Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Etika Lingkungan: Memahami Krisis Awal, Implikasi Hukum, dan Dampak Politiknya

17 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 19 November 2024   07:46 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: iStock

Thomas Aquinas, dalam karya Summa Contra Gentiles (Bk. 3, Pt. 2, Ch. 112), pun berpendapat bahwa hewan-hewan non-manusia "dipesan untuk penggunaan manusia." White menilai bahwa pandangan ini, yang menyarankan pemisahan mendalam antara manusia dan alam, memberi landasan bagi eksploitasi tanpa batas. White juga berpendapat bahwa sains dan teknologi modern, yang berkembang dalam kerangka teologi Kristen, telah mewarisi "arogansi Kristen ortodoks terhadap alam," sehingga memperburuk eksploitasi lingkungan. Meskipun begitu, White mencatat bahwa ada tradisi minor dalam Kristen (misalnya, pandangan St. Fransiskus) yang bisa menjadi antidot terhadap arogansi utama dalam tradisi ini.

Di luar pandangan White, Aldo Leopold juga mengembangkan gagasan "etika tanah" dalam karyanya A Sand County Almanac (1949). Leopold menyarankan bahwa "tanah" sebagai suatu komunitas harus dicintai dan dihormati, sehingga dapat memperluas perhatian moral kita, tidak hanya pada individu makhluk hidup, tetapi pada keseluruhan sistem ekologi. Leopold menyatakan bahwa, "sesuatu benar ketika itu cenderung mempertahankan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik," dan "salah ketika itu cenderung sebaliknya."

Meskipun Leopold memberikan dasar etis untuk memperhatikan lingkungan, dia tidak menyediakan teori etis yang sistematis atau kerangka kerja yang mendukung ide-idenya secara terperinci. Hal ini menantang para ahli moral untuk mengembangkan teori etis yang dapat membenarkan dorongan untuk melestarikan integritas dan keindahan biosfer.

Richard Routley (kemudian dikenal sebagai Sylvan) kemudian juga mengkritik pandangan anthropocentric yang mendominasi dengan klaimnya bahwa itu adalah bentuk "chauvinisme manusia" yang tidak adil terhadap makhluk hidup non-manusia. Routley mengusulkan "argumen manusia terakhir" untuk menunjukkan bahwa pandangan anthropocentric adalah tidak memadai. Dalam argumen ini, ia membayangkan skenario di mana orang terakhir yang selamat dari bencana dunia yang menghancurkan semua makhluk hidup lainnya dan ekosistem, dan mempertanyakan apakah tindakan tersebut dianggap salah dari sudut pandang moral.

Menurut Routley, intuisi moral bahwa tindakan ini salah menunjukkan bahwa objek non-manusia dalam lingkungan memiliki nilai intrinsik, yang berarti nilai mereka tidak hanya bergantung pada kegunaannya bagi manusia. Routley menyimpulkan bahwa pandangan tradisional dalam pemikiran moral Barat tidak mengakui nilai intrinsik dalam hal-hal alami dan memerlukan perubahan signifikan untuk mengakomodasi pandangan ini.

Holmes Rolston III berargumen juga bahwa perlindungan spesies adalah kewajiban moral. Dia mengklaim bahwa menghancurkan spesies langka hanya untuk meningkatkan nilai moneter spesimen yang sudah dimiliki adalah tindakan yang secara moral tidak dapat diterima.

Rolston menyatakan bahwa spesies memiliki nilai intrinsik, yang sering kali lebih besar daripada individu spesimen, karena kehilangan spesies berarti kehilangan kemungkinan genetik. Penghancuran spesies secara sadar menunjukkan kurangnya rasa hormat terhadap proses biologis yang memungkinkan kemunculan makhluk hidup individu. Rolston menekankan bahwa proses alam layak dihormati karena mereka merupakan bagian dari alam (atau Tuhan) yang memiliki nilai intrinsik (atau sakral).

Implikasi Hukum dan Politik

Hukum

Christopher Stone mengusulkan proposalnya bahwa objek alam, seperti pohon, hutan, dan gunung, seharusnya diberikan hak hukum yang setara dengan perusahaan. Proposal ini terinspirasi oleh kasus hukum di mana Sierra Club menggugat izin pembangunan yang dapat merusak lingkungan.

Stone berargumen bahwa jika objek alam memiliki hak hukum, mereka dapat diwakili di pengadilan dan menerima kompensasi jika mengalami kerusakan akibat aktivitas manusia. Dengan demikian, kepentingan lingkungan dapat lebih efektif dipertahankan melalui jalur hukum.

Proposal Christopher Stone bertujuan untuk memungkinkan perlindungan lingkungan yang lebih kuat dengan memberi status hukum kepada objek alami. Meskipun proposal ini tidak diterima sepenuhnya, argumennya berpengaruh pada pengakuan hak hukum untuk beberapa fitur alam di berbagai belahan dunia.

Ide Stone dan argumen terkait lainnya mempengaruhi beberapa perubahan hukum yang memberikan status hukum kepada fitur lingkungan tertentu, seperti sungai dan hutan, di beberapa negara. Perkembangan ini mencerminkan pergeseran menuju pengakuan lebih besar terhadap hak-hak lingkungan dalam sistem hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun