uang. Sama halnya seperti tidak ada jumlah uang yang bisa menggantikan kehidupan manusia yang hilang, demikian pula nilai alam tidak dapat sepenuhnya diukur dengan dolar atau statistik ekonomi lainnya. Misalnya, harga sebuah taman nasional atau hutan tidak dapat dipahami hanya dari biaya kunjungan atau nilai real estatnya.
Dalam hal ini, ekonomi tidak boleh dihilangkan dari diskusi etika lingkungan, tetapi pendekatan ekonomi yang reduktif---yang mengukur nilai alam hanya dalam istilah ekonomi---harus dikritisi. Ekonomi ekologi adalah bidang yang berkembang yang berusaha menemukan kesamaan antara ekonomi dan kebijakan lingkungan. Pendekatan ini menekankan bahwa ekonomi tidak boleh hanya berfokus pada pertumbuhan atau keuntungan, tetapi juga pada keberlanjutan dan etika lingkungan.
Konsumsi yang berlebihan oleh negara-negara kaya dan korporasi global sering kali menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di negara berkembang. Penggunaan pendekatan ekonomi untuk memaksimalkan keuntungan sering kali mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial, dan ini menjadi perhatian dalam konteks etika lingkungan.
Interdisciplinary Synergies (Sinergi Interdisipliner)
Pengembangan etika lingkungan tidak hanya bergantung pada filsafat semata, tetapi juga pada sinergi antara berbagai disiplin ilmu. Interaksi antara etika lingkungan dan disiplin lain menciptakan pemahaman yang lebih kaya dan solusi yang lebih komprehensif terhadap masalah lingkungan.
Masalah lingkungan sering kali sangat kompleks, melibatkan aspek biologis, sosial, politik, dan ekonomi. Hal ini menekankan bahwa pendekatan multidisiplin diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah ini secara efektif. Dalam hal ini, ilmu biologi, studi kebijakan, teori politik, sejarah budaya, teori poskolonial, geografi, ekologi manusia, dan banyak disiplin lainnya harus bersinergi untuk mengembangkan kebijakan lingkungan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Sebagai contoh, dengan mengutip beberapa karya yang menghubungkan etika lingkungan dengan biologi, seperti Norton, Hutchins, Stevens, dan Maple (1995), yang menunjukkan bagaimana pemahaman tentang keanekaragaman hayati dan ekosistem dapat memperkaya teori etika lingkungan. Karya lain, seperti Karliner (1997), mengeksplorasi bagaimana globalisasi mempengaruhi hubungan antara lingkungan dan ekonomi. Schmidtz dan Willott (2002) melihat hubungan antara keberlanjutan dan keadilan, serta bagaimana distribusi sumber daya yang adil menjadi penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Salah satu pendekatan interdisipliner yang menarik adalah penyeimbangan antara perspektif antroposentris (berpusat pada manusia) dan ekosentris (berpusat pada alam). Banyak diskusi dalam etika lingkungan modern mengesampingkan komitmen untuk memihak sepenuhnya kepada manusia atau alam. Sebaliknya, pendekatan ini lebih menekankan pada keseimbangan antara kepentingan manusia dan lingkungan, dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial dan ekologi secara bersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H