Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dilema Ekonomi dan Etika Lingkungan: Apakah Lingkungan Hidup Harus Diutamakan dari Manusia?

5 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   23:17 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bumi dan lingkungan hidup (Sumber: University of York)

Salah satu perdebatan penting dalam etika lingkungan adalah konflik antara kebutuhan manusia dan perlindungan wilderness. Beberapa pendukung etika lingkungan yang lebih radikal, seperti Rolston, percaya bahwa manusia, terutama yang tinggal di negara berkembang dengan populasi besar, sering kali menjadi "penyebab kerusakan" lingkungan. Rolston menyebut beberapa manusia sebagai "kanker planet" karena dampak negatifnya terhadap alam. Namun, pandangan ini dianggap bermasalah oleh kritikus yang menyatakan bahwa penduduk miskin sering kali adalah pengelola lingkungan yang baik dan seharusnya tidak disalahkan atas kerusakan lingkungan.

Kritik terhadap pandangan elitis dalam etika lingkungan menyoroti pentingnya mendemokratisasikan akses ke wilderness. Pertanyaan seperti bagaimana kekuatan revitalisasi alam liar bisa diakses oleh orang-orang miskin yang tinggal di daerah kumuh di kota-kota besar seperti Kolkata atau So Paolo masih menjadi tantangan yang belum terjawab dengan baik.

Etika lingkungan juga terkait dengan isu-isu keadilan sosial dan ekonomi. Filosof, seperti Mark Sagoff, menolak pendekatan ekonomi yang mengukur nilai alam hanya dalam istilah moneter. Menurutnya, nilai alam tidak bisa direduksi menjadi angka-angka, seperti halnya nilai hidup manusia tidak bisa diukur hanya melalui premi asuransi. Pandangan ini menantang penggunaan analisis cost-benefit yang sering digunakan untuk menjustifikasi tindakan yang merusak lingkungan demi keuntungan ekonomi.

Lingkungan Buatan (The Built Environment)

"The Built Environment" (Lingkungan Buatan) dijelaskan sebagai aspek penting yang sering kali diabaikan dalam diskusi mengenai etika lingkungan, meskipun mayoritas manusia hidup di lingkungan ini. The Built Environment mengacu pada tempat-tempat yang diciptakan atau diubah oleh manusia, seperti perkotaan, rumah, bangunan, jalan, dan infrastruktur. Ini merupakan lingkungan tempat kebanyakan orang menjalani kehidupan sehari-hari.

Meskipun sebagian besar perhatian dalam etika lingkungan tradisional terfokus pada wilderness (alam liar), lingkungan buatan jarang mendapat perhatian yang sama. Hal ini menjadi sorotan, karena seiring dengan pertumbuhan populasi manusia dan urbanisasi, sebagian besar manusia hidup di lingkungan yang telah dibangun ini.

Dalam beberapa kasus, pembangunan lingkungan buatan pasca-perang di negara-negara, seperti Inggris, menciptakan kawasan perumahan yang murah dan tidak berkualitas, yang ternyata menjadi "pengganti" yang buruk bagi komunitas-komunitas tradisional sebelumnya. Kompleks perumahan baru ini sering kali dikaitkan dengan penurunan interaksi sosial dan peningkatan tingkat kejahatan dibandingkan dengan komunitas lama yang dihancurkan oleh pembangunan modern. Membandingkan penghancuran komunitas manusia tradisional dengan penghancuran ekosistem alami, seperti halnya alam liar yang rusak dan ekosistem yang terganggu, lingkungan buatan yang dibangun dengan buruk dapat merusak dinamika sosial dan kesejahteraan manusia yang menghuni wilayah tersebut.

Selain lingkungan fisik, kehilangan bahasa alami juga dikaitkan dengan kehilangan yang serupa dalam konteks sosial dan budaya. Sama seperti ekosistem yang terancam punah, bahasa yang beragam di dunia ini juga terancam hilang, yang kemudian merampas identitas kebudayaan manusia. Hilangnya bahasa ini diratapi oleh para ahli bahasa dan masyarakat yang menganggapnya sebagai bagian penting dari warisan budaya manusia, serupa dengan hilangnya spesies atau habitat.

Beberapa teori dalam etika lingkungan yang awalnya hanya berfokus pada alam dapat diperluas untuk mencakup lingkungan buatan dan objek buatan manusia. Sejumlah filsuf, seperti King (2000), Light (2001), Palmer (2003), dan Fox (2007), mulai membahas bagaimana prinsip-prinsip etika lingkungan dapat diterapkan pada dunia yang dibangun oleh manusia, termasuk gedung-gedung dan infrastruktur perkotaan.

Banyak masalah konseptual dalam restorasi lingkungan alam, seperti pemulihan ekosistem yang rusak, juga berlaku dalam konteks pemulihan objek buatan manusia, seperti bangunan dan karya seni. Etika yang berfokus pada bagaimana kita memperlakukan alam dapat diterapkan pula pada bagaimana kita memperlakukan lingkungan buatan dan benda-benda buatan manusia.

Sama seperti rusaknya ekosistem alam berdampak negatif pada kesejahteraan spesies di dalamnya, kerusakan atau desain yang buruk dari lingkungan buatan juga memiliki dampak yang sangat nyata pada kehidupan manusia. Lingkungan perkotaan yang tidak dirancang dengan baik dapat mengisolasi orang-orang, mengurangi kualitas hidup, dan menciptakan ketidaksetaraan sosial.

Kemiskinan, Populasi, Environmentalism atau Gerakan Lingkungan

Kemiskinan (Poverty) dan Manajemen Lingkungan

Kemiskinan sering kali dianggap sebagai salah satu penyebab utama krisis lingkungan. Beberapa filsuf lingkungan, seperti Rolston (1996), memandang bahwa manusia, khususnya di negara-negara berkembang dengan populasi yang besar, merupakan ancaman besar bagi kelestarian alam. Mereka menganggap bahwa populasi manusia yang tidak terkendali dapat merusak ekosistem dan memicu kerusakan lingkungan yang lebih besar. Namun, pandangan ini mendapatkan banyak kritik karena dianggap misanthropis, terutama karena diarahkan pada kelompok manusia yang paling lemah, yaitu orang-orang yang hidup dalam kemiskinan. Kritikus, seperti Attfield (1998) dan Brennan (1998), berpendapat bahwa pandangan semacam ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap orang miskin yang sering kali tidak memiliki sumber daya untuk membela diri mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun