Dasar Negara Indonesia telah menjadi isu sentral sejak persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Semangat ideologis pada masa revolusi kemerdekaan, yang dipengaruhi oleh Perang Dunia II, kemudian menjadi landasan bagi perdebatan tentang ideologi negara, baik di BPUPK maupun di Konstituante.
Perang Dunia II juga kita telah sama-sama mengetahui bahwa perang tersebut adalah pertentangan ideologi antara kekuatan poros yang berpegang pada ideologi fasisme-otoriter melawan Sekutu dan Amerika Serikat yang berbasis pada demokrasi parlementer Barat, dengan turut bergabungnya negara totaliter-komunis ala Stalin. Selama rentang waktu 1950-an, situasi demikian juga diperparah dengan munculnya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang dipandang oleh banyak pengamat geopolitik sebagai pertarungan ideologi pula, yakni antara liberalisme dan kapitalisme (Amerika) versus komunisme atau Marxisme (Uni Soviet).
Oleh karena kondisi demikian itulah, semangat ideologi juga menjadi ciri khas Indonesia pada masa proses penyusunan undang-undang dasar negaranya. Pengaruh nasionalisme Asia, seperti kemenangan Jepang atas Rusia dan keberhasilan Sun Yat Sen di Tiongkok, kemudian menambah spirit dan memberikan inspirasi bagi beberapa pemimpin Indonesia untuk mengembangkan ideologi yang lebih berpihak pada falsafah negara ala Timur-Jepang daripada paham Barat yang dianggap kolonial. Falsafah ini membantu Sukarno dan Soepomo dalam merumuskan pandangan negara dan masyarakat yang "khas Indonesia," yang bertolak belakang dengan politik Barat. Dasar Negara sebagai dasar ideologis telah menjadi bagian penting dari diskusi konstitusional Indonesia sejak awal pembentukan Republik Indonesia, termasuk pada saat persidangan di dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tahun 1945.
Ketegangan ideologis ini juga merupakan kelanjutan dari sejarah hubungan antara kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Islam yang sering mengalami gesekan sejak masa kolonial. Pada masa itu, pertikaian antara golongan nasionalis sekuler pimpinan Sukarno dan kelompok Islam ideologis seperti Mohammad Natsir dan Ahmad Hasan sangat tajam. Salah satu perdebatan penting adalah mengenai posisi agama dalam kehidupan politik jika Indonesia bebas dari penjajahan. Sukarno dengan tegas menolak Islam sebagai dasar negara, yang terinspirasi oleh sekularisasi yang terjadi di Turki, sedangkan Mohammad Natsir membantah pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa Islam adalah ideologi komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Menurut Natsir, sekularisasi yang dipropagandakan oleh Kemal Pasha Attaturk bertentangan dengan prinsip Islam dan demokrasi.
Dalam sejarah Islam kontemporer di Indonesia, Sukarno memang dikenal sebagai tokoh nasionalis sekuler yang pemikirannya berlawanan dengan tokoh Islam-politik, termasuk Haji Agus Salim dan K. H. Ahmad Hasan. Dengan tokoh yang disebut terakhir, yaitu Ahmad Hasan dari Persis, di Bandung, baik Sukarno maupun Natsir mempunyai kedekatan tersendiri. Saat mereka menjalankan studinya di Bandung, sering kali mereka bertandang ke kediaman K. H. Ahmad Hasan. Bahkan menurut Prof. Zubal (cucu Ahmad Hasan), saat Sukarno dipenjarakan Belanda di Ende, keduanya sering berkirim surat, dan Sukarno dikirimi makanan kesukaannya oleh Ahmad Hasan. Maka, perdebatan yang terjadi berkenaan dengan relasi Islam dan negara di Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pascakemerdekaan.
Menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, terjadi juga perdebatan di sidang BPUPK dan PPKI. Perdebatan ini berujung pada disahkannya Piagam Jakarta pada Juni 1945. Jelas bahwa perdebatan Dasar Negara di Dewan Konstituante 1956-1959 sangat terkait erat dengan peristiwa sebelumnya antara kelompok Islam-politik dan kelompok nasionalis sekuler, baik sebelum kemerdekaan maupun pascaproklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Badan Konstituante sendiri merupakan lembaga politik yang terbentuk melalui Pemilu 1955, yakni pemilihan umum pertama di Indonesia pascakemerdekaan. Pemilu ini dipuji oleh Herbert Feith sebagai "pesta demokrasi" yang demokratis, jujur, bebas, dan rahasia tanpa tekanan. Dengan tingkat partisipasi mencapai 90%, pemilu ini mencerminkan antusiasme rakyat Indonesia dalam menggunakan hak politiknya. Namun, Pemilu 1955 juga mencerminkan tajamnya kontestasi ideologi di Indonesia, terutama antara empat ideologi besar: Islamisme, Nasionalisme Kebangsaan, Sosial-Ekonomi, dan Komunisme.
Perdebatan intensif tentang ideologi dan dasar negara terjadi dalam dua babak di dalam Konstituante, kiranya sekitar tahun 1957. Babak pertama melibatkan 47 pembicara dari berbagai partai politik, sedangkan babak kedua menghadirkan 54 pembicara dalam sidang pleno. Proses ini berlangsung secara demokratis dan mencerminkan keberagaman ideologis yang ada di Indonesia pada masa itu. Menurut Adnan Buyung Nasution, terdapat tiga posisi ideologis utama yang diusulkan sebagai dasar negara: Pancasila, Islam, dan Sosial Ekonomi. Ketiga posisi ini mencerminkan upaya menciptakan kesepakatan ideologis yang dapat menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sukarno menyatakan bahwa Pancasila merupakan kompromi, sedangkan bagi kelompok Islam, hal ini dianggap sebagai pengorbanan demi persatuan nasional dan pertimbangan situasi-kondisi perjuangan menuju kemerdekaan. Oleh karena itu, dalam sidang Dewan Konstituante, kelompok Islam melihat peluang untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam kerangka yang lebih legal.
Faksi Pancasila, dengan lima sila yang dirumuskan sedikit berbeda dari versi sebelumnya, diusulkan sebagai forum yang dapat mengakomodasi semua golongan dan aliran dalam masyarakat Indonesia. Kelima sila tersebut adalah:
1. Ketuhanan.
2. Perikemanusiaan.
3. Kesatuan atau Nasionalisme.
4. Permusyawaratan atau Demokrasi.
5. Keadilan Sosial.