Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dinamika Politik Indonesia 1950-an: Residu Revolusi '45

24 November 2024   19:09 Diperbarui: 24 November 2024   19:09 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Gambar: ANRI via CNN Indonesia)

Setelah kemerdekaan, Indonesia harus mengalami ketidakstabilan politik yang signifikan, terutama di daerah perdesaan Jawa. Perampokan dan ketidakmampuan negara yang baru lahir untuk menegakkan hukum dan ketertiban menambah ketidakamanan di daerah-daerah tersebut. Kekacauan ini mencerminkan kelemahan dalam pemerintahan dan kapasitas negara untuk menghadapi tantangan-tantangan yang muncul di hadapan. Negara yang baru keluar dari persalinannya ini harus menghadapi tantangan dalam membangun dan memelihara lembaga-lembaga negara supaya terus dapat menjaga kestabilan keamanan dan pemerintahannya. Ketidakstabilan ini kemudian juga diperburuk oleh konflik internal dan kekurangan dalam pengelolaan pemerintahan yang efektif. 

Di samping ketidakstabilan, terdapat juga tindakan represi yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pada awal tahun 1950-an, pemerintah Republik lebih mengandalkan peraturan yang digunakan oleh aparatur kolonial, seperti undang-undang tentang status keadaan darurat dan undang-undang pers untuk menekan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Rakyat pasca-euforia Revolusi. Banyak pemimpin serikat pekerja dan jurnalis yang kemudian harus ditangkap dan dipenjarakan dengan alasan politik. 

Salah satu contoh signifikan adalah terjadinya razia besar-besaran pada bulan Agustus 1951, yang menyebabkan penangkapan 15.000 orang berideologi kiri, dan pada akhir tahun itu, jumlah mereka yang dipenjara mencapai 21.000 orang. Penangkapan ini dilakukan atas tekanan (pesanan) dari pemerintah Amerika Serikat dan disetujui oleh kabinet Perdana Menteri Sukiman. 

Meski, pada tahun 1952, Perdana Menteri Wilopo membebaskan 14.000 tahanan, pada saat yang sama terjadi pula peristiwa 17 Oktober, di mana Jenderal Nasution berusaha untuk menjadikan faksi militer supaya menjadi faktor penting dalam negara yang masih rapuh ini.

Selain ketidakstabilan keamanan dan penyelenggaraan pemerintahan, ditambah pula terjadinya kontestasi politik. Di kalangan intelektual kiri, mereka mengusung ide mengenai realisme sosial dan bagaimana konsep-konsep tersebut harus diadaptasi atau diindoktrinasikan dalam konteks ke-Indonesia-an. Pada awalnya, terdapat ruang yang cukup untuk perdebatan dan perbedaan pendapat dalam kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Namun, seiring berkembangnya waktu, perbedaan ideologi semakin meningkat dan menyebabkan friksi di antara teman-teman yang sebelumnya akrab.

Seiring dengan terjadinya Perang Dingin antara AS dan USSR, beberapa intelektual kiri mulai menjauh dari pengaruh Barat dan lebih tertarik pada model revolusioner yang ditawarkan oleh Republik Rakyat Tiongkok. Model Tiongkok dianggap menarik karena didukung oleh negara yang kuat dan stabil, berbeda dengan ketidakpastian politik yang melanda Indonesia. Dukungan terhadap model Tiongkok mencerminkan keinginan untuk mengadopsi bentuk pemerintahan yang dianggap lebih stabil dan efektif dalam menghadapi ketidakpastian politik di Indonesia.

Tidak hanya itu, terdapat tantangan dalam aspek demokrasi dan meningkatnya korupsi, di mana situasi demikian ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi Indonesia dalam membangun sistem demokrasi yang efektif serta masalah korupsi yang melanda pemerintahan. 

Pemilihan umum 1955 yang menjadi titik terang karena menunjukkan partisipasi demokratis yang tinggi, dengan 90 persen pemilih memberikan suara tanpa adanya irregularitas yang besar, juga tidak menghasilkan solusi definitif untuk tantangan demokrasi yang lebih besar. Majelis Konstituante yang kemudian dibentuk untuk merumuskan konstitusi baru pun harus gagal dalam tugasnya, yang menunjukkan kesulitan yang amat kompleks dalam membangun dan menginstitusionalisasi demokrasi yang stabil bagi Republik Indonesia.

Kegagalan Majelis Konstituante tersebut mencerminkan masalah yang lebih mendalam dalam mengatur dan menyusun sistem pemerintahan yang efektif dan stabil. Ketidakmampuan untuk menghasilkan konstitusi baru menggarisbawahi tantangan dalam institusionalisasi-demokrasi dan penegakan prinsip-prinsip kewarganegaraan.

Selain itu, korupsi juga menjadi masalah besar pada periode dasawarsa malapetaka ini. Dalam karya sastra seperti Korupsi oleh Pramoedya Ananta Toer, korupsi digambarkan sebagai masalah yang meluas dan melibatkan berbagai lapisan pemerintahan.

Pramoedya menggambarkan oportunisme dan korupsi yang telah menyebar luas di kalangan pejabat. Karakter ini mewakili fenomena korupsi yang merusak dan mengecewakan harapan masyarakat akan reformasi dan perubahan positif yang seharusnya terjadi pasca-Kemerdekaan. Karya Pramoedya ini juga mencerminkan rasa frustrasi dan kekecewaan terhadap kenyataan politik yang tidak memenuhi janji-janji kemerdekaan. Kesulitan menginstitusionalisasikan demokrasi dan korupsi yang marak digambarkan dalam karya-karya ini dengan menunjukkan jurang antara aspirasi awal kemerdekaan dan realitas yang dihadapi masyarakat.

Ada juga, Sendja di Jakarta karya Mochtar Lubis. Novel ini menggambarkan kehidupan urban yang penuh dengan kemiskinan, korupsi, dan kemerosotan moral. Dikisahkan, dalam latar belakang masyarakat yang miskin, kelompok teman-teman yang kaya-raya bertemu dan melakukan diskusi ideologis yang dangkal, sehingga mereka mencerminkan pengabaian kenyataan sosial yang buruk di sekitar mereka.

Lubis menggunakan karya ini untuk mengkritik bagaimana kehidupan kota, yang seharusnya menjadi pusat modernitas, justru menjadi pusat dari sikap keserakahan, kemerosotan moral, dan kemiskinan. Salah satu karakter dalam novel ini mencerminkan rasa tidak percaya bahwa pada era dunia yang ber-atom (pasca-Hiroshima dan Nagasaki), yang seharusnya menjadi simbol modernitas dan kemajuan, berubah menjadi era ketidakpercayaan dan krisis mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun