Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritik Positivisme dalam Etika Lingkungan: Re-Enchantment Melalui Estetika Adorno dan Neo-Animisme

24 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   06:22 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mitologi Yunani Gaia sebagai bagian dari kritik positivisme dalam konteks Etika Lingkungan (Sumber gambar: Adobe Stock)

Disenchantment atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “penyingkiran pesona”, “penghilangan daya magis”, ataupun “penghapusan keajaiban” merupakan konsep yang mengacu pada hilangnya rasa kagum dan keajaiban terhadap alam, yang disebabkan oleh pandangan positivistik tentang rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Pandangan ini, seperti yang dikritik oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari Mazhab Frankfurt, menganggap alam hanya sebagai objek untuk dimanipulasi dan dikendalikan demi tujuan manusia. Positivisme yang berlebihan ini tidak hanya mengeksploitasi alam, tetapi juga mengalienasi manusia dari aspek batinnya sendiri, seperti kreativitas dan otonomi pada dirinya. Pendekatan ini telah mengabaikan dimensi estetika, moral, dan sensitif dalam kehidupan manusia, sehingga mengakibatkan hilangnya rasa hormat dan kekaguman terhadap dunia sekitar.

Sebagai respons terhadap disenchantment ini, gagasan neo-animisme menawarkan perspektif yang berbeda dengan menekankan pentingnya memandang alam sebagai entitas yang hidup dan suci. Neo-animisme terinspirasi oleh cara tradisional beberapa masyarakat adat saat berinteraksi dengan alam melalui ritual dan praktik yang menganggap bahwa benda-benda, baik yang hidup maupun mati, memiliki jiwa atau kekuatan. Dengan mengadopsi pandangan ini, neo-animisme berusaha untuk memulihkan rasa hormat dan keterhubungan yang hilang dengan alam dan lingkungan hidup, serta menawarkan cara yang lebih berkelanjutan untuk berinteraksi dengan lingkungan. Perspektif ini bertujuan untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan sikap konsumtif yang muncul dari pandangan positivistik yang menyusutkan alam menjadi objek belaka.

Disenchantment dan Mazhab Frankfurt

Disenchantment, dalam konteks ini, mengacu pada proses di mana alam dan segala sesuatu di sekeliling kita kehilangan rasa magis, misteri, dan keajaiban yang dulu ada. Konsep ini sangat terkait dengan kritik yang diajukan oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno dari Mazhab Frankfurt terhadap pandangan positivistik tentang rasionalitas dan ilmu pengetahuan.

Mazhab Frankfurt dan Kritik terhadap Positivisme

Mazhab Frankfurt, yang didirikan oleh Horkheimer dan Adorno, dikenal dengan pendekatan kritis mereka terhadap masyarakat, budaya, dan ilmu pengetahuan. Mereka menganggap bahwa rasionalitas yang dipromosikan oleh positivisme—yang berfokus pada pengamatan, pengukuran, dan metode kuantitatif—telah menyebabkan apa yang mereka sebut sebagai “disenchantment” atau penyingkiran pesona. Positivisme, dalam pandangan mereka, menyebabkan alam dan proses-prosesnya hanya dianggap sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat diprediksi dan dikendalikan. Dengan kata lain, alam dinilai oleh pandangan ini hanya sebagai objek yang dapat diteliti, dipahami, dan dimanipulasi untuk keuntungan manusia.

Menurut Horkheimer dan Adorno, pandangan ini mengarah pada dua konsekuensi utama: 

Pertama, hilangnya rasa kagum dan keajaiban terhadap alam. Saat alam dianggap hanya sebagai “mesin besar” yang berfungsi berdasarkan hukum-hukum alam yang dapat diprediksi oleh rasio manusia, alam akan menjadi kehilangan nilai-nilai estetika, moral, dan spiritualnya, yang pada hakikatnya dapat menumbuhkan rasa hormat dan keterhubungan terhadap alam. 

Kedua, pendekatan ini menyebabkan alienasi manusia dari sifat batinnya sendiri. Dalam usaha untuk menguasai dan mengontrol alam, manusia juga menekan kreativitas, otonomi, dan kebutuhan mendalam yang menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.

Penerapan Positivisme dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dalam kerangka positivisme, ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai alat yang tidak hanya memungkinkan kemajuan material, tetapi juga menawarkan harapan akan kemampuan untuk menyelesaikan semua masalah. Pandangan ini, menurut Horkheimer dan Adorno, menggabungkan determinisme dengan optimismenya: yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu, termasuk alam dan sifat manusia, dapat dipahami sepenuhnya dan dikendalikan melalui metode ilmiah

Namun, kedua tokoh Mazhab Frankfurt ini berargumen bahwa, pendekatan ini, meskipun memberikan ilusi kekuatan dan pengetahuan yang tak terbatas, pada akhirnya menyebabkan penghilangan aspek-aspek yang lebih dalam dan lebih halus dari pengalaman manusia, seperti rasa keajaiban dan kecantikan alam.

Dalam konteks ini, disenchantment bukan hanya tentang hilangnya rasa keterpesonaan terhadap kekuatan magis dari alam, melainkan juga tentang bagaimana pandangan positivistik ini membentuk cara kita berinteraksi dengan dunia dan khususnya sesama manusia lainnya. Dengan mengurangi alam dan manusia menjadi objek-objek yang dapat “dimanipulasi oleh rasionalitas”, positivisme menciptakan sikap dominatif yang merusak hubungan yang lebih dalam dan lebih bermakna dengan lingkungan hidup di sekitar kita.

Re-Enchantment Estetika Adorno

Dalam upaya untuk mengatasi dampak negatif dari disenchantment yang diakibatkan oleh positivisme di atas, Theodor Adorno mengusulkan konsep “re-enchantment” melalui pendekatan estetika. Adorno berpendapat bahwa pandangan positivistik, yang menganggap alam dan segala sesuatu di sekeliling kita sebagai objek yang dapat diprediksi dan dikendalikan, telah menghilangkan rasa kagum dan keajaiban terhadap dunia. Oleh karena itu, Adorno mengusulkan bahwa re-enchantment—yakni, pemulihan rasa pesona dan kekaguman terhadap alam—dapat dicapai melalui pengalaman estetika.

Theodor Adorno (Sumber: TribunnewsWiki)
Theodor Adorno (Sumber: TribunnewsWiki)

Adorno menganjurkan pendekatan “sensuous immediacy” atau ketersinggungan sensori terhadap alam dan karya seni. Konsep ini menekankan pentingnya mengalami alam dan seni secara langsung dan spontan, tanpa intervensi dari rasionalitas atau alat ukur ilmiah. Dalam pandangan Adorno, karya seni dan benda-benda alam memiliki “kelebihan” atau sesuatu yang lebih dari sekadar materialitas dan nilai tukar mereka. Artinya, karya seni dan alam memiliki dimensi tambahan yang melampaui apa yang dapat diukur atau dijelaskan secara ilmiah.

Dengan mengalami alam dan seni dalam cara ini, Adorno percaya bahwa kita dapat mengembalikan rasa pesona dan kekaguman yang hilang akibat positivisme. Pengalaman estetika ini, menurutnya, memungkinkan kita untuk terhubung dengan dunia dalam cara yang lebih mendalam dan penuh makna. Re-enchantment melalui estetika juga berarti mengubah cara kita memandang dan berinteraksi dengan alam dan seni, dari sekadar objek untuk dikonsumsi atau digunakan, menjadi entitas yang penuh dengan nilai-nilai estetika dan emosional.

Adorno melihat pengalaman estetika sebagai sarana untuk mengembalikan rasa keterhubungan dan menghargai dimensi-dimensi yang lebih dalam dari kehidupan manusia dan dunia di sekitar kita. Dengan cara ini, re-enchantment estetika bukan hanya tentang mengembalikan rasa kagum terhadap alam, melainkan juga ditujukan untuk memulihkan dimensi manusiawi yang lebih dalam yang sering terabaikan dalam pandangan positivistik.

Neo-animisme

Neo-animisme adalah konsep modern yang berkembang sebagai respons terhadap apa yang dianggap sebagai “disenchantment” atau hilangnya rasa kagum dan keterhubungan dengan alam, yang disebabkan oleh pandangan positivistik dan anthropocentric. Neo-animisme mengacu pada upaya untuk menghidupkan kembali pandangan tradisional tentang animisme—kepercayaan bahwa roh atau kesadaran ada di dalam makhluk hidup, benda mati, dan fenomena alam—dengan pendekatan yang lebih kontekstual di era modern.

Menurut para penganjur neo-animisme, salah satu dampak besar dari positivisme adalah menghapus pandangan animistik yang meyakini bahwa dunia dipenuhi oleh entitas hidup yang memiliki roh atau jiwa. Di dunia yang telah ter-disenchant, alam hanya dilihat sebagai sumber daya tanpa nilai spiritual atau pribadi. Hal ini dianggap berkontribusi terhadap pengabaian dan eksploitasi alam, karena tidak ada lagi rasa hormat atau tanggung jawab yang dirasakan manusia terhadap lingkungan mereka.

Neo-animisme banyak terinspirasi oleh cara beberapa masyarakat adat memandang dan berinteraksi dengan alam. Mereka sering kali menganggap binatang, tumbuhan, batu, sungai, gunung, dan bahkan fenomena alam lainnya sebagai makhluk yang hidup dan memiliki roh. Melalui ritual, upacara, dan praktik sehari-hari, masyarakat adat menjaga hubungan yang sakral dengan alam. Neo-animisme berupaya mengadopsi dan memperbarui prinsip-prinsip ini dalam konteks ekologi di tengah masyarakat modern.

Dalam pandangan neo-animis, batas antara manusia dan non-manusia tidak setegas yang digariskan oleh pandangan dunia Barat modern. Alam tidak lagi dipandang sebagai sekadar objek untuk dikendalikan dan dieksploitasi, tetapi sebagai bagian dari komunitas kehidupan yang lebih luas, di mana makhluk hidup dan benda-benda alam dapat dianggap sebagai “orang” atau entitas yang layak dihormati dan diajak berinteraksi. Para neo-animis menyarankan bahwa pandangan ini dapat memberikan dasar bagi sikap yang lebih etis dan hormat terhadap alam, sehingga membantu mencegah kerusakan lingkungan dan eksploitasi yang berlebihan. 

Neo-animisme mendefinisikan ulang konsep “kehidupan” dan “kesadaran” di luar makhluk biologis seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Dalam pandangan ini, elemen-elemen alam seperti gunung, sungai, hutan, bahkan planet, bisa dianggap sebagai entitas yang hidup atau memiliki semacam kesadaran. Apakah gagasan bahwa sebuah gunung atau pohon bisa dianggap sebagai “orang” harus dipahami secara harfiah atau metaforis, tetap masih menjadi perdebatan. Namun, neo-animisme tetap menekankan pentingnya memperlakukan alam seolah-olah terdiri dari entitas yang berhak mendapat rasa hormat dan pertimbangan moral. 

Neo-animisme secara eksplisit menentang pandangan positivistik yang memisahkan manusia dari alam dan menjadikan alam sekadar objek konsumsi dan kontrol. Disenchantment yang muncul dari positivisme ini dianggap berkontribusi pada cara pandang yang eksploitatif dan merusak terhadap lingkungan. Ketika alam tidak lagi dianggap sakral, hutan misalnya, dapat dibabat habis tanpa rasa takut akan konsekuensi spiritual atau etis. Dalam dunia yang disenchant, tidak ada lagi roh yang harus dipuaskan atau dilindungi, dan alam hanyalah sebuah mesin besar yang dapat dikuasai demi kepentingan manusia.

Neo-animisme bertujuan untuk mengembalikan pesona (enchantment) pada alam dengan cara memperlakukan elemen-elemen alam seperti manusia memperlakukan entitas yang hidup. Pandangan ini mengajak manusia untuk kembali merasa terhubung dengan alam dan merasakan adanya kesakralan di dalamnya, yang dengan demikian dapat menumbuhkan rasa hormat dan kasih sayang terhadap lingkungan.

Dengan mengadopsi perspektif neo-animis, di mana alam dianggap hidup dan memiliki jiwa, dunia dapat “di-pesona-kan kembali” (re-enchanted). Artinya, dengan memandang alam sebagai sesuatu yang hidup, kita dapat mengembalikan rasa hormat, kekaguman, dan rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. Neo-animisme memberikan kerangka kerja bagi pandangan yang lebih holistik tentang alam, yang melihat bahwa hubungan manusia dengan alam tidak hanya bersifat material tetapi juga spiritual.

Sebagai respons terhadap krisis lingkungan, neo-animisme menawarkan alternatif terhadap pendekatan utilitarian yang dominan. Dengan menggabungkan pemahaman animisme tradisional dan wawasan ekologi modern, neo-animisme bertujuan untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dari pandangan antroposentris dan positivistik, sambil memperkenalkan cara baru untuk memahami dan menghormati dunia alam di sekitar kita.

Panpsikisme (Panpsychism) dan Freya Mathews

Panpsikisme (panpsychism) adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kesadaran atau pengalaman mental hadir di seluruh alam semesta, tidak hanya pada makhluk hidup, tetapi juga pada benda mati dan sistem non-hayati. Freya Mathews, seorang filsuf lingkungan, adalah salah satu tokoh utama yang berusaha memperbarui dan mempopulerkan pandangan ini, khususnya dalam konteks hubungan manusia dengan alam.

Freya Mathews (Sumber: St James Piccadilly)
Freya Mathews (Sumber: St James Piccadilly)

Dalam pandangannya, Mathews berpendapat bahwa dunia adalah “self-realizing system”—sebuah sistem yang merealisasikan dirinya sendiri dan terdiri dari berbagai sistem kecil yang juga memiliki sifat sadar atau hidup. Bagi Mathews, alam semesta tidak terbatas pada materialisme yang sempit, yang hanya melihat dunia sebagai susunan materi tanpa jiwa atau kesadaran. Sebaliknya, ia menekankan bahwa kesadaran dan materi bersatu dalam kesatuan yang mendalam, di mana segala sesuatu dalam alam semesta memiliki tingkat kesadaran atau potensi komunikasi dengan entitas lain.

Mathews juga mengaitkan pandangan panpsikisme ini dengan pemahaman Daoisme tentang “wuwei” atau tindakan tanpa usaha, di mana ia menyarankan bahwa alih-alih mencoba memaksakan kehendak kita pada alam, kita harus bekerja dalam sinergi dengan proses-proses alam yang sudah ada. Synergy dengan alam, menurut Mathews, dapat menjadi dasar bagi pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pengelolaan lingkungan, di mana manusia tidak lagi berusaha menghancurkan atau mengontrol alam, tetapi sebaliknya berusaha bekerja sama dengan ekosistem yang ada. 

Dengan cara ini, panpsikisme, menurut Mathews, dapat membantu kita melepaskan diri dari paradigma kapitalistik yang berpusat pada konsumsi dan eksploitasi, serta memperkenalkan cara hidup yang lebih harmonis dan berkelanjutan.

Hipotesis Gaia (Gaia Hypothesis)

Hipotesis Gaia adalah gagasan yang dikemukakan oleh ilmuwan James Lovelock pada kisaran 1970-an, yang menyatakan bahwa bumi dan biosfernya berfungsi sebagai sistem umpan-balik yang mengatur diri sendiri untuk menjaga kondisi yang mendukung kehidupan. Hipotesis ini dinamakan Gaia, dewi bumi dalam mitologi Yunani, untuk menekankan sifat bumi yang dianggap sebagai suatu entitas tunggal yang hidup dan bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan ekosistemnya.

Menurut Hipotesis Gaia, organisme hidup di bumi, bersama dengan komponen fisik lainnya seperti atmosfer, lautan, dan tanah, bekerja sama untuk menciptakan dan memelihara lingkungan yang stabil yang memungkinkan kehidupan terus berlanjut. Misalnya, organisme seperti mikroba dan tumbuhan membantu mengatur kadar karbon dioksida di atmosfer, yang pada gilirannya menjaga suhu bumi tetap stabil. Dengan demikian, bumi bertindak sebagai satu kesatuan yang saling bergantung, di mana kehidupan tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan, tetapi juga berperan aktif dalam membentuk dan mempertahankan kondisi yang mendukung kehidupan.

Pandangan ini menantang pendekatan ilmiah tradisional yang melihat alam sebagai sekumpulan bagian-bagian terpisah yang tidak terkait. Dalam hipotesis ini, Gaia adalah sistem kompleks yang saling terhubung, yang mampu mengatur dirinya sendiri dalam menghadapi gangguan eksternal, termasuk perubahan iklim dan aktivitas manusia yang merusak.

Namun, hipotesis ini juga mendapat kritik. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa gagasan Gaia terlalu antropomorfik dan tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Meski demikian, konsep ini telah berpengaruh dalam pemikiran ekologi modern, terutama dalam menekankan pentingnya memandang bumi sebagai sistem yang hidup dan kompleks.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun