Dekade 1950-an sejak Orde Baru-nya Soeharto, kerap dianggap sebagai "jalan menuju malapetaka". Era ini dipersepsikan sebagai periode yang penuh dengan konflik dan ketidakstabilan. Dekade ini dinarasikan sebagai fase yang terjadi banyak konflik internal yang dikaitkan dengan berbagai macam pemberontakan regional dan meningkatnya ketegangan antara sayap kiri (Partai Komunis Indonesia) dan sayap kanan dalam konstelasi politik Indonesia.
Narasi Orde Baru dalam cara pandangnya terhadap dekade 1950-an menilai dengan masa yang penuh ketidakberhasilan. Cara pandang ini ditengarai oleh anggapan atau bahkan penilaian bahwa terjadi ketidakmampuan negara---pada masa itu---untuk mencapai stabilitas, sehingga hanya menghasilkan prahara demi prahara.
Orde Baru menggambarkan dekade 1950-an dengan begitu kontras yang dibandingkan dengan masa pemerintahannya (1966--1998), di mana telah teridentifikasi telah dilingkupi oleh keteraturan atau stabilitas, pembangunan, dan pertumbuhan ekonomi, yang mereka anggap sebagai kemajuan setelah kekacauan dari dekade 1950-an.
Historiografi baru mulai menantang pandangan lama tersebut, yang melihat dekade 1950-an hanya sebagai periode yang penuh kacau-balau dan penuh malapetaka. Alih-alih hanya dilihat sebagai fase sebelum malapetaka besar yang diakhiri oleh lahirnya Orde Baru, para sejarawan kini memulai dengan penilaian mandiri (independen) terhadap dinamika dan kompleksitas dekade 1950-an dan segala peristiwanya.
Periode ini perlu dilihat di luar konteks perbandingan dengan Orde Baru atau era lainnya. Dekade 1950-an kerap kali dilihat hanya sebagai malapetaka yang mendahului atau sebagai periode transisi menuju era Orde Baru, sehingga dekade 1950-an tidak pernah dipahami secara mendalam. Penilaian yang hanya menggunakan dekade ini sebagai latar untuk membandingkannya dengan periode lain, seperti Orde Baru atau pasca-Reformasi, menyebabkan pengabaian terhadap keunikan dinamika dan kompleksitasnya yang terjadi selama 1950-an. Dengan menilai dekade ini secara mandiri, kita dapat melihat bahwa meskipun ada tantangan besar, era ini juga dipenuhi oleh eksperimen sosial dan politik yang berharga.
Dekade 1950-an setelah diteliti kembali dianggap sebagai periode bertumbuhnya demokrasi yang penuh vitalitas, dengan berbagai partai politik, organisasi, dan ideologi yang berkembang pesat. Hal ini mencerminkan kebebasan politik yang aktif dan keterbukaan terhadap berbagai pandangan, yang berbeda jauh dengan Orde Baru yang otoriter.Â
Selain itu, penting untuk mengeksplorasi dekade 1950-an sebagai suatu dinamika internal kebangsaan Indonesia yang membentuk identitas nasional dan modernitas saat itu. Mobilitas budaya dan dinamika sosial berdasarkan teori Stephen Greenblatt merujuk pada konsep yang menekankan adanya pertukaran budaya yang dinamis dan terus berubah di tengah-tengah masyarakat. Greenblatt menunjukkan bagaimana sejarah, khususnya di Asia Tenggara, ditandai oleh pergerakan dan interaksi berbagai unsur budaya. Mobilitas budaya mencakup pergerakan ide, barang, orang, dan simbol yang melintasi batas-batas geografis dan sosial. Mobilitas budaya yang disebutkan dalam konteks Indonesia pada 1950-an termasuk pedagang, pendeta, tentara, pekerja migran, surat kabar, novel, sekolah, objek, ide, gambar, dan berbagai suara. Pertukaran ini terjadi dalam konteks sejarah kolonial, dan kemudian diteruskan ke periode pascakolonial, saat bangsa-bangsa, seperti Indonesia sedang membentuk identitas nasionalnya.Â
Mobilitas budaya tersebut menggambarkan bagaimana interaksi antarbudaya mempengaruhi bentuk kebudayaan suatu masyarakat di suatu wilayah. Kebudayaan tidaklah statis, tetapi kebudayaan terus berubah dan beradaptasi melalui perhubungan dengan budaya lain. Dalam konteks Indonesia pada tahun 1950-an, selalu ada perpaduan berbagai unsur lokal dan internasional yang mempengaruhi diskusi tentang identitas nasional dan modernitas.
Meskipun kebudayaan bersifat mobile, ada upaya untuk menetapkan budaya sebagai sesuatu yang tetap dan stabil oleh rezim kolonial, dan kemudian oleh negara-negara pascakolonial. Negara-negara, dengan dukungan akademisi, buku-buku panduan, dan ensiklopedia, sering kali berusaha menciptakan ilusi kebudayaan yang mapan dan tidak berubah, padahal sebenarnya budaya selalu berubah dan berinteraksi dengan pengaruh luar.
Ada paradoks yang muncul antara sifat budaya yang bergerak (mobile) dengan keinginan untuk stabilitas dan keterikatan. Di satu sisi, masyarakat terus bergerak dan beradaptasi dengan budaya yang terus berubah. Di sisi lain, ada kebutuhan mendalam untuk rasa keterikatan atau "at-homeness" (keberadaan di rumah) sebagai respons terhadap ancaman dari luar, yang timbul akibat mobilitas budaya itu sendiri. Masyarakat pun sering merasakan ancaman dari pergerakan budaya yang terlalu cepat, sehingga negara dan institusi berusaha memberikan rasa aman dengan menstabilkan identitas budaya.
Dalam konteks Indonesia pada 1950-an, upaya untuk membangun bangsa dan menciptakan identitas nasional di tengah arus mobilitas budaya selalu menghadapi tantangan yang besar. Optimisme dalam membangun modernitas pun sering kali terganggu oleh kebutuhan untuk menstabilkan identitas nasional dan menciptakan rasa keterikatan dalam sebuah negara yang baru merdeka dan sangat beragam ini.