Signifikansi Perjanjian Umar dalam Konteks Sejarah
Pembebasan Yerusalem yang terjadi pada tahun 637 M di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab tidak hanya menjadi momen politik yang penting bagi umat Islam, tetapi juga momen yang monumental dalam sejarah toleransi beragama.Â
Perjanjian Umar, yang ditandatangani antara umat Islam dan komunitas Kristen Yerusalem, menjadi salah satu perjanjian paling progresif pada zamannya, bahkan tak terbandingi hingga sekarang.
Sebagai perbandingan, dalam penaklukan sebelumnya oleh Kekaisaran Persia yang menyembah "api" atas Bizantium pada tahun 614 M, penaklukan tersebut diikuti oleh pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Yerusalem. Demikian pula, ketika pasukan Salib merebut Yerusalem dari tangan Muslim pada tahun 1099 M, kota tersebut kembali menjadi saksi pembantaian besar yang mengorbankan banyak nyawa, yang dilakukan oleh pasukan Salib yang bengis.
Namun demikian, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar, tidak ada kekerasan atau pembantaian yang terjadi. Penduduk Yerusalem, terutama umat Kristiani, diberi kebebasan untuk menjalankan agama mereka sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan teladan Nabi Muhammad dalam Hadis Shahih (As-Sunnah).
Kebebasan Beragama yang Dijamin dalam Perjanjian Umar
Isi utama Perjanjian Umar mencakup jaminan kebebasan beragama bagi umat Kristen di Yerusalem. Sebagian besar isi dari perjanjian ini berisi jaminan keamanan kepada penduduk lokal bahwa tempat-tempat peribadatan mereka tidak akan dirusak atau dihancurkan, dan mereka bebas untuk menjalankan tradisi keagamaan mereka di Yerusalem. Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur'an, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 256, yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama.
Dengan berkembangnya waktu, muncul kontroversi mengenai satu klausul dalam perjanjian yang diduga melarang komunitas Yahudi untuk menetap di Yerusalem. Akan tetapi, keaslian klausul ini langsung diperdebatkan oleh para sejarawan, mengingat tindakan Khalifah Umar yang justru mendukung keberadaan Yahudi untuk menetap di Yerusalem.
Khalifah Umar terbukti telah mengizinkan umat Yahudi untuk beribadah di lokasi-lokasi suci mereka, seperti Temple Mount (Bukit Bait Suci) dan Tembok Ratapan (Wailing Wall), yang sebelumnya dilarang oleh Kekaisaran Bizantium.
Selain itu, dibuktikan pula dengan adanya salah satu pemandu asal Yerussalem, yang menjadi tour guide Khalifah Umar selama kunjungannya ke Yerusalem. Pemandu itu adalah seorang Yahudi yang bernama Ka'ab Al-Ahbar---sebelum akhrinya ia menerima hidayah Islam dan bersyahadat---yang menambah bukti bahwa kebijakan Khalifah Umar terhadap Yahudi bersifat toleran.
Dampak Perjanjian Umar terhadap Hubungan Muslim-Kristen
Perjanjian Umar menjadi preseden penting dalam dinamika hubungan di antara umat Islam dan komunitas Kristen di wilayah bekas Kekaisaran Bizantium. Ketentuan perjanjian tersebut menetapkan bahwa hak-hak komunitas yang ditaklukkan (dalam hal ini Kristen dan Yahudi), termasuk penganut agama minoritas di sana, harus dilindungi. Larangan pengonversian agama secara paksa menjadi prinsip utama yang menandai pemerintahan Islam pada periode ini.
Dalam konteks politik dan sosial, perjanjian ini kemudian berhasil menciptakan stabilitas dan keharmonisan di Yerusalem. Penduduk lokal, baik Kristen maupun Yahudi, yang sebelumnya mengalami tekanan di bawah pemerintahan Bizantium, bersuka-cita dengan kedatangan Islam, karena mereka menemukan bentuk pemerintahan baru yang jauh lebih adil. Hal ini memperkuat legitimasi pemerintahan Islam di wilayah tersebut dan mendorong integrasi sosial yang lebih efektif, harmonis, dan madani.
Perbandingan dengan Praktik Penaklukan Lain
Keunikan Perjanjian Umar semakin terlihat ketika dibandingkan dengan praktik penaklukan-penaklukan lain yang terjadi pada zaman itu. Penaklukan Yerusalem oleh Persia pada abad ke-7 dan oleh Pasukan Salib pada abad ke-11 menunjukkan pola yang sangat jauh berbeda, di mana dalam kedua penaklukan tersebut, kekerasan dan pembantaian massal terhadap penduduk lokal menjadi hal yang wajar dilakukan. Sebaliknya, Perjanjian Umar, telah nyata-nyata mencerminkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, meskipun terjadi dalam konteks militer dan politik sekalipun. Sungguh, Islam adalah rahmatan lil 'alamin.
Legasi Perjanjian Umar
Perjanjian Umar tidak hanya menjadi acuan untuk pengelolaan Yerusalem oleh pemerintahan Muslim, tetapi juga menjadi model yang diterapkan di wilayah lain dalam kekuasaan Islam. Prinsip-prinsip toleransi dan perlindungan minoritas yang diabadikan dalam perjanjian ini menjadi standar untuk membangun hubungan antara Muslim dengan komunitas non-Muslim di seluruh bekas wilayah Bizantium. Kebijakan ini telah memastikan bahwa wilayah yang ditaklukkan oleh Kekhalifahan Islam tetap damai, harmonis, dan stabil di bawah pemerintahan Islam.
Kesimpulan: Yerusalem sebagai Simbol Toleransi
Kota Yerusalem, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, menjadi contoh nyata bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk menciptakan kedamaian dan harmoni di tengah perbedaan agama dan budaya. Perjanjian Umar dalam konteks ini merupakan bukti sejarah yang tertulis dan autentik, bahwa Islam, sejak masa awalnya, adalah agama yang rahmatan lil 'alamin, dengan bukti Islam yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, toleransi, dan perlindungan terhadap hak-hak minoritas.
Warisan ini terus relevan hingga hari ini, mengingat Yerusalem sampai saat ini masih tetap menjadi pusat perhatian dunia sebagai simbol keberagaman agama dan budaya. Pendekatan progresif Khalifah Umar dalam rangkan pengelolaan wilayah yang baru ditaklukkan menunjukkan bahwa kekuasaan yang adil dan inklusif dapat membawa perdamaian yang langgeng, bukan hanya untuk umat Islam saja, melainkan juga untuk seluruh umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H