Hasil ini menunjukkan keragaman ideologi dan preferensi politik masyarakat Indonesia pada masa itu, dengan partai-partai besar yang mewakili berbagai kepentingan, mulai dari nasionalis, Islamis, hingga komunis.
Perdebatan tentang Dasar Negara dan Tantangan Konstituante
Hasil Pemilihan Umum 1955 yang menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tidak mencapai lebih dari 45 persen jumlah suara yang sah, menjadi hambatan sangat besar dalam upaya untuk mewujudkan negara yang berdasarkan Islam, sesuai dengan visi Partai Masyumi. Hal ini disebabkan, dalam UUDS 1950, rancangan UUD yang baru hanya dapat disahkan apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya dua per tiga anggota yang hadir dalam rapat. Dengan demikian, perjuangan untuk mewujudkan negara Islam, yang diprakarsai oleh partai Islam, khususnya Masyumi, menjadi sulit terwujud.
Perdebatan tentang dasar negara berlangsung dengan sangat sengit di dalam sidang-sidang Konstituante. Namun, hingga akhirnya Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada bulan Juli 1959, tidak ada kesepakatan yang dicapai mengenai dasar negara. Pembubaran ini menandai berakhirnya Konstituante, dan sistem politik Indonesia kembali menggunakan UUD 1945, dengan perpolitikan yang mengarah pada Demokrasi Terpimpin dalam kurun waktu 1959–1966.
Koalisi Pancasila dan Dinamika Politik di Konstituante
Koalisi Pancasila yang mengusung “Pancasila sebagai dasar negara” pada masa Konstituante pun merupakan pengelompokan fraksi-fraksi yang sangat heterogen. Beberapa anggota PNI, misalnya, menganggap Pancasila sebagai ideologi yang matang dan sempurna. Pancasila didefinisikan melalui filsafat sosial yang lengkap dan diuraikan secara “ilmiah” oleh Profesor Notonegoro, yang pendapatnya banyak dikutip oleh berbagai pihak. Namun, koalisi Pancasila yang heterogen ini terbukti dengan keberadaan “penyusup” PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam koalisi tersebut. Dasar filsafat PKI yang telah kita kenal, yakni Marxisme-Leninisme, menjadikan semakin konyolnya PKI menjadi barisan pendukung Pancasila.
Pertimbangan utama PKI sangat sederhana, yaitu supaya dapat bekerja sama dengan erat bersama PNI. Oleh karena ketika PNI diajak berkoalisi, PKI dapat mengatasi salah satu oposisi antikomunis sekaligus menekan pengaruh paham Islam di dalam Majelis Konstituante. Mengenai strategi PKI dalam mendukung Pancasila ini, K. H. M. Isa Anshary, salah satu punggawa partai Masyumi, menyatakan dalam pidatonya:
“Rupanya kaum komunis secara apriori telah yakin, membuka kartu ideologi komunisme hanyalah berarti menghadapkan PKI kepada bahaya maut, kematian, berakhirnya lapangan hidup bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Siasat dan strategi perjuangan kaum komunis di seluruh dunia adalah merebut kekuasaan, menegakkan kekuatan kalau perlu dengan jalan kekerasan.”
Lebih lanjut, K.H. M. Isa Anshary menambahkan:
“Kita tahu, apa sebabnya kaum komunis tidak pernah menyatakan ‘belang ideologinya’, baik dalam kampanye pemilihan umum, maupun dalam Konstituante ini. Ideologi komunisme masih disimpan dalam lemari besi, dibungkus dengan kain kuning masih disembunyikan tidak pernah dibuka dan dinyatakan, tidak pernah dikatakan. Kalau kekuasaan telah ada di tangan mereka, kalau negara telah di tangan mereka, barulah ajaran komunisme dan ateisme itu dilaksanakan dengan rencana yang sistematis dengan planning yang teratur.”
Selain PKI, partai lain yang bergabung dalam koalisi Pancasila yang heterogen ini adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang dasar filsafatnya adalah demokrasi sosial. Partai-partai Kristen juga memiliki wawasan dunia yang sangat berbeda dengan PKI. Namun, uniknya adalah semua partai ini mendukung Pancasila sebagai dasar negara dengan menafsirkan Pancasila versi mereka masing-masing supaya tidak bertentangan dengan dasar filsafat sosial partainya masing-masing.
Pandangan positif terhadap kondisi demikian, yakni setidaknya PSI, PKI, dan partai-partai Kristen menganggap Pancasila hanya sebagai “forum yang dapat memungkinkan ideologi yang berbeda-beda untuk bertemu dan berkembang satu sama lain”. Mereka melihat Pancasila bukan sebagai filsafat sosial yang utuh seperti yang dikemukakan oleh beberapa pembicara dari pengusung utama, yaitu PNI, melainkan hanya sebagai titik temu dari keragaman ideologi di Indonesia pasca-Pemilu 1955. Selama pembahasan mengenai dasar negara, para pembicara dari partai-partai tersebut terus-menerus menekankan asal-usul Pancasila sebagai titik temu yang mendukung sikap toleransi dalam masyarakat Indonesia yang pluralistis.