Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jakarta, Bahasa, & Pro-Rakyat: Tiga Pilar Identitas Nasional pada Awal 1950-an

23 November 2024   19:00 Diperbarui: 23 November 2024   22:11 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peran signifikan lainnya adalah penggunaan Bahasa Indonesia, yang pada tahun 1950 masih dipakai oleh minoritas. Bahasa Indonesia memainkan peran kunci dalam proses integrasi nasional. Dengan berkembangnya Bahasa Indonesia melalui pendidikan dan media seperti radio, film, dan teater, bahasa ini menjadi alat penting untuk menyebarluaskan ide-ide nasional dan memperkuat rasa persatuan di seluruh kepulauan Indonesia. Penggunaan bahasa nasional ini membantu mengurangi ketergantungan pada bahasa kolonial (Belanda) dan memperkuat identitas nasional yang baru.

Sikap pro-rakyat kemudian juga menjadi bagian integral dari identitas nasional yang baru. Sikap ini tercermin dalam berbagai aspek budaya dan sosial, termasuk sastra dan seni, yang menunjukkan esensi sastra dan seni terhadap solidaritas dengan rakyat miskin dan menekankan nilai-nilai sosial yang inklusif. Kebijakan dan praktik yang mendukung kesejahteraan rakyat menunjukkan bahwa negara baru Indonesia, berfokus pada kesejahteraan sosial dan politik yang berpihak pada masyarakat luas.

Meskipun demikian, ada ketegangan antara keinginan untuk memajukan modernitas dan menjaga sikap pro-rakyat. Modernitas berusaha untuk membawa perubahan yang cepat dan mungkin mengabaikan beberapa aspek dari kehidupan tradisional atau lokal. Namun, sikap pro-rakyat mengingatkan pentingnya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat umum dan menekankan bahwa perubahan modern harus inklusif dan bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.

Modernitas dan sikap pro-rakyat tersebut tercermin dalam karya seni dan budaya, seperti di Akademi Seni Rupa di Yogyakarta yang menampilkan gaya urban dan modern, serta di dalam praktik-praktik yang mencerminkan keberagaman dan keinginan untuk berhubungan dengan perkembangan global. Sementara itu, tetap ada usaha untuk menghormati dan memasukkan elemen-elemen budaya tradisional ke dalam narasi nasional yang baru.

Secara keseluruhan, Jakarta dan Bahasa Indonesia memainkan peran penting dalam pembentukan identitas nasional yang baru, yang memfasilitasi integrasi dan persatuan. Sementara itu, sikap pro-rakyat dan modernitas mencerminkan dua aspek penting dari kebijakan dan budaya yang sedang dibangun: dukungan terhadap kesejahteraan rakyat dan aspirasi untuk kemajuan yang harmonis dengan nilai-nilai sosial. Ketiga elemen ini saling berinteraksi dan mempengaruhi pembentukan identitas nasional Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan.

Selain itu, meskipun Jakarta menjadi pusat utama, budaya regional berkontribusi signifikan dalam pembentukan identitas nasional. Beberapa daerah mempertahankan tradisi mereka sambil beradaptasi dengan modernitas, sehingga menciptakan sinergi antara unsur lokal dan aspirasi nasional. Setiap daerah di Indonesia juga memiliki tradisi dan budaya lokal yang unik. Kota-kota di daerah, seperti Medan, menunjukkan dinamika budaya yang sangat aktif dengan pengaruh dari luar, seperti industri film Melayu dan komik Barat. Medan menjadi pusat penting bagi karya sastra dan kebudayaan yang memperkaya diskursus nasional. Penulis-penulis dari Medan juga sering kali berkontribusi di dalam diskusi sastra di Jakarta, menunjukkan bahwa pembentukan identitas nasional melibatkan dialog yang dinamis antara pusat dan daerah.

Akan tetapi, tetaplah ada ketidakpuasan di daerah-daerah. Mereka yang merasa tidak puas dengan dominasi Jawa, khususnya Jakarta, adalah disebabkan karena perihal kekuasaan politik dan pengambilan keputusan. Ketidakpuasan ini menunjukkan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya, yang menyebabkan ketegangan antara pusat dan daerah.

Ketidakpuasan daerah tersebut sering kali diekspresikan dalam bentuk pemberontakan atau perlawanan regional. Meskipun dianggap sebagai manifestasi dari chauvinisme lokal, pemberontakan ini juga mencerminkan frustrasi terhadap bagaimana negara baru dijalankan dan bagaimana daerah diperlakukan.

Di beberapa daerah, seperti di hutan yang dilaksanakan oleh Kahar Muzakkar, terdapat upaya untuk mengembangkan "versi mereka sendiri" dari modernitas yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi lokal. Ini termasuk pembentukan fasilitas kesehatan, pertanian mekanis, dan pendidikan, yang menunjukkan bahwa modernitas regional sering kali mengambil bentuk yang berbeda dari yang dipromosikan di pusat. Ketegangan ini mencerminkan konflik antara keinginan untuk menjadi bagian dari identitas nasional yang baru dan kebutuhan untuk menjaga atau mengembangkan identitas lokal. Hal ini menunjukkan tantangan dalam menciptakan kesatuan nasional yang benar-benar inklusif, di mana berbagai identitas regional dapat berperan tanpa merasa terpinggirkan.

Proyek identitas nasional Indonesia pasca-kemerdekaan, sebagaimana dipaparkan di atas, bukanlah sesuatu yang statis atau telah selesai. Sebaliknya, identitas ini terus berkembang seiring dengan perubahan dan perkembangan sosial, politik, dan budaya yang berlangsung di Indonesia. Maka, harus terdapat upaya berkelanjutan untuk mengejar keseimbangan antara aspirasi modernitas, keterbukaan internasional, serta kebutuhan untuk menghargai dan menjaga warisan lokal dan nasional.

Dengan dinamika ketegangan antara pusat dan daerah, perdebatan antara modernitas dan "nativisme tradisi lokal", serta pengaruh dari dalam dan luar negeri, jelas bahwa proyek identitas nasional Indonesia pada era 1950-an adalah sebuah usaha yang kompleks dan belum selesai. Ketidakpastian dan ketidakseragaman ini menandai bahwa pencarian identitas nasional akan terus berlanjut, yang mencerminkan keragaman dan kekayaan budaya Indonesia. Proyek Identitas Nasional yang Belum Selesai ini mencerminkan perjalanan panjang Indonesia dalam menemukan dan membentuk identitas nasional yang inklusif dan representatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun