Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meniti Jalan Spiritualitas Sunan Kalijaga: Laku, Nafsu, dan Tapa Menuju Kebijaksanaan

19 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 20 November 2024   03:42 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peninggalan Kanjeng Sunan Kalijaga, Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Keraton Kasepuhan Cirebon (Sumber gambar: Tribun Cirebon)

11. Samadi: Yang berarti harus selalu menerapkan sikap introspeksi ke dalam diri sendiri. Dalam Islam dikenal dengan sikap yang ber-muhasabah selalu.

12. Ngurang-ngurangi: Yang berarti hidup dengan cara hemat atau tidak boros. Dengan kata lain, kita dianjurkan oleh ajaran Kanjeng Sunan untuk tidak boleh berlebih-lebihan dalam urusan duniawi dan urusan-urusan yang tidak esensial.

Nafsu-nafsu Spiritual

Kisah Serat Dewa Ruci karangan dari Sunan Kalijaga mengisahkan seorang tokoh bernama Bima yang dapat memasuki “telinga” Dewa Ruci secara spiritual. Terlihat oleh Bima empat warna di dalam alam telinga itu. Empat perlambang “warna” itu adalah saudara dari Bima Werkudoro dan titisan dari Betara Bayu. Empat perlambang warna inilah yang diistilahkan oleh Kanjeng Sunan sebagai empat nafsu yang harus diketahui oleh rakyat Jawa pada masa itu, antara lain:

1. Nafsu Lawwamah: Dipersonifikasikan oleh Sunan Kalijaga sebagai begawan Maenaka, yang melambangkan Bayu Langgeng yang berwatak hitam. Warna hitam kemudian melambangkan batin dan pikirin yang gelap. 

Nafsu lawwamah ini sendiri diartikan pula oleh sekelompok ulama sebagai nafsu yang tidak diam (tidak pasif) dalam satu keadaan, yaitu keadaan di mana seseorang terkadang dapat berubah dan beralih dari satu keadaan kepada keadaan yang lain dengan segera. Gambarannya seperti, 

“Terkadang dzikir, terkadang lalai. Terkadang menghadap, terkadang menentang. Terkadang mencinta, terkadang membenci. Terkadang bahagia, terkadang sedih. Terkadang rida, terkadang murka. Terkadang taat, terkadang membangkang.”

2. Nafsu Sufiyyah: Dipersonifikasikan sebagai Gadjah Situbondo atau Bayu Kanitra yang berwatak kuning. Artinya adalah tendensi yang bisa menyebabkan seorang bisa menjadi lemah, malas, dan cepat lupa. Nafsu ini adalah penyakit yang “manusiawi” dalam ajaran Islam menurut para ulama. Meskipun sering kali kita sikapi dengan pelumrahan berkedok “manusiawi”, tetaplah ini adalah penyakit diri yang harus dilawan, diobati, dan diperbaiki menurut Sunan Kalijaga dan para ulama kontemporer.

3. Nafsu Amarah: Dipersonifikasikan sebagai raksasa Jayarekso atau Bayu Anras yang berwatak merah. Maknanya adalah kecenderungan manusia untuk merusak moral, membakar hati, dan melambatkan berpikir. Nafsu amarah di sini dapat diartikan sebagai nafsu yang selalu diperintah oleh keburukan, menghimpun kuatnya rasa marah, dan diikuti oleh sifat-sifat tercela. 

Nafsu ini dapat menyebabkan manusia menjauhkan dirinya dari Allah serta menjadi bagian dari bala tentara atau langkah setan untuk mengarahkan manusia kepada penyesalan dan kebinasaan.  Oleh karena itu, nafsu ini harus diperangi, keinginannya harus ditentang, dan harus dikendalikan, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah ﷺ. Makanya, Rasulullah Muhammad ﷺ. pernah memberikan nasihatnya apabila kita sedang marah.  Sesuai dengan hadisnya,

Abu Hurairah ra. menceritakan tips yang disampaikan Rasulullah ﷺ. ketika dilanda kemarahan. Disebutkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ mengubah posisinya dari berdiri menjadi duduk, lalu berbaring. Hal tersebut dilakukan untuk meredakan kemarahan. Tentu saja, perubahan posisi ini bukan hanya gerakan fisik semata.

Perubahan posisi ini dimaksudkan agar seseorang dapat mendekatkan diri dengan tanah, sehingga ia bisa merenungkan kerendahan dan kehinaan asal-usulnya, serta mengingat keutamaan menahan amarah dan kebesaran akan ganjaran saat memaafkan orang lain. Perubahan posisi ini adalah isyarat sujud yang menunjukkan bahwa kepala, sebagai anggota tubuh yang paling terhormat, ditempatkan pada tanah, tempat yang paling rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun