Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Islam dan Sekularisme dalam Konstituante: Kisah Perdebatan Tanpa Ujung

29 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   10:09 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukarno dan Natsir pada awal kemerdekaan. Dua tokoh yang menggambarkan Nasionalisme dan Islam-politik di Indonesia. (Sumber gambar: Detik.com)

Sebaliknya, Natsir menegaskan bahwa ajaran agama Islam telah menawarkan solusi yang lebih komprehensif. Bahkan solusinya tidak hanya dalam urusan pribadi atau peribadahan kepada Tuhan saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial-bernegara. Dalam ajaran agama Islam yang ditawarkan oleh Natsir ini, di dalamnya telah terdapat pemahaman yang jelas dan konkret mengenai hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah) serta hubungan antara manusia satu dengan lainnya (muamalah). Menurut Natsir,

"Islam juga merupakan ideologi yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (ibadah) serta hubungan antarmanusia sendiri (muamalah). Islam hanya mempunyai satu aturan yang menyangkut ibadah, yakni semua dilarang kecuali yang diperintahkan. Dan satu untuk kehidupan sosial (muamalah), yakni semua diizinkan kecuali yang dilarang. Yurisprudensi Islam menyebut ini sebagai al-baraatul-ashliyah."

Dalam kedua pandangan tokoh kaliber Masyumi ini, dapat dipahami bahwa Blok Islam, yang diwakili oleh Kasman Singodimedjo dan M. Natsir, menekankan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sama sekali tidak dapat menggantikan posisi agama Islam (Al-Qur'an dan Hadis Nabi Muhammad ) sebagai sumber hukum yang lebih tinggi. Pancasila yang dianggap sebagai hasil rekayasa manusia dianggap tidak dapat menggantikan wahyu Ilahi sebagai pedoman hidup yang sejati. Oleh karena itu, kedua punggawa Masyumi ini menolak jika Islam dianggap "telah tercakup dalam Pancasila", dan lebih mengutamakan penerapan hukum Islam dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Dengan demikian, perdebatan mengenai Dasar Negara di Dewan Konstituante merupakan kelanjutan dari dinamika ideologis yang telah berlangsung sejak masa kolonial hingga kemerdekaan Indonesia. Ideologi negara yang menjadi perdebatan bukan hanya mencerminkan konflik antara nasionalis sekuler dan Islam politik, melainkan juga menunjukkan dinamika politik internal antarpartai yang semakin memperkuat urgensi perumusan dasar negara yang dapat diterima oleh semua pihak. Pancasila, yang akhirnya menjadi dasar negara, adalah hasil kompromi yang diharapkan dapat menjamin persatuan dan menjaga kelangsungan Republik Indonesia yang baru merdeka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun