Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Etika Lingkungan: Memahami Krisis Awal, Implikasi Hukum, dan Dampak Politiknya

17 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 19 November 2024   07:46 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: iStock

Namun, meskipun ada dukungan untuk ide ini, banyak sistem hukum masih menghadapi tantangan dalam menerapkan konsep hak hukum untuk benda non-manusia secara luas. Diskusi dan perdebatan berlanjut tentang bagaimana mengakui dan melindungi kepentingan lingkungan secara efektif melalui hukum. Joel Feinberg menantang ide ini dengan berpendapat bahwa hanya entitas yang memiliki kepentingan yang dapat dianggap memiliki hak hukum dan moral. Ini menciptakan perdebatan tentang apakah benda non-manusia dapat memiliki kepentingan yang relevan secara moral.

Politik

Pada tahun 1980-an, muncul partai lingkungan atau "partai hijau" di Eropa dengan dua kubu utama: "realistis" dan "fundamentalis". Kelompok "realistis" mendukung reformasi lingkungan yang bekerja dalam kerangka sistem yang ada, sedangkan kelompok "fundamentalis" mendorong perubahan radikal terhadap sistem status quo, termasuk penggantian sistem kapitalisme yang dianggap sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan. Perpecahan ini mencerminkan perdebatan tentang pendekatan yang harus diambil untuk menangani masalah lingkungan---apakah melalui reformasi dalam sistem kapitalis yang ada atau melalui perubahan sistem yang lebih mendalam dan mengakar.

Selain itu, tercatat pula munculnya "otoritarianisme lingkungan" di beberapa negara non-demokratik, di mana kebijakan lingkungan yang ketat diadopsi tanpa melibatkan demokrasi liberal. Ini menunjukkan bahwa tindakan efektif untuk mendukung keberlanjutan dan keanekaragaman hayati tidak eksklusif untuk negara-negara demokratis. Beberapa negara dengan sistem otoriter juga dapat menerapkan kebijakan lingkungan yang ketat, meskipun pendekatan ini mungkin memiliki implikasi yang berbeda dalam hal hak asasi manusia dan keterlibatan publik secara tidak bermakna.

Arne Nss kemudian juga memperkenalkan perbedaan antara "gerakan lingkungan yang dangkal" dan "gerakan lingkungan yang dalam". Gerakan yang dangkal fokus pada perbaikan dan reformasi dalam sistem yang ada, sementara gerakan dalam menyerukan perubahan mendalam dalam nilai-nilai dan struktur masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun