Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dilema Ekonomi dan Etika Lingkungan: Apakah Lingkungan Hidup Harus Diutamakan dari Manusia?

5 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   23:17 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bumi dan lingkungan hidup (Sumber: University of York)

Menghadapi Tantangan Global dalam Memahami Peran Wilderness dan Built Environment

"Wilderness" dan "Environmental Ethics" memiliki peran penting dalam memahami etika lingkungan dan keterkaitannya dengan alam liar (wilderness) serta kehidupan manusia.

Alam Liar (Wilderness)

"Wilderness" merujuk pada wilayah alam yang masih liar dan belum tersentuh atau diubah secara signifikan oleh aktivitas manusia. Dalam konteks etika lingkungan, wilderness dianggap sebagai lingkungan alam yang murni dan memiliki nilai intrinsik. Filosof-filosof lingkungan menekankan pentingnya wilderness sebagai bagian integral dari kesejahteraan manusia dan lingkungan. 

Banyak filsuf lingkungan, seperti Nss dan Rolston, berpendapat bahwa pengalaman berinteraksi dengan wilderness memberikan manfaat psikologis yang signifikan bagi manusia. Menurut mereka, berinteraksi dengan alam liar dapat memperbarui jiwa manusia dan memberikan makna serta pemahaman yang lebih mendalam tentang kehidupan. Nss menekankan bahwa manusia perlu meluangkan waktu untuk "bertempat tinggal" di lingkungan yang memiliki nilai intrinsik, sedangkan Rolston menekankan perlunya manusia untuk mendapatkan "re-creation" atau penyegaran batin melalui meditasi di alam liar.

Seiring dengan semakin berkurangnya wilderness akibat pembangunan dan perusakan lingkungan, manusia kehilangan kesempatan untuk mengalami alam dalam kondisi aslinya. Ini menyebabkan berkurangnya kemampuan manusia untuk mendapatkan transformasi nilai dan perspektif melalui interaksi dengan alam liar. Seperti diungkapkan oleh beberapa penulis, berkurangnya wilderness ini dapat mengurangi kemungkinan manusia untuk mengalami perubahan nilai dan preferensi yang signifikan terkait alam.

Untuk mengatasi penurunan wilderness, sejak tahun 2000-an telah ada upaya untuk rewilding, yaitu proses mengembalikan kondisi alami pada lingkungan yang telah rusak, termasuk di kawasan perkotaan. Ini berbeda dari restorasi tradisional karena tidak selalu bertujuan untuk mengembalikan lingkungan ke keadaan asli atau ekosistem yang pernah ada sebelumnya. Misalnya, proyek rewilding dapat menciptakan ruang-ruang alami di tengah kota untuk memberikan pengalaman alam kepada orang-orang yang hidup jauh dari alam liar.

Rewilding berbeda dari bentuk restorasi tradisional yang berupaya mengembalikan lanskap atau ekosistem ke kondisi seperti sebelum dirusak. Dalam rewilding, tidak selalu ada fokus pada penciptaan ulang ekosistem yang identik dengan yang sebelumnya, tetapi lebih kepada menciptakan kondisi yang mendukung keanekaragaman hayati dan dinamika alam secara lebih bebas tanpa intervensi manusia yang berlebihan.

Salah satu bentuk spektakuler dari rewilding adalah upaya untuk menghidupkan kembali spesies yang telah punah. Walaupun ini kontroversial, de-extinction dilihat oleh sebagian sebagai perpanjangan dari praktik konservasi tradisional. De-extinction melibatkan penggunaan teknologi genetika canggih untuk "menghidupkan kembali" spesies yang telah lama punah. Misalnya, ilmuwan dapat mengambil DNA dari spesies yang telah punah, seperti mammoth berbulu, dan menggabungkannya dengan DNA gajah modern yang merupakan kerabat dekatnya, untuk mencoba menciptakan kembali spesies tersebut.

De-extinction menimbulkan banyak perdebatan, baik di kalangan ilmuwan maupun etika lingkungan. Ada kekhawatiran bahwa upaya ini mungkin mengalihkan perhatian dari konservasi spesies yang saat ini terancam punah atau rusaknya ekosistem yang ada saat ini. Selain itu, beberapa peneliti berpendapat bahwa meskipun teknologi de-extinction baru dan menarik, pada dasarnya tidak berbeda jauh dari pendekatan konservasi tradisional, seperti pembiakan spesies yang terancam punah di penangkaran.

Beberapa penulis, seperti Novak (2018), memperingatkan agar tidak terlalu memandang de-extinction sebagai sesuatu yang sepenuhnya berbeda dari praktik konservasi yang sudah ada. De-extinction dianggap oleh sebagian orang sebagai lanjutan dari pekerjaan restorasi yang sudah berlangsung lama, tetapi kini dengan menggunakan teknologi genetika.

Selain itu, Rolston bahkan menyatakan bahwa, dalam beberapa kasus, melindungi alam harus lebih diutamakan daripada memberikan makan kepada manusia, walaupun pandangan ini menuai kritik karena dianggap misantropis dan elitis. Wilderness dalam etika lingkungan dipandang bukan hanya sebagai sesuatu yang harus dilindungi demi keberlangsungan ekosistem, melainkan juga sebagai sarana untuk memperkaya jiwa dan nilai-nilai manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun